Perbincangan Malaikat di Langit (Hadis Ikhtiṣamul Mala’il A’la)

 
Perbincangan Malaikat di Langit (Hadis Ikhtiṣamul Mala’il A’la)
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pexels

Laduni.ID, Jakarta – Jika benar malaikat di langit itu berbincang-bincang satu sama lain tentang apa yang terjadi di bumi, kira-kira tema apakah yang diperbincangkan? Apakah memperbincangkan masalah kemiskinan? Korupsi? Humanisme? Ideologi? Benturan Peradaban? Khilafah? Pemilu? Ternyata tidak.

Semua hal yang dianggap perkara besar oleh sebagian orang itu ternyata bukan tema perbincangan malaikat. Yang dibincangkan malaikat ternyata justru perkara yang menurut sebagian orang-orang yang tercelup dengan cinta dunia itu sebagai perkara remeh dan ritual belaka.

Yang diperbincangkan malaikat ternyata adalah tema kafarat (الكَفَّارَاتُ) dan darajat (الدَّرَجَاتُ).

Yang dimaksud dengan kafarat adalah perbuatan yang bisa menghapus dosa-dosa hamba. Sementara yang dimaksud darajat adalah perbuatan-perbuatan yang bisa mengangkat derajat hamba di sisi Allah dan mendekatkan diri kepadaNya.

Al-Tirmizi meriwayatkan,

«عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَتَانِي رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، قُلْتُ: لَبَّيْكَ رَبِّي وَسَعْدَيْكَ، قَالَ: فِيمَ يَخْتَصِمُ ‌المَلَأُ ‌الأَعْلَى؟ قُلْتُ: رَبِّ لَا أَدْرِي، فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيَّ فَوَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيَيَّ فَعَلِمْتُ مَا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَقُلْتُ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، قَالَ: فِيمَ يَخْتَصِمُ ‌المَلَأُ ‌الأَعْلَى؟ قُلْتُ: فِي الدَّرَجَاتِ وَالكَفَّارَاتِ، وَفِي نَقْلِ الأَقْدَامِ إِلَى الجَمَاعَاتِ، وَإِسْبَاغِ الوُضُوءِ فِي المَكْرُوهَاتِ، وَانْتِظَارِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، وَمَنْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ عَاشَ بِخَيْرٍ وَمَاتَ بِخَيْرٍ، وَكَانَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ "». [«سنن الترمذي» (5/ 367 ت شاكر)]

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tuhanku mendatangiku dalam wujud yang paling indah lalu berfirman, ‘Hai Muhammad.’ Aku menjawab, ‘Aku penuhi panggilanmu, Rabb.’ Ia bertanya, ‘Tahukah kamu apa yang dibincangkan para malaikat tertinggi?’ Beliau menjawab, ‘Rabb aku tidak tahu.’ Lalu Ia meletakkan tangan-Nya di atas pundakku hingga aku merasakan dinginnya di antara dadaku lalu aku mengetahui yang ada di Timur dan di Barat. Ia bertanya, ‘Hai Muhammad.’ Aku menjawab, ‘Aku penuhi panggilanmu, Ya Rabb.’ Ia bertanya, ‘Tahukah kamu apa yang diperbincangkan malaikat tertinggi?’ Aku menjawab, ‘Tentang ketinggian derajat, penebus (dosa), melangkahkan kaki menuju (shalat) jamaah, menyempurnakan wudhu pada saat tidak disukai, menunggu shalat setelah shalat, barangsiapa hidup seperti itu, ia hidup dengan baik, mati dalam kebaikan dan ia (terbebas) dari kesalahannya seperti saat dilahirkan ibunya.’”

Dari sini ada pelajaran penting, ternyata belum tentu apa yang kita pikirkan dan kita bayangkan itu dikonfirmasi oleh wahyu. Meskipun umpamanya Allah menganugerahi kita akal selevel mujtahid mutlak atau pemikir besar.

Apa yang kita anggap besar belum tentu dianggap besar oleh Allah dan malaikat-Nya, dan apa yang kita anggap kecil belum tentu dianggap kecil oleh Allah dan malaikatNya. Jika ingin selamat, tentu saja ikuti petunjuk wahyu. Walaupun tidak diridai oleh akal kita.

Dalam hadis ini kita diajari bahwa perkara besar di sisi Allah dan hamba-hamba-Nya yang suci di langit sana adalah adalah perkara penghapusan dosa dan amal yang meningkatkan derajat. Bukan hal-hal duniawi yang distempel jargon agama supaya kelihatan pentingnya. Padahal hakikatnya hanya mengusahakan hidup senikmat-nikmatnya di dunia yang sementara ini atau lebih buruk dari itu yakni memenuhi ambisi duniawi elit-elit tertentu.

Patut dicatat, hal-hal yang saya sebutkan di awal tulisan itu tidak dimaksudkan sebagai perkara yang tidak perlu dibicarakan, tidak penting dibicarakan apalagi diharamkan. Sebab jika sudut pandangnya benar, maka justru bisa diharapkan menjadi bagian amal saleh (meskipun sebagian tema-tema di atas potensi menjerumuskan ke neraka lebih besar daripada peluang menuntun ke surga).

Tapi yang ingin saya tekankan adalah bahwa apa yang disebut dalam hadis ini adalah hal sangat penting dalam din dan harus dipandang besar. Sungguh salah jalan siapapun yang meremehkannya dengan alasan “hanya perkara ritual belaka”. Sepatutnya orang-orang yang menggagas pikiran seperti itu ditinggalkan dan tidak didengarkan.

Hadis ini karena demikian pentingnya sampai disyarah secara khusus oleh Ibnu Rajab dalam karya berjudul Ikhtiyar Al-Aula fi Syarhi Hadisi Ikhtiṣami Al-’Mala’ Al-A‘la. Hadis ini saya singgung sekilas dalam buku saya, “Menyambut Usia 40 Tahun Dalam Perjalanan Menuju Allah”. Ketika ada sebab khusus, maka teringat lagi kemudian saya angkat menjadi tulisan tersendiri.

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M. R. Rozikin)
Dikutip dari unggahan FB Muafa pada 21 Maret 2022


Editor: Daniel Simatupang