Kiai Abdul Wahab Ahmad: Alasan LBM PWNU Jatim Mengharamkan Cryptocurrency (bagian 2)

 
Kiai Abdul Wahab Ahmad: Alasan LBM PWNU Jatim Mengharamkan Cryptocurrency (bagian 2)
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Abdul Wahab Ahmad

Laduni.ID, Jakarta – Sepanjang yang saya ingat dari awal acara hingga pembacaan putusan, tidak ada satu pun momen di mana para musyawirin mempermasalahkan apakah cryptocurrency terlihat atau tidak. Sama sekali bukan itu alasannya, bahkan bukan itu pembahasannya. Jadi, ini murni karena kesalahpahaman Kiai Imam Jazuli pribadi yang telah berasumsi sendiri, lalu mengkritik asumsinya sendiri sebagai kejumudan berpikir. Dalam ilmu logika, kasus semacam ini disebut sebagai strawman fallacy.

Yang lama diperdebatkan oleh musyawirin, setelah mendengar masukan dari pakar ekonomi yang diundang, adalah tiga poin utama sebagai berikut:

Pertama, soal underlying asset atau aset yang mendasari uang kripto tersebut. Kertas uang memang hanya sebatas kertas, tetapi di balik itu ada aset yang riil yang menjamin uang tersebut sehingga tetap mempunyai harga.

Di masa lalu, uang dicetak berdasarkan cadangan emas, lalu kondisi berubah sehingga uang tidak lagi berdasarkan emas tetapi berdasarkan jaminan negara. Jaminan negaralah yang membuat secarik kertas yang disebut sebagai uang ini mempunyai harga. Bentuk kertas lain selain uang juga berharga apabila mempunyai aset riil di alam nyata yang diwakilinya, misalnya cek, sertifikat tanah dan saham.

Meskipun sama-sama kertas tapi karena mewakili aset tertentu, maka ia berharga mahal dan harganya tidak sebagai kertas. Dengan kata lain, harga sebuah uang (alat tukar) bukan karena dirinya sendiri tetapi karena ia mewakili hal lain di luar dirinya.

Bagaimana bila alat tukar tersebut bentuknya bukan kertas tetapi berupa entitas digital? Di sini aturannya sama, ia akan berharga sepanjang mewakili aset nyata yang riil di dunia nyata. Misalnya e-money atau uang elektronik dengan seluruh ragamnya. E-money bukan semata angka yang hanya bisa kita lihat di layer, tetapi ia adalah angka yang merepresentasikan uang sebenarnya yang dapat kita ambil di ATM.

Lalu bagaimana dengan uang kripto? Jelas ia tidak merepresentasikan aset apa pun di luar dirinya sendiri. Ia murni sebagai “angka belaka” yang ujug-ujug diberi harga oleh para spekulator. Bila suatu saat tiba-tiba para spekulator itu tidak lagi memberinya harga, maka harganya akan hilang sama sekali dan berubah kembali hanya “sebagai angka”.

Dengan demikian, ibarah dari kitab Bujairami yang dinukil oleh Kiai Imam dalam artikelnya tidak dimaksudkan oleh LBM untuk diambil sisi tidak terlihatnya, tetapi di sisi ketiadaan barang yang riil atau fisikal yang diwakili oleh uang kripto tersebut. Transaksi perdagangan kripto di Indonesia selama ini dilakukan dengan menganggapnya sebagai komoditas yang independen dalam wujudnya yang sepenuhnya digital. Sekarang kita beralih pada bahasan ini.

Bagaimana bila entitas digital itu memang dimaksud dan diberi nilai karena dirinya sendiri sehingga menjadi aset/komoditas digital, alih-alih sebagai mata uang digital? Maka diskusi LBM saat itu menganggapnya diperbolehkan selama ia bermanfaat secara riil untuk digunakan oleh manusia dengan wujud manfaat yang diakui secara syariat. Misalnya, dokumen elektronik, pulsa, aplikasi dan segala macam entitas dunia maya yang punya manfaat riil dari dirinya sendiri.

Ini semua tidak bermasalah dan tidak ada satu pun yang pernah diharamkan oleh lembaga yang dibilang jumud oleh Kiai Imam Jazuli itu, padahal semua tahu bahwa itu entitas maya atau non-fisikal. Adapun cryptocurrency, manfaat dalam dirinya sendiri sejatinya tidak ada, sebab sejatinya hanya “angka digital” tadi. Satu-satunya manfaat darinya hanyalah karena ia diberi harga sehingga pada akhirnya dapat ditukar dengan uang asli di exchange, dan bila harganya naik maka akan mendapat untung.

Manfaat semacam ini tidak diakui dalam definisi komoditas atau sil’ah yang dikenal dalam fikih. Karena tidak diakui itulah sehingga ia dianggap tidak ada (ma’dum) dan tidak dapat diserahterimakan. Namun demikian, manfaat semacam ini akan diakui apabila sesuai dengan namanya, cryptocurrency dianggap sebagai mata uang (currency) dan bukan sebagai sil’ah. Namun lagi-lagi masalahnya kembali ke awal.

Dalam diskusi yang hangat di PWNU itu, para musyawirin tahu betul bahwa Bappebti dalam peraturan nomor 7 Tahun 2019 telah mengakui beberapa uang kripto sebagai aset digital yang berharga. Jadi bukan sebagai uang, tetapi sebagai aset yang dianggap berharga dan pada kenyataannya banyak yang mendapat untung.

Jangan kaget, beberapa musyawirin yang hadir adalah pelaku bisnis di bidang aset cryptocurrency, jadi jangan dikira bahwa mereka membahas hal ghaib yang tidak mereka pahami. Tetapi apakah mayoritas Musyawirin sepakat dengan Bappebti? Tidak. Alasannya di poin selanjutnya.

Kedua, soal potensi gharar yang luar biasa. Gharar adalah ketidakjelasan yang dapat menyebabkan kerugian salah satu atau kedua pihak. Cryptocurrency tidak diterbitkan oleh negara mana pun yang dapat menjamin nilainya. Di sisi lain, dia sendiri tidak punya manfaat apa pun kecuali sebagai deretan angka “canggih” yang bisa dilihat di komputer/gawai.

Penentuan harganya murni dipengaruhi spekulasi pasar, hal ini menyebabkan harganya dapat melambung setinggi langit lalu terjun bebas tanpa ada yang dapat mengontrolnya. Bisa jadi, cryptocurrency yang ada sekarang tiba-tiba tidak berlaku besok.

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad, Ketua Aswaja NU Center Jember, Jawa Timur


Editor: Daniel Simatupang