Melacak Kembali Jejaring Ulama Diponegoro (Bagian 2)

 
Melacak Kembali Jejaring Ulama Diponegoro (Bagian 2)
Sumber Gambar: Lukisan Pangeran Dipenogoro/Mts Negeri 1 Klaten

Laduni.ID, Jakarta – Setidaknya ada tiga hal yang bisa dicatat sebagai kunci keberhasilan Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang Jawa dan kaitannya dengan konteks gerakan kekinian. Kunci-kunci ini penting untuk dipelajari mengingat perang yang berlangsung sejak 1825-1830 Masehi (M) ini merupakan perlawanan terbesar masyarakat Jawa yang amat merepotkan dan menguras kas penguasa kolonial Belanda. Dari sesama anak bangsa pun Pangeran Diponegoro harus berhadapan dengan keraton-keraton yang telah dikuasai penjajah.

Pertama, jejaring ulama santri yang sejak lama dibangun dan dibina Pangeran Diponegoro sehingga dukungan meluas di tanah Jawa. Bahasan ini bahkan menjadi perhatian utama penulis yang mengurai secara rinci hingga jejaring itu terbentuk, baik karena garis keturunan, hubungan guru murid (sanad keilmuan), hubungan menantu, maupun perjuangan. Termasuk jaringan dengan Turki Utsmani yang dapat dilacak dari taktik perjuangan dan penamaan laskar.

Jejaring santri ini pula yang terus bergerak meski karena pengkhianatan tokoh utama akhirnya ditangkap dan dibuang ke Makassar. Bahkan keluarga, para pendukung, santri, panglima perang yang menghindari kejaran Belanda pasca penangkapan kemudian menyebar dan mengubah strategi perjuangan dengan mendirikan pesantren-pesantren untuk mencetak kader-kader penerus.

Dengan merunut garis kedekatan disertai jejak-jejak keterhubungan dengan Pangeran Diponegoro, penulis menunjukkan bahwa dari strategi itulah kemudian benar-benar terlahir tokoh-tokoh pergerakan periode berikutnya satu di antaranya KH Hasyim Asy’ari yang mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Kedua, literasi. Tidak dapat dinafikan bahwa kantong-kantong dukungan perjuangan berasal dari pondok-pondok pesantren. Secara historis, kemunculannya memang turut dipicu oleh kegelisahan para ulama, mengingat keraton telah dikendalikan Belanda. Para alim keluar istana, lalu mendirikan pesantren untuk mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat luas. Pendidikan membuat mereka melek.

Ketiga, kejelian Pangeran Diponegoro menjadikan unsur ketaatan pada agama dan penghormatan budaya Jawa sebagai isu bersama untuk mempertaruhkan harta dan nyawa. Opini negatif yang disebarkan Belanda beserta keraton-keraton pendukungnya tidak mampu menepis keyakinan pendukung Sang Pangeran, yang menafsirkan penggusuran patok (nisan) sebagai penghinaan yang tidak dapat diterima.

Narasi ini cukup berhasil membuat kalangan santri terlibat penuh, bahkan setelah perang usai, mereka masih merasa mendapatkan legitimasi historis dan memegang takdir untuk meneruskan perjuangannya (h. 367).

Di sinilah urgensi seorang pemimpin dan para elite. Mereka harus mengolah isu yang tepat agar dapat mengikat loyalitas dan menggerakkan para pendukungnya. Meskipun, dalam perjalanan perjuangannya terjadi juga perdebatan yang ingin menggali motif, sesungguhnya di balik perlawanan Pangeran Diponegoro, sungguh ingin mendirikan balad (negara) Islam atau semata-mata karena ingin menjadi raja Jawa?

Perlu Musuh Bersama?

Argumentasi yang menegaskan bahwa imagined community tumbuh karena kezaliman penguasa kolonial menjadi musuh bersama tetap sulit diabaikan sebagai faktor yang memengaruhi karakter masa lalu. Konteks awal abad ke-19 tentu mengalami perbedaan dengan periode-periode berikutnya. Maka, apa yang harus dilakukan umat agama (Islam) sekarang, ketika republik ini telah diproklamirkan dan tidak ada lagi penjajahan fisik, sementara aneka pengelompokan menjadi bagian inheren bangsa Indonesia?

Jawaban ini bisa kita lacak pada hal 287, buku Jejaring ulama Diponegoro di mana laskar dan kalangan santri merubah kembali strategi untuk menyebar. Berdiaspora mencari lahan yang lebih jauh dari pusat kekuasaan, dengan mendirikan masjid atau merintis pesantren (dengan penanda dua buah pohon sawo) untuk kaderisasi serta pohon kemuning di sekeliling rumahnya.

Penanda dari "showu shuhufakum" artinya rapatkan barisanmu sebagaimana perintah Rasulullah SAW, "Sawwu shufufakum fa inna taswiyatash shohuf miniqamatishsholat." (HR Bukhari).

Tidak saja shalat, dengan kaderisasi di pesantren juga melahirkan perlawanan kultural seperti gerakan literasi dan memperkuat keagamaan di masyarakat. Jejaring di Timur Tengah yang terbangun pada akhir abad 19 seperti Syekh Nawawi al Banrani, Syekh Mahfudz At Termasi, Syekh Abdul Karim al Bantani, Syekh Khatib al Minamgkabawi, Syekh Sulaiman ar Rasuli dan yang lainnya, tidak dapat dipisahkan dari ulama-ulama pejuang yang meneruskan semangat jihad dan keilmuan di bumi Nusantara.

Seperti penulis utarakan di bagian awal, buku terbaru ini pun diposisikan sebagai pelengkap “Masterpiece Islam Nusantara” yang telah diterbitkan sebelumnya, yang berusaha menampilkan wajah khas Islam di Indonesia.

Dalam naskah Jawa dan Belanda ditemukan 108 Kiai, 31 Haji, 15 Syeh, 12 penghulu dan 4 kiai guru turut perang Pangeran Diponegoro. Mereka kini tersebar dari mancanegara kulon sampai timur dan pusat pemerintahan di Keraton Yogyakarta. Semoga jawaban tersebut kelak bisa semakin diungkapkan penulis dalam buku-buku hasil kajian berikutnya.

Oleh: Aji Setiawan


Editor: Daniel Simatupang