Inilah Hukum Melihat Kelamin saat Hubungan Suami-Istri

 
Inilah Hukum Melihat Kelamin saat Hubungan Suami-Istri
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Melihat kelamin saat hubungan suami-istri menjadi topik yang sering diperdebatkan dalam ranah hukum dan agama. Dalam banyak tradisi keagamaan, tindakan ini dianggap tidak senonoh dan bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dipegang teguh. Dalam Islam, misalnya, tindakan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap privasi dan keintiman pasangan suami-istri, serta dapat merusak keharmonisan dalam hubungan tersebut. Oleh karena itu, umumnya, praktik ini tidak dianjurkan dalam konteks keagamaan.

Dari perspektif hukum sekuler, melihat kelamin saat hubungan suami-istri dapat menjadi bahan perdebatan terkait privasi dan hak asasi individu. Beberapa yurisdiksi mungkin memiliki undang-undang yang melarang pengintaian atau pengawasan terhadap aktivitas seksual antara pasangan suami-istri tanpa izin mereka. Hal ini bertujuan untuk melindungi privasi dan kebebasan individu dalam menjalani kehidupan pribadi mereka tanpa campur tangan yang tidak diinginkan dari pihak lain, termasuk pemerintah.

Dalam praktiknya, penting untuk menghormati batasan-batasan yang ditetapkan oleh hukum dan nilai-nilai agama, serta memahami pentingnya keintiman dan rasa hormat dalam hubungan suami-istri. Meskipun demikian, setiap pasangan memiliki hak untuk menetapkan batasan-batasan mereka sendiri dalam hubungan mereka, dengan saling memahami dan menghormati kebutuhan dan preferensi masing-masing.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang suami yang menggauli (jima’) istrinya, maka jima’nya itu dicatat memperoleh pahala seperti pahalanya anak lelaki yang berperang (dengan kaum kafir) di jalan Allah, lalu terbunuh.” (Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghozali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin juz 2 halaman 326). Riwayat ini dinilai tidak ada asalnya (لم أجد له أصلا) oleh Al-Iraqi.

Menurut KH. Sya'roni Ahmadi, Kudus, kenikmatan dunia yang paling mendekati kenikmatan surga hanya satu, yaitu ketika seseorang sedang berhubungan suami-istri. Meskipun kenikmatan itu masih belum ada apa-apanya jika dibanding dengan kenikmatan surga, setidaknya hal itulah yang paling mendekat ke sana.

Dalam bersenggama, masing-masing pasangan diperbolehkan menyentuh atau bahkan memegang kelamin pasangan masing-masing tanpa ada perbedaan pendapat dari kalangan ulama.

Suami diperbolehkan melihat semua sudut tubuh istrinya selain farji (vagina) baik pada bagian luar atau dalam. Melihat vagina bagian dalam hukumnya sangat dimakruhkan. Tetapi jika ada satu kebutuhan, melihatnya tidak makruh.

و الضَّرْبُ (الثَّانِي نَظَرُهُ) أَيْ الرَّجُلِ (إلَى) بَدَنِ (زَوْجَتِهِ وَ) إلَى بَدَنِ (أَمَتِهِ) الَّتِي يَحِلُّ لَهُ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا (فَيَجُوزُ) حِينَئِذٍ (أَنْ يَنْظُرَ إلَى) كُلِّ بَدَنِهِمَا حَالَ حَيَاتِهِمَا؛ لِأَنَّهُ مَحَلُّ اسْتِمْتَاعِهِ (مَا عَدَا الْفَرْجَ) الْمُبَاحَ مِنْهُمَا، فَلَا يَجُوزُ جَوَازًا مُسْتَوِيَ الطَّرَفَيْنِ فَيُكْرَهُ النَّظَرُ إلَيْهِ بِلَا حَاجَةٍ، وَإِلَى بَاطِنِهِ أَشَدُّ كَرَاهَةٍ {قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا مَا رَأَيْت مِنْهُ وَلَا رَأَى مِنِّي} أَيْ الْفَرْجَ

Artinya, “Bagian kedua yaitu melihatnya seorang suami pada tubuh istrinya dan tubuh budak perempuannya yang halal baginya untuk ia buat senang-senang, hukumnya boleh melihat kepada tubuh kedua orang tersebut saat mereka masih hidup, karena itulah tempat untuk bersenang-senang, selain farji (vagina) yang diperbolehkan bagi mereka. Jika melihat vagina hukumnya tidak boleh dengan prosentase 50-50. Melihat vagina itu hukumnya makruh jika tanpa ada keperluan. Sedangkan melihat bagian dalam vagina sangat dimakruhkan.

Sayyidah 'Aisyah r.ha. berkata, ‘Aku tak pernah melihat punyanya Rasul dan ia juga tak pernah melihat punyaku,’ (farji),” (Lihat Muhammad bin Ahmad As-Syarbini, matan dari Hasyiyah Al-Bujairimi Alal Khatib, Darul Fikr, juz IV, halaman 103).

Melihat kemaluan istri, menurut sebagian ulama bisa menyebabkan kebutaan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

النَّظَرُ إلَى الْفَرْجِ يُورِثُ الطَّمْسَ ) أَيْ الْعَمَى

Artinya “Melihat kelamin seorang wanita itu bisa menyebabkan kebutaan.”

Ulama berbeda pendapat tentang buta yang dimaksud di sini, ada yang menyebut buta mata bagi si pelaku itu sendiri, ada yang mengatakan buta pada mata anaknya kelak. Ada pula yang menjelaskan bahwa buta yang dimaksud di hadits tersebut adalah buta mata hatinya.

Ibnu Hibban dan imam-imam yang lain menganggap bahwa kualitas hadis tersebut adalah dhaif. Bahkan Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini ke dalam kitabnya Al-Maudlu‘at yang berarti hadits ini adalah hadits maudlu‘. Begitu pula Ibnu Adiy, hadits yang sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul Qatthan tersebut merupakan hadis munkar.

Ibnus Shalah mempunyai pandangan berbeda dengan ulama di atas. Ia menjelaskan bahwa hadits ini mempunyai level derajat hasan. Yang berarti bisa dipakai untuk tendensi.

Perlu diketahui, polemik perbedaan pendapat dalam memandang hadits di atas hanya berhenti pada masalah menyebabkan kebutaan atau tidaknya. Sedangkan masalah kemakruhan melihat vagina bagi suami tetap makruh jika tidak ada hajat (kebutuhan). Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 10 September 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa
_____
Editor: Kholaf Al Muntadar