Biografi Abdul Thalib Al Makki

 
Biografi Abdul Thalib Al Makki

Daftar Isi

1          Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1       Lahir
1.2       Wafat

2          Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1       Masa Menuntut Ilmu
2.2       Guru-Guru Beliau

3          Penerus Beliau
3.1       Murid-murid Beliau

4         Karya
4.1      Karya-karya Beliau

5         Ajaran Tasawuf Abu Thalib al Makki

6        Untaian Nasehat

7        Referensi

1       Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1       Lahir

Abu Thalib al-Makki lahir di Jabal, sebuah desa tidak jauh dari Baghdad, Irak. Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu Thalib Al-Makki Al-Haritsi Al- Maliki. Dua nama di bagian belakang adalah julukannya. Ia mendapat julukan Al-Haritsi, karena memang dari suku Harits. Sedangkan julukan Al-Maliki, sebab ia bermazhab Maliki, sementara julukan Al-Makki, karena ia dibesarkan di Mekah.

1.2      Wafat

Abdul Thalib Al Makki wafat di kota Baghdad, pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyyah, tepatnya pada bulan Jumadil Akhir tahun 386 H.

2       Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau

2.1      Masa Menuntut Ilmu

Ia memulai pendidikannya dengan belajar ilmu agama dari berbagai ulama, kemudian memperdalam ilmu hadis, terutama ia berguru kepada Syekh Ali bin Ahmad bin Al-Misri (w.364/944 M) dan Syekh Abubakar Muhammad bin Ahmad Al-Jurjani Al-Mufid (w.378H/958 M). belakangan ia belajar ilmu fikih mazhab Maliki. Keluasan wawasannya dalam mazhab Maliki inilah yang membuat ia mendapat julukan tambahan Al-Maliki.

Setelah merasa cukup menimba ilmu di Mekah, ia mengembara untuk memperluas wawasan keilmuannya, hingga akhirnya berlabuh di Basrah, Irak, yang kala itu terkenal sebagai pusat ilmu dan peradaban. Di sini ia berguru ilmu tasawuf kepada Syekh Abul Ahmad bin Muhammad ibnu Ahmad bin Salim Ash-Saghir (w. 360 H/940 M), sufi besar pendiri Tarekat Salimiyah, bersumber dari tasawuf Sahab bin Abdullah At-Tustari, yang sangat terkenal di Baghdad kala itu.

2.2      Guru-Guru Beliau

nama-nama guru beliau yang terkenal ialah, sebagai berikut:

  1. Syekh Ali bin Ahmad bin Al-Misri
  2. Abdullah bin Jakfar bin Faris al-Ashbihani
  3. Abu Bakr al-Ajurri
  4. Ali bin Ahmad al-Mushaishi al-Mishri (w. 364 H)
  5. Abu Zaid al-Marwazi
  6. Syekh Abubakar Muhammad bin Ahmad Al-Jurjani Al-Mufid(w. 378 H)
  7. Abu Bakr bin Khalad an-Nushaibi
  8. Syekh Abul Ahmad bin Muhammad ibnu Ahmad bin Salim Ash-Saghir (w. 360 H)
  9. Abu Sa’id bin al-A’rabi al-Bashri

3       Penerus Beliau

3.1       Murid-murid Beliau

Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti:

  1. Abul Qasim bin Sarat
  2. Abdul Aziz al-Azji
  3. Muhammad bin al-Mudzaffar al-Khayyath

4      Karya

4.1       Karya-karya Beliau

Karya-karya beliau dibukukan adalah:

  1. Qut al-qulub fi mu'amalat al-mahbub wa wasf tarekat al-murid ila maqam al-tawhid
  2.  Asrar wa Musyahadah

5      Ajaran Tasawuf Abu Thalib al Makki

Ajaran tasawuf yang dipelajarinya ialah Taswuf Salafiyah yang didalaminya dengan berguru kepada Abu al-Hasan di Iraq. Kemudian setelah belajar tasawuf yang dibawanya banyak diikuti oleh oleh masyarakat Basrah dan umat islam saat itu. Karena tasawuf beliau bersumber dari Tasawuf Sahab bin Abdullah al-Tistari.
 
Sebagai seorang Sufi, Abu Thalib memiliki dasar-dasar pemikiran yang telah dikembangkannya. Pemikiranya banyak tertulis dalam karya monumentalnya yaitu; Qut al-quluub fi mu`allamatil mahbub wa washf thariq al-muriid ila maqaam al-tauhiid yang banyak dibaca secara luas dan dianjurkan selama beberapa abad. Kitab ini menjadi rujukan para sufi, bahkan al Ghazali sebelum menulis Ihya Ulumuddin. Dan sebagai sufi yang mengembangkan tasawuf amali, Abu Thalib memiliki jasa besar dalam dunia Thariqah.
 
