Keharusan Berfilsafat dalam Beragama Menurut Ibnu Rusyd

 
Keharusan Berfilsafat dalam Beragama Menurut Ibnu Rusyd
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Firmansyah Djibran El'Syirazi

Laduni.ID, Jakarta – Saya iseng nyari buku bekas tadi di pusat lapak buku-buku kampus bekas Universitas Tehran di Iran. Eh, malah saya ketemu master piece kitab lama Fashl al-Maqal lil Ibnu Rusyd, harganya sangat tak masuk akal, hanya 200.000 riyal (9000 rupiah) dua bahasa (Arab-Persia).

Dalam kitab Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd mengatakan, agama telah mendorong pemeluknya untuk berfilsafat. Karenanya, pengetahuan tentang macam-macam analogi (qiyas), syarat-syaratnya, dan semua hal yang berkaitan dengan aktivitas berfilsafat harus diketahui terlebih dahulu. Ibarat orang hendak bekerja, maka peralatan pekerjaan harus ia miliki.

Jika dalam pekerjaan mencangkul petani harus punya cangkul, maka dalam pekerjaan akal seseorang harus mengetahui semua hal yang berkaitan dengan aktivitas berpikir. Seperti macam-macam qiyas; al-qiyas al-burhani (analogi demonstratif), al-qiyas al-jadali (analogi dialektik), al-qiyas al-khithabi (analogi retorik), al-qiyas al-mughalata (logical fallacy), tentang al-muqaddimt-nya (premis mayor-premis minor), dan yang lainnya.

Pertanyaannya kemudian, apakah umat Islam harus merumuskannya sendiri dengan memutus mata rantai keilmuan tentang hal ini yang sudah lama diteliti dan dipikirkan para filsuf terdahulu, atau mengambil darinya sebagaimana yang ditegaskan nabi Muhammad dalam salah satu sabdanya.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN