Kisah tentang Dahsyatnya Niat

 
Kisah tentang Dahsyatnya Niat
Sumber Gambar: Unsplash.com, Ilustrasi: laduni.ID

LADUNI.ID, Jakarta - Secara bahasa, orang Arab menggunakan kata-kata niat dalam arti ‘sengaja’. Terkadang niat juga digunakan dalam pengertian sesuatu yang dimaksudkan atau disengajakan. Sedangkan secara istilah, tidak terdapat definisi khusus untuk niat. Maka dari itu, barangsiapa yang menetapkan suatu definisi khusus yang berbeda dengan makna niat secara bahasa, maka sebenarnya hal tersebut tidak memiliki alasan kuat yang bisa dipertanggungjawabkan.

Karena itu banyak ulama yang memberikan makna niat secara bahasa, semisal Imam Nawawi, ia mengatakan niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu dan bertekad bulat untuk mengerjakannya.

Pendapat lain mengatakan “Niat adalah maksud yang terdapat dalam hati seseorang untuk melakukan sesuatu yang ingin dilakukan.

Al-Khathabi mengatakan, “Niat adalah bermaksud untuk mengerjakan sesuatu dengan hati dan menjatuhkan pilihan untuk melakukan hal tersebut. Namun ada juga yang berpendapat bahwa niat adalah tekad bulat hati.” Dr. Umar al-Asyqar mengatakan, “Mendefinisikan dengan niat dan maksud yang tekad bulat adalah pendapat yang kuat. Definisi tersebut mengacu kepada makna kata niat dalam bahasa Arab.”

Ada juga ulama yang mendefinisikan niat dengan ikhlas. Hal ini bisa diterima karena terkadang makna niat adalah bermaksud untuk melakukan suatu ibadah, dan terkadang pula maknanya adalah ikhlas dalam menjalankan suatu ibadah.

Niat nampak sebagai perkara yang kecil, tetapi tidak didalam Islam. Niat memiliki posisi yang penting, apalagi berupa niat yang baik. Bahkan sebelum perbuatan baik dilakukan, niat baik sudah terlebih dahulu dicatat oleh malaikat.

Allah SWT berfirman didalam al-Qur’an:

بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah: 112)

Dalam tafsir diatas, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatihul Ghaib, menjelaskan keutamaan niat secara mengutip hadits Nabi dan sebuah kisah Israiliyyat sebagai berikut:

الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى: فِي فَضْلِ النِّيَّةِ
قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: «إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ» ،
وَقَالَ: «إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَعْمَالِكُمْ وَإِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَنِيَّاتِكُمْ»
وَفِي الْإِسْرَائِيلِيَّاتِ أَنَّ رَجُلًا مَرَّ بِكُثْبَانٍ مِنْ رَمْلٍ فِي مَجَاعَةٍ فَقَالَ فِي نَفْسِهِ: لَوْ كَانَ هَذَا الرَّمْلُ طَعَامًا لَقَسَمْتُهُ بَيْنَ النَّاسِ فَأَوْحَى اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَبِيِّهِمْ قُلْ لَهُ: إِنَّ اللَّهَ قَبِلَ صَدَقَتَكَ وَشَكَرَ حُسْنَ نِيَّتِكَ وَأَعْطَاكَ ثَوَابَ مَا لَوْ كَانَ طَعَامًا فَتَصَدَّقْتَ بِهِ.

“Masalah pertama, tentang keutamaan niat.
Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya apa apapun bergantung dengan niatnya”. Beliau Saw. juga bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, tidak pula kepada amal-amal kalian, namun Allah hanya memandang hati kalian dan niat tulus kalian”. 

Didalam kisah Israiliyyat terdapat seseorang melewati bukit pasir, lalu berkata dalam hatinya: “Andaikan sebukit pasir ini adalah makanan, maka akan Aku bagikan kepada masyarakat (yang tengah dilanda kelaparan).” Maka kemudian Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya: “Katakanlah kepada orang itu: ‘Sungguh Allah telah menerima sedekahnya, menerima niat baiknya, dan menganugerahkan pahala kepadamu laksana sebukit pasir itu adalah makanan, lalu engkau bersedekah dengannya’.”

Kisah diatas mengajarkan kepada kita agar senantiasa berniat baik didalam segala perbuatan kita, berupaya untuk mengharapkan kebaikan didalam hati kita untuk orang lain, sebab apapun niat baik yang terbesit didalam hati kita, ada nilanya disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 25 Agustus 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Athallah