Fiqih Pengawasan Partisipatif (bagian 2)

 
Fiqih Pengawasan Partisipatif (bagian 2)
Sumber Gambar: Ilustrasi/Anton Raharjo - Anadolu Agency

Laduni.ID, Jakarta – Bentuk-bentuk pencegahan yang dilakukan Bawaslu bisa dilakukan dalam bentuk sosialisasi perundang-undangan maupun aturan main teknis lainnya, baik dalam bentuk Forum Group Discusion (FGD), Seminar, melalui tatap muka, webinar, dengan mengundang semua stakeholder pemangku kepentingan, peserta Pemilu tentunya dan masyarakat (pemilih). Bisa juga dengan sosialisasi melalui agitasi dan propoganda (agitprop) dalam bentuk spanduk, pamplet, stiker dan banner, atau media sosial yang seperti instagram, youtube, facebook, dll.

Adapun teknis pencegahan lain yang dilakukan pengawas pemilu dilapangan, di setiap tahapan pemilu/pemilihan, yakni dengan mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu baik oleh tim kampaye, partisipan, pengurus parpol maupun masyarakat sebagai pemilih yang dikarenakan ketidtahuannya akan aturan teknis yang ada.

Maka ketika pengawas mendapati pelanggaran, segera mencegahnya. Apabila setelah dilakukan pencegahan oleh pengawas di lapangan tidak juga diindahkan, dalam artian mengabaikan peringatan/pencegahan pengawas, maka wajib mengambil tindakan tegas sesuai peraturan yang berlaku dalam UU pemilu/pemilihan. Hal demikian sebagai langkah terakhir yang akan dilakukan oleh semua pengawas di lapangan.

Dapat disimpulkan bahwa pengawasan dalam pemilu/pemilihan selaras dengan konsep kaidah fiqih dan ushul fiqih di atas, dengan mengutamakan mencegah kerusakan, menghilangkan bahaya ketimbang mengambil manfaat. Proses pemilu yang sarat dengan politik uang sebagai alat untuk meraup dukungan suara sebayak-banyaknya bagi Paslon/calon terhadap pemilih. Meski di satu sisi bisa menguntungkan/bermanfaat bagi masyarakat (pemilih) yang tarap ekonomi rendah, namun di sisi lain sangat berbahaya akan dampak yang ditimbulkan.

Istilah “tidak ada makan siang gratis” secara psikologis dengan hitungan tematis ekonomis akan terkalkulasi oleh peserta pemilu/pemilihan yang nanti duduk di suatu jabatan, dengan modal yang mereka sudah keluarkan tersebut harus kembali berlipat ganda dengan cara apapun termasuk korupsi.

Islam melarang keras praktek politik uang semacam itu, dalam Al-Quran Allah berfirman,

 وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

Selain Al-Quran, Rasulullah SAW juga mengecam keras tindakan tercela ini. Kecaman atas praktik suap (polik uang) ini dimaknai oleh para ulama sebagai sebuah larangan sebagaimana dalam hadis berikut:

“Dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Praktik suap ini tidak hanya melibatkan penerima dan pemberi suap, praktik ini juga memasukkan di dalamnya pihak perantara keduanya. Artinya pihak ketiga yang menjadi perantara juga termasuk orang yang mendapat kecaman.

Pemberian apapun dalam bentuk politik uang adalah tidak sah dan termasuk kategori risywah (suap). Mengapa demikian? Sebab di balik pemberian oleh peserta Pemilu itu terkandung maksud terselubung yang jelas-jelas serupa praktik menyuap agar seseorang memilih dirinya. Pemberian tak lagi murni pemberian melainkan ada unsur mempengaruhi pilihan politik.

Politik pada dasarnya sangat mulia sebagai perantara bagi tujuan terselenggaranya masyarakat yang adil, aman dan sejahtera. Karena hanya sebagai perantara (wasîlah), bukan tujuan akhir (ghâyah), politik seyogyanya tak perlu dikultuskan, dilakukan secara membabibuta, hingga mengorbankan tujuan mulia dari politik itu sendiri.

Aturan perundang-undangan maupun aturan teknis lainnya mengenai Pemilu khususnya pengawasan, sama sekali tidak ada pertentangan dengan syariat Islam bahkan saling melengkapi satu sama lain. Sehingga Illat atau dasar hukum ashal (segala keselamatan syara' yang bergantung dengannya, segala perintah dan segala kerusakan, yang bergantung dengannya segala larangan) sebagai dasar kaidah fiqih dalam konteks pengawasan pemilu sangat kaya bila disingkronisasi kedalam khazanah ilmu fiqih.

Maka sudah jelas, bahwa pengawasan yang harus mengedepankan pencegahan sudah menjadi tanggung jawab kita sebagai umat Islam yang manyoritas di negeri tercinta ini. Bahkan agama-agama lain pun sangat bersepakat akan konsepsi ini dikarenakan semua ajaran agama pada dasarnya menyerukan kepada kebaikan, kemaslahatan dan kedamaian bukan perpecahan, kerusakan dan keburukan. Tidak ada satu agama pun yang menyerukan sebaliknya.

Cukup sudah argumentasi dalil sebagai dasar pengawasan dalam perspektif kaidah fiqih kali ini, mudah-mudahan hal ini bisa menjawab berbagai pertanyaan, tantangan dan sikap apriori akan pentingnya masyarakat melakukan pengawasan pemilu di setiap kontestasi perhelatan demokrasi di negara tercinta ini. Sehingga tidak lagi ada perdebatan yang berarti akan hak dan kewajiban kita sebagai warga negara dan umat beragama dalam melakukan partisipasi pengawasan pemilu.

Pada akhirnya partisipasi dalam pemilu/pemilihan menjadi keniscayaan jika kita memahami secara benar akan pentingnya eksistensi kita sebagai manusia, sekaligus warga negara indonesia yang beragama. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa subtansi pemilu berkualitas sebagai wujud dari demokrasi Pancasila adalah melakukan pengawasan di setiap tahapan pemilu/pemilihan agar terwujud keadilan sosial bagi setiap warga negara yang pastinya beragama.

Mudah-mudahan ulasan kali ini bisa memberikan perspektif lain dalam khazanah kepemiluan, dalam perspektif kaidah fiqih, khususnya untuk penyelenggara pemilu, pemerintah, peserta pemilu dan bahkan seluruh lapisan masyarakat sebagai pemilik saham yang sesungguhnya di negara kesatuan republik indonesia yang kita cintai. Dan saya pribadi memohon saran, kritik dan koreksi bila dalam penulisan dan pembahasan ini masih ada yang belum pas dan tidak sesuai. Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh: Muchtar Taufiq, Ketua Bawaslu Kota Jakarta Selatan/Koordiv Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga


Editor: Daniel Simatupang