Nilai Luhur Kejawen: Sebuah Metodologi Masyarakat Jawa dalam Menjumpai Tuhan

 
Nilai Luhur Kejawen: Sebuah Metodologi Masyarakat Jawa dalam Menjumpai Tuhan
Sumber Gambar: Ilustrasi/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Pengalaman keagamaan tentunya tidak lepas dari hal mistik. Mistik dapat dikatakan sebagai arus besar kerohanian yang mengalir dalam setiap agama atau kepercayaan. Mistik dalam arti luas bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal yang dikenal dengan cahaya, cinta, kearifan atau nihil.

Muzairi dalam karyanya dengan tajuk Dimensi Pengalaman Mistik (Mystical Experience) dan Ciri-Cirinya, menyatakan bahwa melalui pengalaman keberagamaan dengan diterapkannya penghayatan terhadap sang pencipta, manusia nantinya akan memiliki kemampuan, kesanggupan dan akan memahami eksistensi sang Ilahi. Dalam bahasa Jawa, Ilahi disebut dengan Gusti, Maha Segalanya.

Dalam ajaran Kejawen, segi batinlah yang lebih diutamakan dari segi fisik, karena begitu menekankan ibadah dengan rasa dalam pencapaian kesempurnaan. Maka dari itu, ketika rasa semakin tinggi, maka semakin tajam pula kebenaran dalam kesempurnaan tersebut. Niels Mulder menyatakan terkait masalah lahir dan batin, yaitu inti yang terpenting dari masyarakat Kejawen adalah kebatinan (olah rasa), yaitu elaborasi diri manusia dan kehidupan batin.

Dengan demikian penganut Kejawen percaya, bahwa mereka mempunyai tujuan tertinggi sebagai manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup melalui media/praktik olah batin tersebut. Tujuan dari olah batin sendiri yaitu untuk mencapai suatu kebahagiaan, ketenangan, dan kejujuran dalam menjalankan hidup untuk menuju sangkan paran kang dumadhi. Tentunya perjalanan batin (olah rasa) ini berkaitan dengan hal mistik. Mistik dalam pandangan Yana adalah hal ghaib yang tidak terjangkau oleh akal manusia, akan tetapi ada dan juga nyata.

Nurul Mahmudah dalam karyanya Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen Ditinjau Dari Sosiologi Hukum Islam, menyatakan bahwa ciri khas dari Kejawen yaitu adanya perpaduan corak antara Hindu, Buddha dan Animisme yang lebih tepatnya adalah sebuah kepercayaan sinkretisme. Aliran kepercayaan Kejawen memiliki beberapa aliran, salah satu diantara bernama Pangestu.

Dalam Pangestu memiliki ajaran Trisila yang merupakan ajaran penyembahan dari hati dan juga pikiran terhadap tripurusa. Ajaran trisila berisi tentang ajaran untuk ingat atau sadar, dalam bahasa Jawa diartikan Eling. Arti dari sadar yaitu membuat manusia merasa dirinya ada dan sedang melakukan sesuatu. Sementara eling kepada tripurusa adalah ingat bahwasanya manusia mempunyai kewajiban untuk selalu taat kepada sang Maha Pencipta.

Sementara dalam aliran kelompok Cahyo Buwono memiliki pandangan tersendiri tentang keagamaan Kejawen, yaitu mereka berpandangan bahwa dalam beragama lebih mengutamakan hasil dari penghayatan/aspek pengalaman batin, yang nantinya diwujudkan pada tindakan yang baik dan berguna bagi orang banyak. Penyebutan Tuhan dalam Kejawen adalah Gusti Ingkang Marbeg Dumadi atau Tuhan sang pencipta alam semesta.

Menurut Mulder, kebenaran-kebenaran yang didapatkan melalui olah rasa dan laku tersebut harus didasarkan atas ilmu (ngelmu) untuk mencapai tingkat kesempurnaan yang tertinggi. Dalam pandangan mistis Jawa yang dikenal dengan ngelmu kesempurnaan (ilmu kesempurnaan) yang merupakan sebuah suluk (jalan) menuju manunggaling kawulo Gusti.

Pandangan dari segi terminologi Kejawen tentang Ngelmu yaitu menggunakan kata pengawikan Jawa, pada hakikatnya kata ngelmu bukan sekedar memiliki arti ilmu/pengetahuan, melainkan mengandung simbol kebijaksanaan.