Tasawuf Amali Abu Thalib al Makki
Sebagaimana para sufi amali lainnya, Abu Thalib al Makki dalam tasawufnya juga menekankan pada aspek amaliyah. Tasawuf amali yang oleh beberapa kalangan disebut juga sebagai tasawuf syar’i, memaksimalkan perintah syari’at sebagaimana digariskan Syari’ (Allah) lewat Nabi Muhammad. Karena kedekatan pada Allah dan cinta-Nya hanya dapat diupayakan dengan pengamalan syari’at itu sendiri dengan sesungguhnya. Syari’at tidak dijadikan sekedar dijadikan hal instrumental belaka, tetapi diikuti dengan kemantapan hati. Shalat, puasa, haji, zakat dan lainnya yang dibarengi dengan keikhlasan dan kesungguhan seseorang dalam melaksanakan, tidak sekedar menunaikan kewajiban atau sekedar symbol keislaman.
Begitu pula dalam hal keyakinan. Tasawuf yang berangkat dari tauhid, harus benar-benar mentauhidkan Tuhan baik dalam ucapan, hati dan tindakan. Ketika seseorang bersaksi akan Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya, maka dia harus siap dengan konsekuensi-konsekuensi logis keimanan dan keislamannya.
Menurut Abu Thalib al Makki, Tasawuf hanya dapat ditegakkan di atas dasar-dasar yang kuat. Tanpanya, dia tidak berarti apa-apa. Dan untuk mencapai dasar-dasar tersebut, maka seseorang harus melalui tujuh tahap sebagai berikut:
1.        Kehendak yang benar dan konsekuen
2.        Membina hidup takwa dan menolak keburukan atau maksiat
3.        Memiliki pengetahuan keadaan diri, mengetahui kelemaahan diri
4.        Selalu makrifat dan dzikir
5.        Banyak tobat nasuha
6.        Makan makanan halal dan tahu hukumnya sebagaimana penjelasan syara’
7.        Selalu bergaul dengan orang yang shaleh dan menegakkan takwa yang sejati.[4]
Selanjutnya Abu Thalib al Makki menuliskan bahwa dalam penguatan tasawufnya ada empat penyangga untuk memprkuat kehidupan para sufi yaitu: pertama, membiasakan diri dengan keadaan yang lapar, karena pada saat itulah ia bisa bertaqaruf kepada tuhannya dan bisa mendapat hidayahnya. Kedua, dengan cara solat malam. Karena dengan cara itu kita bisa mendekatkan diri terhadap tuhannya tanpa ada gangguan dari siapaun. Ketiga, banyak berdiam diri dan menyebut namanya ,karena jalan itu bisa mendekatkan diri kepada tuhannya. Keempat, menyendiri dan banyak berzikir. karena dengan berzikir dapat mendekatkan diri kita kepadanya.
Melihat berbagai konsep dan ajaran Abu Thalib al Makki di atas, jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain tasawuf amali atau syar’i berupa maqam-maqam atau tingkatan jalan sufistik seseorang meliputi:
a.         Taubah: pembersihan diri dari dosa
b.        Zuhd: sederhana dalam hal duniawi
c.         Sabr: pengendalian diri
d.        Tawakal: berserah diri sepenuhnya kepada Allah
e.         Ridha: menerima qada dan qadar dengan rela
f.         Mahabah: cinta kepada Allah
g.         Ma'rifah: mengenal keesaan Tuhan
           Dalam tasawufnya yang menekankan pada amal, Abu Thalib banyak menekankan pada hakekat amal yang tampak di mata sebagai manifestasi dari Iman  yang tersimpan di dada. Dalam buku Tafsir Sufistik Rukun Islam yang diterjemahkan dari Quthu al Qulub karya Abu Thalib, Dia menuliskan bahwa perumpamaan iman dan amal itu tak ubahnya seperti hati dan tubuh, keduanya tidak terpisah. Tubuh tanpa hati tidak bisa hidup, begitu pula sebaliknya. Di sini dia mau menunjukkan hubungan iman yang ada di hati dan Islam yang tampak dalam berbagai ibadah. Hal ini merupakan penolakan terhadap mereka yang mengatakan Islam dan iman yang tak sejalan sekaligus menunjukkan bahwa tasawuf dan fiqih itu sejalan.[5] Hal ini jauh berbeda dengan para sufi falsafi dan mereka yang lebih melihat tasawuf sebagai kesatuan eksistensial dengan Tuhan.

6     Untaian nasehat

Berikut nasehat-nasehat beliau:

  1. Puasa ialah menjauhi dosa-dosa, bukan lapar dan haus (saja), sebagaimana yang disebutkan untuk kita soal perintah shalat, bahwa tujuannya ialah pencegahan kepada (perilaku) keji dan mungkar. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan kebohongan (kepalsuan) dan mengamalkannya, maka Allah tidak memerlukan (usahanya) dalam meninggalkan makan dan minumnya” (Imam Abu Thalib al-Makki, Qût al-Qulûb fî Mu’âmalah al-Mahbûb wa Washf Tharîq al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd)
  2. Andaipun kita telah terlanjur berkata negatif atau menggunjing orang lain, Imam Abu Thalib al-Makki menganjurkan kita untuk mengambil wudhu, sebagaimana yang dikerjakan para ulama terdahulu. Ia menjelaskan: “wa qad kânû yatawaddla’ûna min adzal muslim” (sungguh mereka [para ulama] beruwdlu sebab menyakiti muslim [lainnya]). 

7      Referensi

"Riwayat Hidup Para Wali dan Shalihin"

  Penerbit: Cahaya Ilmu Publisher

 

 

 

 

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya