Pertaruhan Mencintai Nusantara Seutuhnya

 
Pertaruhan Mencintai Nusantara Seutuhnya
Sumber Gambar: depositphotos.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Cukup sering mendengar seorang ukhti bilang ke saya "ya akhi", dan terdengar kata antum untuk khitob pada saya. Begitu khas dialek berbahasa Arab yang digunakan dalam dialog tersebut. Meski bukan dalam hiwar (dialog) dengan Bahasa Arab. Entahlah kenapa diksi ini kini jadi yang sudah terbiasa saat berbincang dengan "sahabat hijrah" atau "sahabat sunnah".

Arab dan budayanya seperti (menjadi) representasi keislaman yang kaffah (sempurna). Mengkritiknya dianggap sebagai anti-Islam, anti-syariat Islam. Tapi malamnya saya tertuduh kemenis, syingah dan liberal. Tiga hal itu jadi tuduhan lengkap ke saya, jikapun dibelah lalu yang mana kemenis, mana pula yang singah, dan liberal itu, justru saya tanggapi dengan gelengan kepala "weleh-weleh".

Terkadang ingat ucapan antum, ente, akhi dan ukhti, Ikhwan dan akhwat itu saat belajar di madrasah. Jika demikian, maka berarti saya ini sudah "hijrah" dan "kaffah" jauh-jauh hari, kalau hanya dialek obrolan seperti itu dianggap Islami. Namun ini pula yang jadi perhatian ketika huruf dan kalimat Arab dibilang paling Islami atau paling syar'i. Sementara ucapan tersebut adalah perbendaharaan Bahasa Arab dan biasa diucap Orang Arab.

Kita Bangsa Indonesia, lahir dan hidup di bumi Nusantara. Ucapan bahkan diskusi sehari-hari dengan kata kamu, kami, saya, aku, dia, dan mereka, ini yang memang kita punya. Ini pula tradisi bahasa persatuan kita, meski di daerah-daerah se-nusantara dialeknya beda-beda, tapi "

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN