Kafarat Hubungan Intim di Bulan Ramadhan

 
Kafarat Hubungan Intim di Bulan Ramadhan
Sumber Gambar: Ilustrasi (Foto Ist)

Laduni.ID, Jakarta - Suami yang melakukan hubungan intim (jimak) dengan istrinya pada waktu siang hari bulan Ramadhan saat dalam keadaan puasa, maka hukumnya haram dan ia diwajibkan membayar kafarat (tebusan) atas kesalahannya itu.

Kafaratnya salah satu dari tiga hal berikut dengan skala prioritas: (a) membebaskan budak; (b) puasa dua bulan berturut-turut; (c) memberi makan pada 60 orang miskin di mana setiap orang miskin diberi 1 mud atau 750 gram beras (ada juga yang berpendapat 675 gram beras) atau 0.688 liter beras.

Untuk kafarat yang terakhir, ia harus berupa makanan pokok yakni beras yang diberikan dalam keadaan mentahnya atau yang sudah dimasak serta harus diberikan kepada 60 orang miskin (tidak boleh kurang) dengan niat yang jelas. Imam Syairozi dalam Al-Muhadzab, hlm. 3/68, menyatakan:

ﻭ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺪﻓﻊ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺇﻟﻰ ﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺳﺘﻴﻦ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻟﻶﻳﺔ ﻭ ﺍﻟﺨﺒﺮ ﻓﺈﻥ ﺟﻤﻊ ﺳﺘﻴﻦ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻭ ﻏﺪﺍﻫﻢ ﻭ ﻋﺸﺎﻫﻢ ﻟﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻟﻢ ﻳﺠﺰﻩ ﻷﻥ ﻣﺎ ﻭﺟﺐ ﻟﻠﻔﻘﺮﺍﺀ ﺑﺎﻟﺸﺮﻉ ﻭﺟﺐ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺘﻤﻠﻴﻚ ﻛﺎﻟﺰﻛﺎﺓ ﻭ ﻷﻧﻬﻢ ﻳﺨﺘﻠﻔﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻷﻛﻞ ﻭ ﻻ ﻳﺘﺤﻘﻖ ﺃﻥ ﻛﻞ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﻳﺘﻨﺎﻭﻝ ﻗﺪﺭ ﺣﻘﻪ

Artinya: Tidak boleh memberikan kafarat kepada orang miskin yang kurang dari 60 orang (hukum ini) berdasarkan Qur’an dan hadis. Apabila terkumpul 60 orang miskin, lalu memberi mereka makan pagi dan makan malam (tanpa ada niat dan ijab kabul) maka itu tidak sah. Karena, (a) yang diwajibkan diberikan pada orang fakir secara syariah itu wajibnya berupa kepemilikan seperti zakat (jadi harus ada serah terima), dan (b) karena mereka berbeda dalam segi kadar banyaknya yang dimakan, serta (c) tidak jelas bahwa masing-masing orang miskin memperoleh bagian haknya (sesuai yang ditentukan).

Batasan Tidak Mampu pada Jenis Kafarat Puasa Dua Bulan

Tiga jenis kafarat di atas adalah berdasarkan skala prioritas bukan opsional. Artinya, kalau kafarat pertama tidak mampu, baru pindah ke jenis kafarat kedua. Begitu juga, kalau kafarat kedua (puasa 2 bulan) tidak mampu, maka baru pindah ke jenis kafarat ketiga. Kapan kita bisa mengganti puasa dengan memberi makan 60 orang miskin? Dalam kondisi apa seseorang dianggap tidak mampu puasa kafarat 2 bulan? Imam Nawawi dalam Raudhah Al-Tolibin wa Umdatul Muftin, hlm. 1/277, menjelaskan:

ﻓﺼﻞ : ﻭ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻟﻜﺒﺮ ﻻ ﻳﻄﻴﻖ ﻣﻌﻪ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺃﻭ ﻟﻤﺮﺽ ﻻ ﻳﺮﺟﻰ ﺑﺮﺅﻩ ﻣﻨﻪ ﻟﺰﻣﻪ ﺃﻥ ﻳﻄﻌﻢ ﺳﺘﻴﻦ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻟﻶﻳﺔ ﻭ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺃﻥ ﻳﺪﻓﻊ ﺇﻟﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻜﻴﻦ ﻣﺪﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻟﻤﺎ ﺭﻭﻯ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻓﻲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻟﻪ : ‏[ ﺃﻃﻌﻢ ﺳﺘﻴﻦ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ‏] ﻗﺎﻝ : ﻻ ﺃﺟﺪ ﻗﺎﻝ : ﻭ ﺇﺫﺍ ﺛﺒﺖ ﻫﺬﺍ ﺑﺎﻟﺠﻤﺎﻉ ﺑﺎﻟﺨﺒﺮ ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻈﺎﻫﺮ ﺑﺎﻟﻘﻴﺎﺱ ﻋﻠﻴﻪ

Artinya: Apabila tidak mampu berpuasa karena tua atau sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya maka wajib baginya memberi makan 60 orang miskin. Yang wajib adalah memberi setiap satu orang miskin satu mud makanan berdasarkan hadis dari Abu Hurairah dalam masalah hadis jimak pada bulan Ramadhan di mana Rasulullah SAW bersabda padanya (pelaku jimak bulan Ramadan): “Berikan makanan pada 60 orang miskin.” Pria itu berkata, “Aku tidak punya.” Lalu Nabi memberikan korma 15 sha’ dan bersabda pada pria itu, “Ambillah dan bersedekahlah dengannya.”

