Mengenang 50 Tahun Wafatnya KH. Abdul Halim Leuwimunding, Sang Pendiri NU

 
Mengenang 50 Tahun Wafatnya KH. Abdul Halim Leuwimunding, Sang Pendiri NU
Sumber Gambar: KH. Abdul Halim Leuwimunding (foto istimewa)

Laduni.ID, Jakarta – KH. Abdul Chalim Leuwimunding adalah salah satu murid terdekat dari KH. Abdul Wahab Hasbullah Tambak Beras Jombang. Lahir pada 1898, di Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat, tanpa catatan tanggal kelahiran, wafat pada11 April 1972, di usia 74 tahun.

Sang Alim Allamah dan sosok pejuang serta pendakwah yang sederhana ini dimakamkan di Kompleks Pesantren Sabilul Chalim di Kecamatan Leuwimunding, Majalengka, Cirebon, Jawa Barat.

Diceritakan langsung oleh KH Asep Saifuddin, saat-saat akhir hayatnya, KH Abdul Chalim sering mengkaji kitab yang membahas kematian atau sakaratul maut. Kemudian, 40 hari sebelun wafat, ia sering didatangi oleh malaikat dangan menyuguhkan makanan. Semakin mendekati hari kematiannya, KH Abdul Chalim semakin sering mengkaji kitab tentang kematian. Hingga pada hari kematiannya, selepas menunaikan ibadah salat subuh, KH Abdul Chalim sempat mengelilingi empat desa di Kecamatan Leuwimunding, yaitu Desa Leuwimunding, Ciparay, Leuwikujang, dan Desa Mirat.

Beberapa saat menjelang siang, KH Abdul Chalim mengumpulkan keluarga beserta semua istri-istrinya. Tidak lama setelah pertemuan itu, beliau naik ke loteng dan di sanalah beliau ditemukan sudah menghadap Ilahi Rabbi SWT, yakni pada 11 April 1972 dengan posisi tengkurap sambil membawa selembar kertas dan sebuah pena.

Sosok KH. Abdul Chalim Leuwimunding

KH. Abdul Halim memang kurang dikenal. Namanya sering pula dikelirukan dengan tokoh NU lain dari Majalengka, Jawa Barat, yang bernama Abdul Halim. Dua-duanya tokoh NU, namun Abdul Chalim yang ditulis ini adalah salah satu pendiri NU dan berasal dari Desa Leuwimunding. Untuk membedakan keduanya, di belakang nama tokoh pendiri NU ini ditambahkan Leuwimunding.

Nama KH. Abdul Chalim baru lebih dikenal setelah mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berziarah ke makam Kiai Chalim di Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat pada Maret 2003. Kiai Halim juga tersorot saat rombongan Kirab Santri Nasional 2015 Surabaya-Jakarta singgah dan berdoa di makam kiai tersebut.

Mengapa Gus Dur berziarah ke makam KH. Abdul Chalim Leuwimunding? Alkisah pada awal 2003, sejumlah pengurus dan anggota Banser NU Majalengka sowan pada Gus Dur di kediamannya di Ciganjur. Saat tiba di Ciganjur, Gus Dur ternyata masih belum datang dari kunjungan ke Prancis. “Ya, para anggota Banser memutuskan menunggu beberapa hari,” kata Ustadz Arifin Muslim, mantan Ketua Banser Majalengka.

Menurut Arifin, setelah Gus Dur datang dari kunjungannya di luar negeri, para aktivis Banser itu diterima di kediamannya. Dalam perbincangan tersebut, Gus Dur bertanya dari mana para tamunya.

Saat diberitahu bahwa para Banser itu dari Leuwimunding, Majalengka, sontak Gus Dur kaget.

Leuwimunding? Saya punya guru di sana, sudah wafat memang. Namanya Kiai Abdul Halim,” kata Gus Dur seperti ditirukan Ustadz Arifin.

Segera saja, kata Arifin, Gus Dur memanggil stafnya untuk mengagendakan ziarah ke makam Kiai Abdul Halim, dalam rangkaian acara kunjungannya ke Cirebon dan sekitarnya. Dalam sambutannya sekitar 45 menit di depan warga Leuwimunding di area makam Kiai Chalim, Gus Dur mengemukakan peran besar Kiai Chalim di masa sebelum berdirinya NU, saat pendirian, dan dalam perkembangan NU. “Banyak yang hadir saat kunjungan ziarah Gus Dur di makam Kiai Halim. Ada ratusan orang warga Nahdliyin,” tutur Ustadz Arifin.

Kunjungan Gus Dur tersebut menunjukkan betapa besarnya perhatian pemimpin terkemuka NU dan mantan Presiden RI tersebut. Pertanyaannya sekarang, bagaimana perhatian warga masyarakat, terutama kalangan NU sendiri?  Tidak mudah memang merangkai cerita tentang seorang tokoh yang selalu “bekerja dalam diam”.

Tokoh ini sungguh rendah hati. Untungnya, ada sejumlah tulisan karya Kiai Halim yang ditinggalkan, khususnya tentang berdirinya NU, tokoh-tokohnya, serta perkembangan NU hingga tahun 1970. Tahun itulah buku karya Kiai Halim, Sejarah Perjuangan KH. Wahab Chasbullah, yang ditulis dengan huruf Arab Pegon diterbitkan. Sebuah buku kecil memang, yang dilampirkan di bagian belakang buku ini. Tetapi itulah satu di antara sedikit buku yang membahas sejarah NU saat itu. Amat langka penulis yang menulis buku tentang NU, termasuk dari kalangan NU sendiri.

Tetapi sejarah telah menunjukkan bahwa Kiai Chalim sangat dekat dengan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah. Dengan kata lain, Kiai Chalim adalah orang kepercayaan kedua ulama terkemuka tersebut. Lewat  Kiai Chalim, dua kiai tersebut merancang komunikasi lewat surat-surat dengan para ulama terkemuka se Jawa dan Madura.