Kehati-hatian Ulama Terdahulu dalam Berfatwa

 
Kehati-hatian Ulama Terdahulu dalam Berfatwa
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Suatu kali, serombongan orang Kanada, murid-murid Sayyid Muhammad bin ‘Alawy Al Maliki Al Hasany r.a, sowan ke Rushaifah, Makkah. Mereka mewadulkan musykilah tentang zakat fitrah. Bagi Mazhab Maliki, zakat fitrah harus diberikan berupa “quutul bilaad”, bahan makanan pokok setempat, tidak sah jika diterimakan dalam bentuk uang tunai. Makanan pokok warga Kanada adalah roti dari gandum, dan hal itu menjadi jalan buntu.

Di Kanada, biaya hidup termahal adalah perumahan. Barang siapa punya rumah (baik milik sendiri ataupun sewa) pasti cukup kaya dan tidak termasuk mustahiq (berhak menerima) zakat. Di pihak lain, fakir-miskin pasti tak punya rumah; berarti juga tak punya peralatan yang diperlukan untuk mengolah gandum menjadi roti. Kalau mereka menerima gandum 3 kilo, terus mau diapakan? Dijual pun, siapa mau beli?

Alih-alih langsung menjawab pertanyaan muridnya, Sayyid Muhammad mengarahkan mereka agar datang meminta fatwa kepada Syaikh Ishaq Azzuz, seorang Mufti Mazhab Hanafi, yang membolehkan zakat fitrah dengan uang tunai. Sayyid Muhammad memegang teguh adab dan maqom. Walaupun beliau memiliki pengetahuan sempurna tentang semua madzhab, termasuk Hanafi, beliau adalah mufti Mazhab Maliki. Maka beliau menahan diri dari berfatwa dengan qaul Hanafi, yang menjadi hak mufti Mazhab Hanafi.

‘Alaa kulli haal, perbedaan pendapat Maliki-Hanafi dalam hal zakat fitrah menyediakan kelonggaran bagi warga Kanada dalam melaksanakan kewajiban ibadah itu.

Kiai Bisri Mustofa dan adiknya, Kiai Misbah Mustofa, lahir dari rahim yang sama, Simbah Aminah Zayyadi; berguru kepada orang sama, Kiai Kholil Harun; mereka mondok dan ngaji bersama-sama, belajar kitab-kitab yang sama, yaitu Alfiyah Ibnu Malik dan Fathul Mu’in. Tapi di kemudian hari, mereka tidak pernah satu kata dalam pendapat fikih apa pun.

Kiai Bisri menghalalkan KB, Kiai Misbah mengharamkannya. Kiai Bisri tak suka santri melakoni tirakat yang berat-berat, adiknya menganjurkannya. Kiai Misbah mengharamkan bank, kakaknya menghalalkannya. Kiai Misbah berat, Kiai Bisri enteng.

Kiai Misbah konsisten dengan pandangannya, sehingga tak mau pergi haji lewat pemerintah, yang berarti juga harus menggunakan jasa bank. Beliau nekad menempuh jalan sulit dan berliku-liku untuk mendapatkan visa dan transportasi “Haji Swasta” bersama istrinya. Di pihak lain, Kiai Bisri mendirikan “Yayasan Mu’awanah Lil Muslimin” (Ya Mu’alim) yang lantas membuka layanan “Bank Haji” – belakangan terpaksa tutup karena kebijakan Pemerintah Soeharto menerapkan sentralisasi layanan haji oleh pemerintah saja.

Pandangan Kiai Bisri tentang halalnya bank tergolong kontroversial pada masa itu. Tidak sedikit yang mempertanyakan dan menggugatnya.

“Kata Mbah Fulan, orang yang berhubungan dengan bank itu besok kalau mati jadi jerangkong?” seorang santri bertanya.

Toh Kiai Bisri enteng saja, “Jadi jerangkong ya biar! Wong sudah mati saja. Yang bakalan pusing kan yang masih hidup!”

Lahumal fatihah
Oleh: KH. Yahya Cholil Staquf


Editor: Daniel Simatupang