Hukum Menunda Ibdah Haji Padahal Sudah Mampu

 
Hukum Menunda Ibdah Haji Padahal Sudah Mampu
Sumber Gambar: Shahbaz Hussain Shah / Pexels

Laduni.ID, Jakarta – Ibadah Haji merupakan rukun islam yang kelima. Ibadah ini wajib hukumnya bagi semua umat muslim yang sudah mampu melaksanakannya. Allah SWT telah berfirman dalam Al Qur'an Surat Ali 'Imran ayat 97 sebagai berikut:

فِيهِ ءَايَٰتٌۢ بَيِّنَٰتٌ مَّقَامُ إِبْرَٰهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ

Artinya:"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim, barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia, mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."

Namun, bagaimana hukumnya bagi orang yang telah mampu, tetapi ia tidak segera menunaikan ibadah haji? Dan apakah kewajiban haji itu harus dilaksanakan langsung setelah ia dianggap mampu, atau boleh ditunda?

Di dalam kitab Alfiqh Almanhaji Ala Madzhab Al Imam Al Syafii disebutkan

مذهب الشافعي رحمه الله تعالى أن الحج والعمرة لا يجبان على الفور، بل ، بل يصح تأخيرهما لأن العمر كله زمان لأدائهما، لكن بشرط العزم على الفعل في المستقبل، وهذا لا ينافي أنه يُسن أداؤهما عقب الوجوب فوراً مبادرة إلى براءة ذمته، ومسارعة في طاعة ربه، قال تعالى في / سورة المائدة:48 ( فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ)

Menurut pendapat imam Syafii rahimahullahu ta’aala bahwa haji dan umrah tidak wajib dilaksanakan dengan segera, bahkan sah menundanya, karena seluruh umur itu adalah waktu untuk melaksanakan haji dan umrah.

Tetapi (boleh menundanya) dengan syarat adanya tekad yang kuat untuk melaksanakannya di masa yang akan datang. Hal ini tidak menafikan bahwa disunnahkan melaksanakan haji dan umrah dengan segera setelah adanya kewajiban (mampu secara materi, fisik dan keamanan), karena agar ia segera terbebas dari tanggungannya dan bersegera dalam melaksanakan keataan kepada Tuhannya. Allah SWT berfirman

فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (QS. Al-Maidah: 48).

Berdasarkan keterangan di atas menunjukkan bahwa jika seseorang itu telah dianggap mampu untuk menunaikan haji, namun tidak segera menunaikannya maka hal ini diperbolehkan menurut imam Syafii. Karena kewajiban haji itu tidak wajib langsung atau segera dilaksanakan. Tetapi boleh menundanya. Namun, disunnahkan segera melaksanakan ketika ia telah mampu baik secara fisik, materi dan keamanannya.

Alasan lainnya mengapa imam Syafii membolehkan menunda pelaksanaan haji ketika telah mampu adalah karena melihat Nabi Muhammad SAW yang baru melaksanakan ibadah haji di tahun kesepuluh hijriyyah. Padahal haji itu telah diwajibkan pada tahun keenam hijriyah.

Pendapat imam Syafii tersebut berbeda dengan ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali yang mengatakan bahwa wajib dilaksanakan dengan segera bagi orang yang telah mampu menunaikannya. Bahkan mereka menganggap bagi orang yang menunda ibadah haji tersebut padahal ia telah mampu telah berbuat maksiat kecil.

Dasar mereka adalah

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran: 97)

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (QS. Albaqarah; 196).

Mereka menganggap bahwa perintah di dalam ayat tersebut adalah perintah untuk “segera” menunaikan haji bagi yang telah mampu.

Namun menurut Syekh Wahbah Azzuhaili di dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu menyebutkan bahwa pendapatnya imam Syafii lebih mudah dan ringan bagi umat Islam yakni tidak adanya hukum dosa (yang berat bagi yang tidak langsung menunaikan haji). Imam Syafii hanya menghukumi sunnah untuk dilakukan dengan segera, tidak wajib.

Selain itu argumen Syekh Wahbah lebih mengunggulkan pendapatnya imam Syafii karena hadis-hadis yang dijadikan dasar hukum ulama hanafi, maliki dan Hanbali itu dhaif. Seperti hadis riwayat Abu Umamah bahwa Nabi SAW bersabda:

«من لم يحبسه مرض أو حاجة ظاهرة أو مشقة ظاهرة أو سلطان جائر، فلم يحج، فليمت إن شاء يهودياً، وإن شاء نصرانياً»

“Siapa yang tidak terhalang sakit, suatu keperluan yang jelas, masyaqqah yang jelas atau pemimpin yang dhalim, lalu ia tidak menunaikan ibadah haji, maka meninggallah entah dalam keadaan Yahudi dan jika dia berkehendak dalam keadaan Nasrani.” (HR. Said bin Mansur, Ahmad, Abu Ya’la dan Albaihaqi).

Dengan demikian, maka bagi orang yang telah mampu untuk melaksanakan ibadah haji, maka disunnahkan untuk segera menunaikannya. Tetapi boleh baginya untuk menundanya, hanya saja ia harus sudah punya niat yang kuat dan rencana untuk menunaikannya di waktu mendatang.

Lagi pula, sekarang antrian haji semakin panjang. Sehingga lebih baiknya jika ketika telah mampu secara finansial segera mendaftar dengan uang yang telah ada, sebelum uang tersebut digunakan untuk hal-hal lainnya. Wa Allahu A’lam bis Shawab.


Referensi: Kitab Alfiqh Almanhaji Ala Madzhab Al Imam Al Syafii