Apakah Boleh Menukar Beras Lama dengan Beras Baru? Berikut Penjelasannya

 
Apakah Boleh Menukar Beras Lama dengan Beras Baru? Berikut Penjelasannya
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pexels

Laduni.ID, Jakarta – Tetangga saya baru panen padi, biasanya kalau baru dipanen rasa berasnya lebih punel. Kebetulan saya punya persediaan beras lama hasil panen beberapa bulan sebelumnya. Bolehkah saya menukar beras lama saya dengan beras baru panen milik tetangga tersebut karena saya ingin merasakan nasi yang lebih punel? Saya bersedia menukar 5 kilogram beras saya dengan 4 kilogram beras punel itu.

Jawab

Tidak boleh menukar beras lama seberat 5 kilogram dengan beras baru seberat 4 kilogram, karena selisih 1 kilogram adalah riba. Selisih seperti inilah yang dinamakan riba faḍl (رِبَا الفَضْلِ), yakni kelebihan yang ada pada pertukaran komoditas sejenis.

Dalil yang menunjukkan haramnya riba faḍl seperti ini di antaranya adalah hadis berikut ini,

«جَاءَ بِلَالٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ أَيْنَ هَذَا، قَالَ بِلَالٌ: كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ، فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ، لِنُطْعِمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: أَوَّهْ أَوَّهْ، ‌عَيْنُ ‌الرِّبَا ‌عَيْنُ ‌الرِّبَا، لَا تَفْعَلْ، وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ فَبِعِ التَّمْرَ بِبَيْعٍ آخَرَ، ثُمَّ اشْتَرِهِ.». [«صحيح البخاري» (3/ 101 ط السلطانية)]

“Bilal datang menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa kurma Barni (jenis kurma terbaik) maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, ‘Dapat dari mana kurma ini?’ Bilal menjawab, ‘Kami memiliki kurma yang jelek lalu kami jual dua sha kurma tersebut dengan satu sha kurma yang baik agar kami dapat menghidangkannya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.’ Maka saat itu juga Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Aduh-duh, ini benar-benar riba. Janganlah kamu lakukan seperti itu. Jika kamu mau membeli kurma maka juallah kurmamu dengan harga tertentu kemudian belilah kurma yang baik ini.” (H.R.al-Bukhari)

Dalam hadis di atas diceritakan Bilal menyuguhkan kurma barni (بَرْنِيٍّ) kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yakni jenis kurma berkualitas tinggi. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya dari mana asal kurma tersebut? Bilal menjawab bahwa beliau mendapatkan kurma berkualitas baik tersebut dengan cara menukarkannya dengan kurma berkualitas buruk miliknya.

Agar pemilik kurma bagus itu tidak rugi, Bilal bersedia menukar dua ṣha kurma buruk dengan satu ṣha kurma baik. Begitu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar cara transaksinya, beliau lekas menegur dan mengatakan bahwa itu benar-benar riba dan beliau melarangnya.

Jadi, hadis ini menunjukkan pertukaran kurma baik dengan kurma jelek itu dihitung riba jika takarannya tidak sama. Dua sha kurma buruk ditukar dengan satu sha kurma bagus adalah riba karena ada kelebihan satu sha kurma. Agar tidak riba, seharusnya dua sha kurma buruk ditukar dengan dua sha kurma bagus, atau masing-masing sama takarannya yakni satu sha. Ketika sudah beda takaran, berarti ada kelebihan dan kelebihan tersebut riba.

Dengan kata lain, agar terbebas dari riba faḍl, maka harus terealisasi mumasalah (المماثلة) atau tamasul (التماثل), yakni setara/sama. Ukuran mumasalah itu dua, yakni berat (الوزن) atau volume (الكيل).  Oleh karena itu, beras punel sebanyak 1 liter harus ditukar dengan 1 liter beras yang kurang punel. Beras lama 2 kilogram juga harus ditukar dengan beras baru 2 kilogram. Intinya harus sama dalam hal ukuran, entah standar yang dipakai ukuran berat atau ukuran volume.

Hadis di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa nilai/qimah komoditas yang dibarterkan itu tidak diperhatikan. Jadi, agar terhindar dari riba dalam barter komoditas sejenis, yang dituntut hanyalah mumasalah. Tidak peduli salah satu pihak merasa lebih rugi ataukah tidak. Jika orang tidak ingin rugi dan memperhitungkan nilai, maka jangan barter. Tapi jual dulu barang yang jelek dengan uang. Setelah itu belilah barang yang baik dengan uang tersebut.

Adapun riwayat yang menunjukkan bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas membolehkan riba faḍl, maka fatwa tersebut terbit hanya karena beliau berdua belum tahu hadis yang melarangnya. Begitu beliau berdua tahu, mereka langsung mengoreksi fatwanya. Demikianlah yang ditegaskan Imam al-Nawawi dalam Syarah Sahiḥ Muslim saat menerangkan hadis, “arriba finnasi’ah”.

Catatan

Riba faḍl hanya berlaku pada dua komoditas, yakni mata uang dan makanan. Artinya, jika Anda melakukan barter, maka itu tidak masalah karena syariat memang tidak melarang barter. Tetapi hati-hatilah saat melakukan barter pada dua komoditas tersebut. Sebab dua komoditas itu adalah barang “istimewa” yang disebut para ulama sebagai benda ribawi. Jika sudah membarterkan dua komoditas ini, perhatikan betul syarat mumasalah/kesetaraan agar terhindar dari riba faḍl.

Tidak masalah Anda menukarkan satu sepatu dengan dua sepatu, satu pakaian dengan dua pakaian, satu mobil dengan tiga mobil, satu rumah dengan empat rumah sebab semuanya bukan benda  ribawi.

Tapi begitu Anda menukarkan mata uang sejenis, misalnya 1 juta pecahan 100 rb dengan pecahan 5 rb, maka jangan ada selisih sama sekali. Harus sama persis. Karena jika ada selisih maka itu riba.

Termasuk jika Anda menukarkan kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, beras dengan beras, apel dengan apel, jahe dengan jahe, kemiri dengan kemiri, garam dengan garam, bahkan ampo dengan ampo dan semua komoditas makanan apapun, maka perhatikan betul aspek mumasalah agar tidak terkena riba faḍl.

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M. R. Rozikin)
Dikutip dari laman FB Muafa pada 31 Januari 2022


Editor: Daniel Simatupang