Kaper (Kafir) dan Porkelap Versi Madura

 
Kaper (Kafir) dan Porkelap Versi Madura

Oleh Busri Toha

LADUNI.id - Heboh soal kafir setelah BM munas - Konbes NU adalah tidak memanggil kafir terhadap non muslim di Indonesia. Namun, tidak heboh saat orang dungu dipanggil bodoh. 

Belajar menimbang rasa, andaikan orang jelek sesuai dengan fakta, dipanggil jelek. Mungkinkah dia akan marah atau paling tidak tersinggung? 

Namun demikian, ketika berkaca kepada tradisi warga Madura, yang dikenal dengan sangat agamis dan bahkan disebut serambi Madinah, mendengar keputusan BM - Munas NU yang tidak memanggil Kafir kepada non muslim adalah hal biasa. Kalimat Kapir, Kaper atau Kafir merupakan hal lumrah dan tidak terlalu menjadi persoalan. 

Hal itu karena memang tradisi menghormati kepada orang lain di Madura adalah hal utama. Bagi warga Madura, siapapun orangnya, apapun agamanya, jika memiliki akhlak dan tetap menghargai orang Madura, maka tetap harus dihormati dan tidak akan diolok-olok dengan sebutan menghina kepada orang lain tersebut. 

Mayoritas orang Madura, kalimat Kaper atau Kafir adalah untuk memperkuat keyakinan. Atau untuk meyakinkan orang lain yang sedang diajak bicara. Misalnya, ada ikatan janji untuk datang ke rumah anda, maka dengan cepat orang Madura langsung berjanji dengan sumpah untuk datang. "Kaper, saya bakal datang," "Porkelap saya bakal hadir", "Haram bakal saya marah,"

Dengan demikian, sumpah orang Madura bukan dengan kalimat Billahi, Taullahi dan wawwallahi. Bukan pula, kalimat Kaper atau Kafir untuk memperolok orang lain yang bukan Muslim. 

Non Muslim bagi orang Madura, manusia adalah ciptaan Allah yang harus dihormati dan saling mengasihi. Persoalan keyakinan berbeda bukan kapasitas kita untuk memperoloknya. Memanggil "kafir" untuk memperolok non muslim karena berbeda keyakinan, hingga membuat manusia lain tersinggung, tentu bukan karakter orang Madura. 

Begitulah kira-kira guyonan serius orang Madura. Lebih serius lagi, penting diketahui bahwa Bahtsul Masâ’il di lingkungan NU, terlebih jika isunya penting, selalu melibatkan perdebatan panas, sampai-sampai pimpinan PBNU turun gelanggang. Hasil BM NU adalah hasil kajian mendalam para kiai dengan merujuk kepada berbagai macam kitab klasik.

Orang-orang NU biasanya tahu bahwa Produk-produk penting tidak gampang diputuskan. Namun, menjadi heran ketika orang NU sendiri, yang mulai gemar menilai NU dengan kacamata non-NU. Bahkan ikut menghujat produk Munas/Konbes NU 2019 terkait isu tersebut.

Berdasarkan literatur klasik dari kitab yang ditulis oleh Syeikh YUSUF AL-QARDHAWI, Khitabuna Al-Islamy Fi Ashri Al-Aulamah, sebagamana diposting oleh Ibu Nyai Aini Aryani (Istri Kyai Ahmad Sarwat), disebutkan bahwa Hendaknya tidak memanggil orang-orang yang berbeda keyakinan dengan sebutan 'Kafir atau Kuffar', walaupun kita memang meyakini kekufurannya secara aqidah. Apalagi jika mereka adalah Ahli Kitab (Nashrani dan Yahudi).

Alasannya, Pertama, Kata 'Kafir' punya banyak makna, salah satunya bermakna 'orang yang berbeda keyakinan dengan kita'. Termasuk didalamnya, orang-orang yang sama sekali tidak mau mengimani apa-apa yang tidak tertangkap dengan panca indera.

Kedua, sesungguhnya al-Quran mengajarkan pada kita agar tidak memanggil manusia -walaupun ia memang kafir- dengan panggilan 'Kafir'.

Maka, Allah memilih untuk memanggil orang-orang yang tidak beriman pada-Nya dengan kalimat: "Wahai Manusia", "Wahai Bani Adam", dan "Wahai Ahli Kitab".

Dan tidaklah dalam Al-Quran Allah memanggil mereka dengan panggilan "Wahai orang-orang Kafir", kecuali dalam 2 ayat saja, yakni dalam surat At-Tahrim ayat 7 dan dalam Surat Al-Kafirun ayat 1.

Adapun yang melatarbelakangi panggilan Allah dengan panggilan 'Kafir' dalam surat ini adalah karena Allah menegur kaum musyrikin penyembah berhala yang menawarkan pada Nabi Muhammad SAW agar beliau SAW menyembah tuhan-tuhan mereka selama satu tahun, lalu kemudian mereka (musyrikin) menyembah Tuhannya Nabi SAW selama satu tahun juga.

Maka, surat al-Kafirun ini menjadi perintah dari Allah langsung untuk menolak tegas tawaran keji mereka. Allah memilih kata-kata dan susunan kalimat dalam surat al-Kafirun yang sangat keras dan sarkastis untuk menolak tawaran mereka yang terlalu keji itu.

Namun, di akhir ayat-Nya pun Allah tetap berbelas kasih pada mereka dengan kalimat penutup yang berbunyi "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku".

Akhirnya, hormatilah orang lain tanpa memandang keyakinan orang lain. Hargailah manusia lain karena sama-sama ciptaan Allah SWT. Bukankah kita dicipta oleh Tuhan yang satu? Wallahu A'lam. (*).