Selain itu penganut Kejawen juga melakuakan asah budi dan juga olah pikir yang dikenal beberapa istilah Jawa berikut: memayu hayuning saliro (memelihara kesejahteraan diri), memayu hayuning bangsa (memelihara kesejahteraan bangsa), memayu hayuning bawana (memelihara kesejahteraan dunia). Memang, laku dan rasa sangat ditekankan dalam tradisi Kejawen yang begitu penting, akan tetapi sembahyang juga merupakan aspek yang tak kalah begitu penting dalam Kejawen.

Kata sembahyang sebenarnya dalam terminologi Jawa kuno sebenarnya tidak ada, yang ada melainkan sembah dan hyang. Sembah artinya tunduk, menghormati, sedangkan hyang artinya Dewa. Maka dari itu arti keseluruhan dari sembahyang gabungan dari dua kata tersebut adalah penyembahan terhadap Dewa atau Tuhan. Menurut salah satu dari aliran Kejawen lainnya yaitu kepercayaan Pangestu, ada dua cara terkait dengan konsep ritual atau sembahyang dalam Kejawen.

Dalam dalam tulisan Siti Ekawati bertajuk Mistik Kejawen Sajrone Serat Wirid Karajan (Tintingan Filosofi), Geertz mengatakan bahwa mistik ing Jawa mujudake metafisika terapan (mistik di Jawa mewujudkan metafisika terapan). Dari persoalan olah batin dan juga lakon yang diterapkan dan lebih diutamakan dalam tradisi agama lokal. Senada dengan pendapat Gultom tentang asal mula agama.

Gultom menjelaskan bahwa, agama mengandung unsur kecenderungan rohani (batin) manusia untuk berhubungan dengan kekuatan yang didapati dalam alam semesta, guna mencari makna dari suatu di luar kemampuannya. Maksudnya adalah, dalam setiap diri manusia memiliki potensi atau naluri untuk mengenal kuasa alam yang acap kali disebut naluri keberagamaan.

Menurut Gultom, agama di sini bermaksud untuk menunjukkan adanya hubungan dengan kekuatan gaib yang berasaskan kepercayaan, dan juga keyakinan tanpa memandang budayanya baik itu sederhana maupun maju.

Lakon atau beberapa ritual olah rasa dalam Kejawen merupakan jalan yang ditempuh untuk melakukan hubungan dengan kekuatan gaib sebagai Dzat tertinggi. Hal ini disebut dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud praktik ibadah Manunggaling kawulo Gusti (menyatu bersama sang yang Maha Ghaib). Dengan begitu, seseorang akan mengenal siapa dirinya sebenarnya. 

Kebiasaan penganut Kejawen acap kali ahli dalam hal olah rasa dan lelaku tirakat, seperti halnya mutih (puasa mutih), puasa, melek malam wirid/dzikir. Selain itu terdapat juga salah satu karya besar dari Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dianggap sebagai induk dari filsafat Jawa, yaitu Serat wirid Hidayat Jati. Karya ini lahir setelah adanya perpaduan Kejawen dan juga Islam. Serat wirid ini juga mengajarkan kepada manusia untuk mencapai tujuan akhir dalam hidupnya yaitu Manunggaling kawulo Gusti.

Serat wirid berpandangan bahwa konsepsi Tuhan berada dalam diri manusia yang justru berbanding terbalik dengan ajaran Islam yang menganggap tuhan berada diluar diri manusia. Dalam konsep manunggaling kawulo gusti yang terdapat dalam serat tersebut terdapat wejangan seperti berikut:

Ingsung dating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawalaningsung, tunggal dadi sakahanan, sempurna saka ing kodratingsung. (Aku Dzat Tuhan yang bersifat Esa, meliputi hamba ingsung, menyatu dalam satu keadaan, sempurna karena kodratingsung)

Dari pernyataan wejangan tersebut sudah terbukti bahwa Tuhan menyatakan dirinya sebagai Dzat yang Esa, yang keberadaannya meliputi segala sesuatu ciptaannya. Hamba ingsung di atas merupakan maksud dari segala sesuatu ciptaannya dan tunggal dadi dakahanan atau menyatu dalam satu keadaan dengan diri manusia.

Hal tersebut menggabarkan bahwa dalam kepercayaan Kejawen percaya bahwa Tuhan (Gusti) keberadaannya sangat dekat dengan manusia dan menyatu dalam setiap keadaan kita. Selaras dengan kitab Weda Hindu yang menyatakan bahwa, orang yang tidak mengenal Tuhannya maka akan jauh, dan bagi siapa yang mengerti atau mengenal Tuhannya maka akan merasa Tuhan dekat dengan diri kita.

Oleh: Ali Mursyid Azisi


Editor: Daniel Simatupang