Cryptocurrency: Komoditas atau Uang? (Bagian 3)

 
Cryptocurrency: Komoditas atau Uang? (Bagian 3)
Sumber Gambar: Ilustrasi/Karolina Grbowska - Pexels

Laduni.ID, Jakarta – Berbagai masalah krusial di atas (sebelumnya) akan terjawab apabila cara pandang kita diubah. Kripto memang tidak mempunyai manfaat yang jelas dalam dirinya sendiri, tetapi ia dapat memuat nilai harga apabila diperlakukan sebagai alat tukar alias uang. Sama seperti uang kertas, secara hakikat ia tak lebih dari secarik kertas yang setara dengan kertas toilet, akan tetapi ia diberi harga sebab ia adalah alat tukar. Karena itulah, sejak awal dibuat namanya memang cryptocurrency, bukan cryptoasset!

Aneh sekali, bagaimana bisa sesuatu yang jelas-jelas disebut sebagai currency alias mata uang tiba-tiba dianggap sebagai aset? Sudah jelas betul bahwa kemanfaatan cryptocurrency hanyalah sebagai uang virtual, bukan aset virtual.

Mari kita bayangkan di dunia ini tidak ada orang yang bertransaksi membeli sesuatu atau "mengirim uang" dengan kripto, tetapi semuanya hanya membelinya untuk disimpan dalam dompet virtualnya. Kira-kira apakah harganya bisa naik turun begitu saja? Tentu tidak, bahkan orang akan tersadar dan mulai bertanya-tanya untuk apa mereka menyimpan itu? Sebab itulah, seluruh bahasan tentang kripto pasti mengarah pada fungsinya sebagai mata uang.

Sebab itu, maka alasan Bappebti dan pihak mana pun yang mencoba "ngeles" dengan cara memperlakukan kripto sebagai aset/komoditas jelas tidak sesuai dengan realita, tentu saja juga melabrak kaidah manfaat syar'iyah. Akhirnya wajar bila ada pihak yang menjatuhkan vonis haram pada "aset ghaib" ini.

Lalu apa masalahnya apabila dianggap uang? Di point ini masalahnya adalah undang-undang. Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang berbunyi:

Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:

a. Setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. Penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c. Transaksi keuangan lainnya

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Bila anda adalah warga negara yang taat hukum, maka ketentuan penggunaan rupiah sebagai satu-satunya alat tukar (currency) di NKRI adalah sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Secara agama, taat pada regulasi pemerintah adalah wajib selama regulasi tersebut tidak memerintahkan kemaksiatan pada Allah. Karena itu, wajar apabila ada pihak yang mengharamkan cryptocurrrency atau uang kripto.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bila cryptocurrrency diperlakukan sebagai mata uang asing, bukan sebagai mata uang pesaing rupiah? Bukankah tidak masalah menyimpan mata uang asing, semisal dollar, lalu mengharap ada selisih harga yang bisa dinikmati di masa depan? Jawabannya adalah tidak bisa demikian.

Bagaimana pun saat ini kripto tidak diperlakukan sebagai mata uang biasa yang terikat dengan sederet regulasi. Ia adalah entitas baru yang berada di luar regulasi lama, sehingga fluktuasi harganya bisa begitu ekstrem. Bila anda menyimpan 10 dollar sepuluh tahun lalu, maka anda mendapat keuntungan sekitar 5 ribu rupiah di tahun 2021 ini, sebab di tahun 2011 harga dolar di angka 9000-an sedangkan sekarang di angka 14000-an.

Namun bila anda menyimpan 10 bitcoin sepuluh tahun lalu, maka dengan modal ratusan ribu saja saat itu, anda menjadi miliarder saat ini. Kenapa bisa begini? Lagi-lagi kata "spekulasi" menjadi kata kuncinya.

Jember, 25-11-2021

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad


Editor: Daniel Simatupang