Kisah Imam Syafi’i: Masa Kecil, Menuntut Ilmu, Hingga Wafat

 
Kisah Imam Syafi’i: Masa Kecil, Menuntut Ilmu, Hingga Wafat
Sumber Gambar: Imam Syafi'i (Foto Istimewa)

Laduni.ID, JakartaImam Syafi’i merupakan pendiri mazhab Syafi’i yaitu mazhab fikih yang banyak pengikutnya. Imam Syafi’i adalah satu-satunya imam mazhab dari keturunan bani Muththalib yang nasabnya tersambung sampai Rasulullah SAW melalui Abdul Manaf.

Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman. Beliau lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan, perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan (miskin).

Masa Kecil Imam Syafi’I dan Perjalanan Menuntut Ilmu

Sejak kecil beliau sudah tekun dalam belajar menuntut ilmu yang diawali dengan membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur’an, terbukti ketika beliau berusia tujuh tahun dikenal sebagai murid yang sangat cerdas.

Sehingga pada usia tujuh tahun, beliau sudah mampu menghafal Al-Qur’an dengan lancar. Setelah itu kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dani Bani Huzail yang dikenal harul bahasanya. Sampai pada akhirnya beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid Az Zanji yang wafat pada tahun 179 H menyarankan beliau agar mempelajari ilmu fikih.

Imam Syafi’i sebelum berguru berguru kepada Imam Malik beliau belajar kepada  Muslim bin Khalid Az Zanji (Mufti Mekkah). Ketika berada di Mekkah beliau juga berguru pada Sufian bin Uyainah salah seorang ahli hadis di Mekkah. Imam Syafi’i mengatakan, kalau bukan karena Malik dan Sufian, maka akan hilanglah ilmu hijaz.

Diusinya sepuluh tahun Imam Syafi’i sudah hafal kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik. Ketika menginjak usia tiga belas tahun bacaan Al-Qur’an beliau sudah fasih bahkan sangat merdu dan mampu membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu. Pada usia kelima belas tahun inilah, beliau sudah diperbolehkan oleh gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil Haram.

Ketika usianya 20 tahun Imam Syafi’i ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab Al-Muwatta’ di Madinah. Niat beliau untuk belajar menuntut ilmu kepada Imam Malik banyak dari berbagai kalangan yang mendukungnya seperti Gubernur Mekkah.

Pada tahun 163 H, Imam Syafi’i berangkat ke Madinah Munawwarah untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas. Beliau merupakan seorang ahli hadis, pakar fikih, di madinah yang wafat pada tahun 179 H.

Sesampainya Imam Syafi’i di Madinah, dengan diantar oleh Gubernur Madinah beliau mendatangi rumah Imam Malik. Awalnya Imam Malik kurang suka karena dengan adanya surat penghantar dalam urusan menuntut ilmu. Tetapi setelah Imam Syafi’i berbicara dan mengemukakan keinginanya yang kuat untuk belajar dan beliau menyampaikan dirinya telah menghafal Al-Qur’an dan kitab karangan Imam Malik. Setelah mendengar itu Imam Malik bin Anas pun menjadi kagum dan akhirnya menerima imam Syafi’i menjadi muridnya.

Setelah itu kemudian Imam Syafi’i menjadi murid kesayangan Imam Malik bahkan dipercaya untuk mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta’ kepada para jamaah pengajian Imam Malik. Semasa belajar Imam Syafi’i tinggal dirumah Imam Malik.

Imam Syafi’i sebagai ulama yang terus akan haus tentang keilmuan agama, beliau kemudian meminta ijin kepada Imam Malik untuk melanjutkan belajar ke Irak memperdalam ilmu fikih dari penduduk Irak, yaitu dengan murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar kepada Imam Syafi’i.

Sesampainya di Irak, Imam Syafi’i menjadi tamu Imam Muhammad Al-Hasan (murid Imam Abu Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al-Hasan dan Abu Yusuf.

Tak hanya berhenti di Irak proses pengembaraan Imam Syafi’i semasa menuntut ilmu, sekitar dua tahun berdiam di Irak, beliau meneruskan pengembaraannya dalam menuntut ilmu ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, dan Ramlah.

