Hadir Ngaji Hanya Untuk Kepentingan Dunia, Dapat Berakibat Fatal

 
Hadir Ngaji Hanya Untuk Kepentingan Dunia, Dapat Berakibat Fatal
Sumber Gambar: Bayu Z/Pixabay (Foto Ilustrasi)

Laduni.ID, Jakarta - Mengapa wajib bagi setiap Muslim untuk menuntut ilmu hingga ujung ajal menjemputnya ? Karena, ada banyak keutamaan ilmu yang sangat bermanfaat baik di dunia, di alam barzah dan di akhirat kelak. Beberapa keutamaan ilmu diantaranya adalah :

1. Ilmu adalah kekhususan dalam keutamaan, ilmu adalah keistimewaan yang Allah subhanahu wa ta’ala dikhususkan hanya untuk manusia semata. Selain ilmu, manusia dan hewan akan memiliki kesamaan.

2. Ilmu, dapat mengantarkan seseorang menuju kepada kebajikan dan ketaqwaan. Dan sebab ketaqwaan itu, seseorang dapat memperoleh kemuliaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, dan kebahagiaan abadi kelak.

Dawuh Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi atau Imam Syafi'i rahimahullah (wafat 20 Januari 820 M, Fustat, Mesir) dalam kitab Ar-Risalah sebagai berikut:

"Karena itu, hendaklah para penuntut ilmu berupaya semaksimal mungkin memperbanyak ilmu pengetahuan dan bersabar menghadapi semua cobaan dalam mencarinya, serta di dasari dengan keikhlasan niat kepada Allah subhanahu wa ta'ala dalam memperdalam ilmu pengetahuannya, baik secara tekstual maupun kontekstual, seraya memohon pertolongan kepada-Nya. Karena sesungguhnya, tidak akan didapatkan suatu kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya."

Pengarang Kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum, Syekh Burhanuddin Ibrahim Az-Zarnuji Al-Hanafi rahimahullah (wafat 620 H / 1223 M)

mengatakan, bahwa diantara hal yang penting dalam menuntut ilmu yang harus diperhatikan adalah fil jiddi (kesungguhan). Jika sesuatu dilakukan dengan kesungguhan, maka Allah subhanhu wa ta’ala akan memberikan keberhasilan di dalamnya.

Selain kesungguhan (al jiddu), juga perlu diiringi dengan sikap kesungguhan yang terus menerus (al-muwazobah) dan komitmen (al-muzallimah) dalam menuntut ilmu. Tiga sikap ini harus ada dalam diri pelajar (orang yang belajar) dan berjalan beriringan, tidak dapat hanya salah satu saja.

Faktanya sekarang, menuntut ilmu dianggap selesai jika sudah lulus kuliah atau sudah bekerja atau dilanda kesibukan. Bahkan, menghadiri majelis ilmu pun didasari dengan niat mendapatkan kompensasi keduniaan dan kepentingan pribadi, bahkan dikaitkan pekerjaan. Setelah tujuan tercapai, tidak lagi menghadiri majelis ilmu sekali saja.

Sungguh, suatu niat yang sangat buruk, yang bisa menghilangkan keberkahan jangka panjang, karena mempermainkan majelis ilmu dan menjadikan ilmu sebagai tangga tujuan keduniaan. Tidak menyadari akibat yang ditimbulkan dalam hidupnya.

Akibat orang yang belajar agama hanya untuk mencari dunia, tujuannya belajar bertahun-tahun adalah hanya untuk meraih gelar. Niat yang ikhlas karena Allah, itu yang mesti diperhatikan.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Imam Abu Daud rahimahullah, no. 3664, Imam Ibnu Majah rahimahullah, no. 252 dan Imam Ahmad Ibnu Hambal rahimahullah 2: 338).

Sebagaimana juga termaktub dalam kitab At-Targhib Wa At-Tarhib karya Imam Al-Hafidh Al-Faqih Zakiyyuddin Abdul ‘Adhim bin Abdul-Qawiy bin Abdullah bin Salamah Abu Muhammad Al-Mundziri Asy-Syafi'i atau Imam Al-Mundziri rahimahullah (wafat 4 Dzulqa'dah 656 H / 2 November 1258 M di Mesir), menuliskan sebuah hadits Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Imam Abu Dawud rahimahullah (817 - 889 M, Basra, Irak) dan Imam Ibnu Majah rahimahullah (wafat 19 Februari 887 M, Qazvin, Iran) : 

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : مَنْ تَعَلَّمَ  عِلْمًامِمَّايُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ تَعَالَى يَتَعَلَّمَهُ اِلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًامِنَ الدُّنْيَالَمْ يَجِدْعَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِىْ رِيْحَهَا.

Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bersabda : "Barangsiapa belajar suatu ilmu untuk mencari ridho Allah (ternyata) tidak mempelajari ilmu itu kecuali supaya bisa mendapatkan harta benda, maka orang itu tidak akan mendapatkan bau surga di hari kiamat."

Dua hadits di atas, memberikan teguran yang sangat keras jika seorang yang menuntut ilmu, tetapi niatnya bukan dalam rangka mencari ridha-Nya, akan tetapi demi kepentingan duniawiah. Padahal, seharusnya niat utamanya adalah pada peningkatan kapasitas diri, agar lebih luas lahan pengabdiannya kepada Allah subhanahu wa ta'ala, dengan kemampuan keilmuannya itu.

Menjadi wajar bila seseorang yang mencari ilmu dunia semisal ilmu bisnis, akutansi dan lainnya dengan meniatkan agar dapat meraih kekayaan dunia. Tetapi, merupakan sebuah kekeliruan ketika seseorang mempelajari ilmu-ilmu agama didasari untuk mencari kekayaan, pangkat dan jabatan dan lainnya, apalagi menjadikan ruang majelis ilmu dengan kepentingannya pribadi.

Oleh karena itu, sebelum menuntut ilmu terlebih dulu pencari ilmu harus meluruskan niatnya. Agar usahanya mencari ilmu tidak sia-sia. Maka yang pertama adalah niat karena Allah subhanahu wa ta'ala dalam menjalankan perintah-Nya. Selanjutnya, berniat menghilangkan kebodohan, menggantinya dengan kepahaman, agar selamat dunia akhirat, menghidupkan agama dan meneruskan perjuangan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, mengamalkan ilmu dan mengajak Muslim yang lainnya agar sama-sama memahami dan mengamalkan ilmu itu.

Allah subhanahu wa ta'ala akan menjamin kesuksesan di dunia dan akhirat, bila niatan kita karena-Nya. Sebaliknya, semua nilai kebaikan dalam mencari ilmu akan kosong, ketika niat kita bukan karena-Nya. Hanya kebanggaan diri, pujian manusia dan gelar-gelar duniawi saja yang akan diperoleh, sementara di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala tidak mempunyai nilai sama sekali. Sangat rugi apa yang dilakukan, waktu, tenaga, pikiran dan lain sebagainya hanya untuk memperoleh kenikmatan dunia, sementara di akhirat tidak memperoleh apapun.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an :

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا () ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah, ‘Apakah ingin Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang perbuatan-perbuatannya paling merugi ?’. (Mereka itu) orang yang usahanya sia-sia dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka itu berbuat sebaik-baiknya". (QS Al-Kahfi Ayat 103-104)

Inilah yang membedakan antara seorang mukmin (orang yang beriman) dengan yang tidak beriman, terletak pada niat atau motivasinya dalam setiap langkah kehidupannya. Niat ini begitu penting karena salah niat, akan fatal akibatnya. Sehingga ada pepatah : “Lebih baik kita tidak terkenal di bumi, tapi terkenal di langit daripada terkenal di bumi tidak terkenal di langit.”

Ancaman dalam hadis-hadis sahih di atas begitu seriusnya, sehingga mencium baunya surga saja tidak ia dapatkan. Padahal bau surga itu tercium dari jarak 1000 tahun perjalanan, yang menunjukkan sangat jauhnya.

Marilah kita luruskan niat kita, hanya karena mengharapkan balasan Allah subhanahu wa ta'ala semata, karena apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta'ala adalah kekal dan semua yang ada di dunia ini adalah sementara baik harta, jabatan, popularitas, pujian dan lain-lain, maka semua itu pasti akan sirna.Wallahu A'lam. Semoga bermanfaat !


Sources by: Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik
Editor: Nasirudin Latif