Hukum Mufaraqah Makmum Terhadap Imam dalam Shalat Berjamaah

 
Hukum Mufaraqah Makmum Terhadap Imam dalam Shalat Berjamaah
Sumber Gambar: Foto Mohd Danish Hussain / Unspalsh (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Shalat berjama'ah merupakan ibadah yang hukumnya sunah muakad dan lebih utama daripada shalat sendirian. Keutamaan shalat berjama'ah memiliki derajat yang lebih tinggi yaitu 27 derajat dari pada shalat sendirian. Dalam pelaksanaan shalat berjama'ah terdapat beberapa hal yang harus dijelaskan dalam pandangan hukum. Salah satu hal yang harus dijelaskan adalah bagaimana hukum mufaraqah makmum dalam shalat berjama'ah.

Dalam pelaksanaan shalat berjama'ah terkadang kita menemukan kondisi atau keadaan di mana kita ragu akan shalat jama'ahnya. Misalkan imam dalam shalat berjama'ah ternyata memiliki kemampuan membaca Al-Qur'an yang lebih buruk daripada makmum atau adanya hal yang membatalkan shalat yang dilakukan oleh imam, dan lain sebagainya. Dalam kondisi-kondisi seperti itu apakah kita diperbolehkan untuk mufaraqah atau terus melanjutkan shalat berjama'ah dengan imam yang telah disebutkan di atas.

Sedangkan salah satu syarat seorang menjadi imam adalah bacaan Al-Qur'annya (paling tidak surat Al-Fatihahnya) lebih fasih daripada makmumnya. Jika imam yang bacaannya lebih buruk daripada makmum, maka tidak sah bermakmum kepada orang yang demikian. Hal ini dijelaskan dalam berbagai kitab-kitab fiqih salah satunya dalam kitab Nihayatuz Zain karya Syekh Nawawi Al-Bantani berikut:

وأما السورة فإن كان اللحن لا يغير المعنى صحت صلاته والقدوة به لكنه مع التعمد والعلم حرام وإن كان يغير المعنى فإن عجز عن التعلم أو كان ناسيا أو جاهلا صحت صلاته والقدوة به مطلقا مع الكراهة

"Adapun surat (selain Al-Fatihah), jika kesalahan itu tidak mengubah makna, maka sah lah shalatnya dan sah juga bermakmum kepadanya. Tetapi jika kesalahan itu dilakukan dengan sengaja dan sadar (akan larangan demikian), maka haram. Sementara jika seseorang tidak sanggup belajar, lupa atau tidak tahu, maka sah lah shalatnya dan sah juga bermakmum kepadanya secara mutlak meski makruh"

Baca Juga: Perbedaan Pahala Antara Makmum Muwafiq dan Masbuq

Secara pengertian mufaraqah adalah memisahkan diri dari imam di pertengahan melaksanakan shalat berjama'ah. Hukum asal mufaraqah tanpa adanya udzur atau sebab adalah makruh. Namun jika mufaraqah yang dilakukan oleh makmum didasarkan karena udzur atau sebab yang baik seperti ketika imam meninggalkan kesunahan shalat, maka hukum mufaraqahnya menjadi sunah. Bahkan jika imam melakukan hal yang membatalkan shalat maka hukum mufaraqahnya adalah wajib.

Berikut penjelasan lengkap terkait hukum mufaraqah yang disebutkan dalam kitab Bughyah Al-Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba'alawy

والحاصل أن قطع القدوة تعتريه الأحكام الخمسة واجبا ، كأن رأى إمامه متلبسا بمبطل وسنة لترك الإمام سنة مقصودة ، ومباحا كأن طول الإمام، ومكروها مفوتا لفضيلة الجماعة إن كان لغير عذر ، وحراما إن توقف الشعار عليه أو وجبت الجماعة كالجمعة اهـ

"Kesimpulannya, memutus hubungan dengan imam terdapat lima rincian hukum. Pertama, wajib, seperti saat makmum melihat imam melakukan hal yang membatalkan shalat. Kedua, sunah, yakni ketika imam meninggalkan sebuah kesunahan yang dianjurkan (dalam shalat). Ketiga, mubah, seperti ketika imam memanjangkan shalat. Keempat, makruh dan dapat menghilangkan fadilah jama'ah, yakni ketika mufaraqah tanpa adanya uzdur. Kelima, haram, yaitu ketika syiar shalat berjama'ah hanya terwujud pada dirinya atau ketika jama'ah merupakan suatu kewajiban, seperti pada shalat Jum'at". (Bughyah Al-Mustarsyidin, hal. 153)

Kemudian dalam kitab Nihayatuz Zain, Syekh Nawawi Al-Bantani meberikan penjelasan tentang hukum mufaraqah seorang makmum dalam shalat berjama'ah sebgai berikut:

ونية المفارقة بلا عذر مكروهة مفوتة لفضيلة الجماعة فلا يحرم عليه قطع القدوة بنية المفارقة وإن قلنا إن الجماعة فرض كفاية لأن فرض الكفاية لا يلزم بالشروع فيه إلا في الجهاد وصلاة الجنازة والحج والعمرة ومحل جواز ذلك ما لم يترتب على ذلك تعطيل الجماعة كأن لم يكن هناك إلا إمام ومأموم وإلا حرم لأن فرض الكفاية إذا انحصر تعين فإن كانت المفارقة لعذر كمرض وتطويل إمام وتركه سنة مقصودة وهي ما جبر بسجود السهو أو قوي الخلاف في وجوبها أو وردت الأدلة بعظيم فضلها فلا كراهة ولا تفويت

"Niat memisahkan diri dari imam (mufaraqah) tanpa adanya udzur adalah hal yang makruh dan dapat menghilangkan fadilah jama’ah. Maka tidak haram bagi makmum memutus hubungan dengan imam dengan niat mufaraqah. Meskipun kita berpijak pada pendapat yang mengatakan bahwa shalat berjama'ah hukumnya adalah fardhu kifayah. Sebab fardhu kifayah tidak menjadi tetap (wajib) dengan melaksanakannya kecuali dalam bab Jihad, shalat janazah, haji, dan umrah.  Ketentuan bolehnya mufaraqah ini selama tidak berakibat pada sepinya jama'ah dalam suatu daerah, misalnya seperti tidak ada seorang pun yang shalat berjama'ah kecuali imam dan makmum tersebut. Jika kasus terakhir ini terjadi maka haram bagi makmum untuk mufaraqah, sebab fardhu kifayah ketika teringkas pada seseorang, maka berubah menjadi fardhu ‘ain. Jika mufaraqah karena adanya udzur, maka tidak makruh dan tidak menghilangkan fadilah jama'ah, seperti makmum merasa sakit, imam memanjangkan shalatnya, atau imam meninggalkan sunah maqsudah, yakni sunah-sunah yang diganti dengan sujud sahwi atau sunah yang begitu kuat perkhilafan ulama tentang wajibnya melaksanakan sunah tersebut, atau sunah yang terdapat dalil yang menunjukkan besarnya fadilah melakukannya". (Nihayatuz Zain, hal. 129)

Baca Juga: Hukum Bermakmum Kepada Orang yang Tidak Disukai

Terkait dengan imam yang memanjangkan shalatnya dan makmum memiliki keperluan, makmum diperbolehkan untuk meninggalkan jama'ah shalatnya. Hal ini terdapat dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah RA dalam riwayat Imam Bukhari berikut:

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَرْجِعُ فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ فَصَلَّى الْعِشَاءَ فَقَرَأَ بِالْبَقَرَةِ فَانْصَرَفَ الرَّجُلُ فَكَأَنَّ مُعَاذًا تَنَاوَلَ مِنْهُ فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ فَتَّانٌ فَتَّانٌ فَتَّانٌ ثَلَاثَ مِرَارٍ أَوْ قَالَ فَاتِنًا فَاتِنًا فَاتِنًا وَأَمَرَهُ بِسُورَتَيْنِ مِنْ أَوْسَطِ الْمُفَصَّلِ قَالَ عَمْرٌو لَا أَحْفَظُهُمَا

 

"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Ghundar berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Amru berkata, Aku mendengar Jabir bin 'Abdullah berkata, "Mu'adz bin Jabal pernah shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dia lalu kembali pulang dan mengimami kaumnya shalat 'Isya dengan membaca surah Al Baqarah. Kemudian ada seorang laki-laki keluar dan pergi, Mu'adz seakan menyebut orang tersebut dengan keburukan. Kejadian ini kemudian sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau pun bersabda: "Apa engkau akan membuat fitnah? Apa engkau akan membuat fitnah? Apa engkau akan membuat membuat fitnah?" Beliau ucapkanhingga tiga kali. Atau kata beliau: "Apakah kamu menjadi pembuat fitnah? Apakah kamu menjadi pembuat fitnah? Apakah kamu menjadi pembuat fitnah?" Lalu beliau memerintahkannya (Mu'adz) untuk membaca dua surah saja dari pertengahan Al Mufashshal." Amru berkata, 'Namun aku tidak hafal kedua surat tersebut". (HR. Bukhari No. 660)

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 30 Maret 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


Referensi:
1. Kitab Sahih Bukhari
2. Kitab Nihayatuz Zain
3. Kitab Bughyah Bughyah Al-Mustarsyidin