Tingginya Syahwat Bisa Jadi Alasan Kafarat Memberi Makan 60 Orang Miskin

Suami yang melakukan jimak pada istrinya di siang bulan Ramadan karena sangat tingginya syahwat pada saat itu dapat dijadikan udzur atau alasan yang diterima syariah untuk memilih kafarat jenis ketiga yakni memberi makan 60 orang miskin. Imam Nawawi dalam Raudhah Al-Tolibin wa Umdatul Muftin, hlm. 1/277, menjelaskan:

ﻭﻫﻞ ﺗﻜﻮﻥ ﺷﺪﺓ ﺍﻟﻐﻠﻤﺔ ﻋﺬﺭﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺪﻭﻝ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺇﻟﻰ ﺍﻻﻃﻌﺎﻡ ﻭﺟﻬﺎﻥ ﺃﺻﺤﻬﻤﺎ ﺃﻧﻬﺎ ﻋﺬﺭ ﻭﺑﻪ ﻗﻄﻊ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺘﻬﺬﻳﺐ ﻭﻫﻮ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﻛﻼﻡ ﺍﻷﻛﺜﺮﻳﻦ ﻭﺭﺟﺢ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﺍﻟﻤﻨﻊ .

Artinya: Apakah sangat tingginya syahwat dapat menjadi udzur (alasan) untuk pindah kafarat dari puasa ke memberi makan? Ada dua pendapat. Yang paling sahih adalah termasuk udzur. Pendapat ini ditetapkan oleh Al-Baghawi dalam Al-Tahdzib. Pendapat ini juga dapat dipahami dari pendapat mayoritas ulama madzhab Syafi’i. Namun, Al-Ghazali mengunggulkan pendapat yang sebaliknya (tidak menganggap udzur).

Waktu Mulai Puasa Kafarat Dua Bulan Berturut-turut

Awal waktu untuk memulai puasa kafarat dua bulan berturut-turut sifatnya bebas. Bisa di awal bulan atau di tengah bulan. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, hlm. 8/30, menjelaskan pendapat para ulama termasuk Imam Syafi’i sbb:

ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺒﺘﺪﺉ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺸﻬﺮﻳﻦ ﻣﻦ ﺃﻭﻝ ﺷﻬﺮ ، ﻭﻣﻦ ﺃﺛﻨﺎﺋﻪ ، ﻻ ﻧﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺧﻼﻓﺎ ; ﻷﻥ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﺳﻢ ﻟﻤﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻬﻼﻟﻴﻦ ﻭﻟﺜﻼﺛﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ، ﻓﺄﻳﻬﻤﺎ ﺻﺎﻡ ﻓﻘﺪ ﺃﺩﻯ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ، ﻓﺈﻥ ﺑﺪﺃ ﻣﻦ ﺃﻭﻝ ﺷﻬﺮ ، ﻓﺼﺎﻡ ﺷﻬﺮﻳﻦ ﺑﺎﻷﻫﻠﺔ ، ﺃﺟﺰﺃﻩ ﺫﻟﻚ ، ﺗﺎﻣﻴﻦ ﻛﺎﻧﺎ ﺃﻭ ﻧﺎﻗﺼﻴﻦ ، ﺇﺟﻤﺎﻋﺎ . ﻭﺑﻬﺬﺍ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ، ﻭﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﺮﺍﻕ ، ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﺠﺎﺯ ، ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ، ﻭﺃﺑﻮ ﺛﻮﺭ ، ﻭﺃﺑﻮ ﻋﺒﻴﺪ ، ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ; ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺎﻝ : } ﻓﺼﻴﺎﻡ ﺷﻬﺮﻳﻦ ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﻴﻦ { . ﻭﻫﺬﺍﻥ ﺷﻬﺮﺍﻥ ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﺎﻥ . ﻭﺇﻥ ﺑﺪﺃ ﻣﻦ ﺃﺛﻨﺎﺀ ﺷﻬﺮ ، ﻓﺼﺎﻡ ﺳﺘﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ . ﺃﺟﺰﺃﻩ ، ﺑﻐﻴﺮ ﺧﻼﻑ ﺃﻳﻀﺎ

Artinya: Boleh mengawali puasa dua bulan dari awal bulan atau dari pertengahan bulan. Tidak ada perbedaan ulama dalam soal ini. Karena bulan itu adalah nama di antara dua dua hilal (bulan sabit tanda awal bulan) dan bermakna 30 hari. Kapanpun mulai puasa maka kewajiban sudah terlaksana. Apabila mulai dari awal bulan lalu puasa dua bulan berdasarkan hilal (kalender hijriyah), maka hukumnya sah. Baik sempurna hilalnya atau kurang, berdasarkan ijmak ulama. Ini pendapat Al-Tsauri, Ahlul Iraq, Imam Malik dari Ahlul Hijaz, Imam Syafi’i, Abu Tsaur, Abu Ubaid, dan lainnya. Karena Allah berfirman (dalam QS An-Nisa 4:92 dan Al-Mujadalah :4) “Maka puasa dua bulan berturut-turut”. Dan ini adalah dua bulan berturut-turut. Apabila mengawali puasa dari pertengahan bulan, lalu puasa 60 hari, maka ini juga sah tanpa ada perbedaan ulama.