Di setiap kota yang dikunjungi Imam Syafi'i, beliau mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam Syafi'i kembali ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya yaitu Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafi'i selama empat tahun lebih tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.

Setelah itu Imam Syafi’i kembali melanjutkan pengembaraanya menuntut ilmu ke Mesir. Berangkatnya beliau ke Mesir yakni ingin mempelajari ilmu fikih Imam Laits bin Sa’ad mufti Mesir, namun Imam Laits bin Sa’ad pada waktu itu sudah meninggal dunia maka beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya dan berguru dengan ulama wanita bernama Sayyidah Nafisah. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid (pendapat baru) nya. Imam Syafi'i terus mengajar dan menjadi mufti, memberikan fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai wafatnya.

Dalam metode ijtihad Imam Syafi’i dalam mengajar kepada murid-muridnya, beliau menggunakan lima metode yaitu metode Al-Qur’an, hadis, Ijma’, Qiyas, dan Istidlal.

Imam Syafi’i banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama penerusnya seperti Abu Bakar Al-Humaidi. Adapun murid-murid dan penerus beliau adalah sebagai berikut ini.

1.Abu Bakar Al-Humaidi
2. Ibrahim bin Muhammad Al-Abbas
3. Abu Bakar Muhammad bin Idris
4. Musa bin Abi Al-Jarud
5. Ahmad bin Yahya bin Wazir bin Sulaiman At Tujibi

Murid-muridnya yang keluaran Baghdad, adalah:
1. Al-Hasan Al-Sabah Al-Za’farani
2. Al-Husain bin Ali Al-Karabisi
3. Abu Tsur Al-Kalbi
4. Ahmad bin Muhammad Al-Asy’ari

Murid-muridnya yang keluaran Iran dan Iraq, yaitu:
1. Ahmad bin Hanbal
2. Dawud bin Al-Zahiri
3. Abu Tsur Al-Bagdadi 
4. Abu ja’far At-Thabari
5. Ishaq bin Rohaweh (Ibnu Rohaweh)

Murid-muridnya yang keluaran Mesir, adalah:
1. Abu Ya’kub Yusub Ibnu Yahya Al-Buwaithi
2. Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Muradi
3. Abdullah bin Zubair Al-Humaidi
4. Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzany
5. Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Jizi
6.Harmalah bin Yahya At-Tujubi
7. Yunus bin Abdil A’la
8. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim
9. Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam
10. Abu Bakar Al-Humaidi
11. Imam Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al Muzani
11. Abdul Aziz bin Umar
12. Abu Utsman Muhammad bin Syafi’i
13. Rabi' bin Sulaiman

Sanad Keilmuan Bersambung Sampai Rasulullah SAW

Dalam buku Mengenal Lebih Dekat Madzhab Syafii karya Muhammad Ajib dijelaskan, Imam Syafii memiliki sanad keilmuan yang tersambung sampai ke Rasulullah SAW. Imam Nawawi yang merupakan salah satu dari ari kalangan madzhab Syafii pernah mengatakan, Imam Syafii memiliki guru yang sangat banyak.

Di antara guru Imam Syafi’i yang paling masyhur (terkenal) adalah Imam Malik, Imam Sufyan bin Uyainah, dan Imam Muslim bin Khalid Az-Zanji. Adapun guru beliau yang bernama Imam Malik, merupakan murid dari Rabiah bin Abi Abdirrahman dari Anas bin Malik.

Imam Malik juga merupakan murid dari Nafi’ bin Ibnu Umar. Yang mana kedua sahabat Nabi tersebut belajar langsung dari Rasulullah SAW. Sedangkan guru beliau yang bernama Imam Sufyan bin Uyainah adalah murid dari Amr bin Dinar dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dari Rasulullah SAW.

Guru beliau yakni Imam Muslim bin Khalid Az-Zanji adalah murid dari Ibnu Juraij dari Atho’ bin Abi Rabah dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas juga mengambil ilmu dari Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit. Sehingga secara sanad, seluruh guru Imam Syafii mengambil ilmu langsung bersumber kepada Rasulullah SAW.

Karya dan Jasa Imam Syafi’i

Imam Syafi'i adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang mengkodifikasikan ilmu Ushul Fiqih, melalui kitabnya kitab Ar Risalah. Beliau menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Qur’an dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam Syafi'i Juga melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah Imam Malik dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.

Kitab-kitab mazhab Syafi’i:

  1. Kitab Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
  2. Kitab Al ‘Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
  3. Kitab Jami’ul Ilmi.
  4. Kitab Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
  5. Kitab Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
  6. Kitab Siyarul Auza’y, berisi pembelaan terhadap Imam Al Auza’y.
  7. Kitab Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling bertentangan.
  8. Kitab Musnad Imam Syafi'i, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafi'i.

Menjadi Sekretaris Wali Negeri Yaman

Sepeninggal Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang wali negeri Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafi'i. Wali Negeri Yaman mengajak Imam Syafi'i ikut ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman Imam Syafi'i juga masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya bin Hasan. Di sana beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada saat itu sedang marak dipelajari.

Pada waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin yang berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafi'i ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.

Setelah diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau dibebaskan dari segala tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah dibebaskan, Imam Syafi'i sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau mempelajari fiqih.

Qadly di Mesir

Pada sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Gubernur Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafi'i ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam Syafi'i tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.

Keluarga Imam Syafi’i

Walaupun aktif dalam dunia intelektual, Imam al-Syafii juga menjalani hidupnya sebagai seorang suami dan ayah. Hal ini tentu berbeda dengan beberapa ulama lain yang rela menjomlo selamanya demi bisa hidup di jalan intelektual.

Imam Syafi’i menjalani perannya sebagai suami dan kepala keluarga dengan baik. Imam as-Syafii menikah bukan pada umur yang ke 20an tahun. Saat menikah, Imam Syafi’i saat itu hampir memasuki usia kepala tiga, 30 tahun.

Perempuan yang ia nikahi bukanlah perempuan sembarangan. Ia menikahi seorang muslimah mulia yang merupakan keturunan Utsman bin Affan, sang khalifah ketiga. Perempuan itu bernama Hamdah binti Nafi’ bin Anbasah bin Amr bin Utsman bin Affan. Pernikahannya ini dilangsungkan setelah wafatnya Imam Malik bin Anas, guru Imam Syafi’i.

Dari pernikahan Imam Syafi’i dan Hamdah binti Nafi, keduanya dikaruniai tiga orang anak, satu putra dan dua putri. Putra pertamanya bernama Abu Utsman Muhammad bin Muhammad bin Idris. Abu Utsman mewarisi kealiman sang ayah sehingga ia pernah diangkat menjadi hakim di Kota Halab (Aleppo) di Syam. Sedangkan putri kedua dan ketiga mereka bernama Fatimah dan Zainab.

Selain berumah tangga dengan Hamdah binti Nafi’, Imam Syafi’i juga menikahi seorang budak perempuan. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Abu al-Hasan Muhammad bin Muhammad bin Idris as-Syafi’i. Namun sayang, Abu al-Hasan masih amat belia ketika Imam Syafi’i menutup usia. Sehingga ia tumbuh sebagai anak yatim.

Itulah istri dan putra putri Imam Syafi’i sebagaimana ditulis Imam Fakhruddin Ar-Razy dalam Manaqib al-Imam as-Syafi’i.

Wafat

Imam Syafi'i wafat pada malam Jum'at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada usia 52 tahun.

Tidak lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah di atas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk yang telah pergi.

Sejumlah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya. Ia berkata kepada mereka, "Apakah Imam meninggalkan hutang?", "Benar!" jawab mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam.

Jenazah Imam Syafi'i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan jenazah Imam ke rumahnya, setelah jenazah dimasukkan, dia turun ke halaman rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, "Semoga Allah merahmati asy-Syafi'i, sungguh ia benar-benar berwudhu dengan baik."

Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah asy-Syafi'i sampai hari ini, dan disana pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafi'i. Penduduk Mesir terus menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya peziarah.