Siapakah Guru Sejati Itu?

 
Siapakah Guru Sejati Itu?
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Entah sejak kapan negeri ini tiba-tiba banyak guru agama atau sering disebut ustadz atau ustadzah bagi seorang yang masih berusia muda. Mereka hadir di banyak tempat dan ruang sosial. Mereka tampil dengan aksesoris dan performa bak seorang alim sejati dan berpidato bak orator ulung. Sebagian bergamis dan bersorban.

Retorikanya amat menarik publik awam, mereka juga menyajikan lelucon bagai pelawak yang membuat penontonnya atau pendengarnya tertawa tergelak-gelak, terhibur. Tetapi tidak jarang pula di antara mereka mencaci maki sekelompok, sebuah komunitas yang dianggapnya menyimpang, sesat, atau kafir.

Publik tak peduli dari siapa dan dari mana para pendakwah itu belajar agama. Publik juga tak paham sudah berapa lama mereka belajar agama, buku atau kitab apa saja yang mereka baca. Semua latar belakang pendidikan mereka tersebut tak dianggap penting. Ustadz betulan atau gadungan juga tak penting, yang penting adalah dengan menghadiri ceramah para ustadz itu keruwetan hidup atau stress hilang dan bisa tertawa-tawa.

Publik juga tak jadi soal bila ada ayat Al-Qur'an yang ditulisnya atau dibacanya salah dan kacau balau. Banyak orang yang terpikat lalu memuji mereka seraya menganggap mereka guru paling hebat, pintar, alim dan tak tertandingi.

Fenomena model pendakwah seperti itu sesungguhnya selalu ada di segala zaman dan tempat di dunia. Syams At-Tabrizi, sang Darwish pengelana, guru spiritual Maulana Jalaluddin Ar-Rumi, menemukan para guru dan ustadz semacam itu pada masanya. Ia lalu memberikan komentar atas fenomena itu sekaligus mengingatkannya:

يُوْجَدُ مُعَلِّمُوْنَ وَأَسَاتِذَةُ مُزَيِّفُوْنَ فِي هَذَا الْعَالَمِ أَكْثَرَ عَدَدًا مِنَ النُّجُوْمِ فِي الْكَوْنِ الْمَرْئِيِّ. فَلَا تُخْلِطْ بَيْنَ الْأَشْخَاصِ الْأَنَانِيِّيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ بِدَافِعِ السُّلْطَةِ وَبَيْنَ الْمُعَلِّمِيْنَ الْحَقِيْقِيِّيْنَ. فَالْمُعَلِّمُ الرُّوْحِيُّ الصَّادِقُ لَا يُوَجِّهُ اِنْتِبَاهَكَ إِلَيْهِ وَلَا يَتَوَقَّعُ طَاعَةً مُطْلَقَةً أَوْ إِعْجَابًا تَامًّا مِنْكَ، بَلْ يُسَاعِدُكَ عَلَى أَنْ تَقْدِرَ نَفْسَكَ الدَّاخِلِيَّةَ وَتَحْتَرِمُهَا. إِنَّ الْمُعَلِّمِيْنَ الْحَقِيْقِيِّيْنَ شَفَّافُوْنَ كَالْبَلْوَرِ، يُعَبَّرُ نُوْرُ اللهِ مِنْ خِلَالِهِمْ

"Para guru dan ustadz gadungan yang ada di dunia ini jauh lebih banyak daripada bintang yang tampak di alam semesta. Tapi anda Jangan keliru untuk tahu siapa saja ustadz yang haus kekuasaan dan egois, dan siapa saja para guru sejati itu. Seorang guru spiritual sejati tak akan memintamu untuk patuh total kepada dirinya dan memujanya. Tetapi, ia akan membantumu untuk menemukan dan memuliakan dirimu sendiri. Para guru sejati itu rendah hati penuh perhatian bagai cermin bening yang menangkap cahaya Tuhan lalu memancarkannya."

Para guru sejati dalam pandangan para guru sejati dan bijak bestari hadir untuk membagi cahaya pengetahuan kemanusiaan, bukan menghancurkannya dan membodohi orang lain. Mereka hadir untuk kebahagiaan orang lain, bukan untuk kesenangan diri sendiri.

Mereka bagai lilin yang menyala, yang cahayanya menyebar sementara dirinya rela jika terbakar (berkorban). Mereka rela menanggung luka demi cinta, atau bagai pohon rindang dengan buah yang lebat. Mereka menaungi sekaligus memberi.

Sayyid Abdullah Al-Haddad menulis tentang siapakah sejatinya ulama itu. Antara lain beliau menulis sebagaimana berikut ini:

فَمِنْ عَلَامَاتِ الْعَالِمِ: أَنْ يَكُوْنَ خَاشِعًا مُتَوَاضِعًا خَائِفًا مُشْفِقًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ زَاهِدًا فِى الدُّنْيَا قَانِعًا بِالْيَسِيْرِ مِنْهَا نَاصِحًا لِعِبَادِ اللهِ رَحِيْمًا بِهِمْ آمِرًا بِالْمَعْرُوْفِ نَاهِيًا عَنِ الْمُنْكَرِ... وَوَقَّارٌ وَاسِعُ الصَّدْرِ لَا مُتَكَبِّرًا وَلَا طَامِعًا فِى النَّاسِ وَلَا حَرِيْصًا عَلَى الدُّنْيَا

"Tanda atau ciri orang alim (ulama) antara lain adalah bahwa pembawaannya khusyuk (tenang), rendah hati, selalu merasa takut kepada Allah, bersahaja, qona'ah/nrimo, selalu mengajak kepada kebaikan, menyayangi mereka dan menghindari keburukan/maksiat... hatinya lembut, lapang dada, tidak sombong, tidak berharap pada pemberian orang dan tidak ambisius terhadap hal-hal duniawi."

Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 05 Januari 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: KH. Husein Muhammad

Editor: Hakim