Niat dan Ikhlas dalam Beribadah dan Beramal

 
Niat dan Ikhlas dalam Beribadah dan Beramal

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

(مُتَّفَق عَلَيْه)

Artinya: Dari Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab r.a. berkata: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niat, bagi setiap orang tergantung kepada apa yang ia niatkan. Karena itu, barangsiapa yang berhijrah (dengan niat) menuju keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah (dengan niat) memperoleh kemewahan duniawi, maka ia akan mendapatkannya, atau yang berhijrah (dengan niat) memperoleh wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu menuju kepada apa yang ia hijrahi.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 6195, Muslim: 3530. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)

Amal Perbuatan
Kata “a’mâl” yang merupakan jamak dari kata “amal” yang disebutkan dalam hadis di atas terjemahannya dalam bahasa Indonesia lebih tepat dengan istilah perbuatan, baik perbuatan itu yang bersifat lahiriah ataupun batiniah. Perbuatan lahiriah misalnya mengerjakan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji, memberikan pertolongan kepada sesama, dan perbuatan atau amal lain yang serupa dengan itu. Amal atau perbuatan yang bersifat batiniah dapat dikemukakan contoh seperti beriman kepada Allah, bersikap sabar dalam segala macam penderitaan, berani dalam menegakkan kebenaran, dan perbuatan-perbuatan batiniah lainnya yang serupa dengan itu. 

Amal perbuatan yang disyariatkan harus disertai dengan niat, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, adalah amal perbuatan yang dikerjakan oleh anggota jasmaniah, atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Sedangkan amal perbuatan yang tergolong batiniah tidak memerlukan niat. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin timbul dua proses kejiwaan dalam satu perbuatan yang sama, misalnya niat dan iman, yang berasal dari sumber yang sama yaitu hati, dan dalam waktu yang bersamaan pula.

Amal yang Disyariatkan dengan Niat
Amal perbuatan lahiriah tidak semuanya harus disertai dengan niat, yang disertai dengan niat adalah amal perbuatan yang berdimensi ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu amal perbuatan lahiriah yang mubah, makruh, dan haram, tidak memerlukan adanya niat yang ditetapkan dalam hati. Membangun kantor misalnya yang tujuannya untuk dijadikan tempat bekerja tidak harus dilakukan dengan niat, termasuk membangun toko, rumah, dan lain sebagainya. Namun demikian, apabila pendirian bangunan itu terinspirasi oleh satu tujuan yang suci, seperti tempat ibadah, madrasah, tempat-tempat kajian agama, tempat penampungan anak yatim, dan untuk tujuan suci lainnya, hendaknya disertai dengan niat.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa segala amal perbuatan yang kita lakukan, hasilnya sesuai dengan niatnya. Seorang yang mengikuti hijrah bersama Nabi dengan tujuan memperoleh keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka ia memperoleh keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, apabila ia berhijrah bersama Nabi dengan tujuan ingin memperoleh kemewahan duniawi atau ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya itu memperoleh seperti apa yang ia niatkan, yaitu kemewahan duniawi atau menikahi wanita.

Demikian pula dalam aktivitas harian kita, akan senantiasa bergantung kepada niatnya. Orang bisa bersama-sama pergi ke masjid untuk melaksanakan ibadah dengan shalat berjamaah, aktivitasnya sama tetapi hasilnya tergantung kepada niatnya masing-masing. Mereka yang melaksanakan shalat di masjid dengan niat untuk memperoleh ridha Allah, maka mereka akan memperoleh apa yang mereka niatkan. Sebaliknya mereka yang melaksanakan shalat berjamaah di masjid dengan niat untuk memperoleh pujian orang lain atau karena ingin memperoleh kedudukan, maka mereka hanya memperoleh pujian orang lain dan mungkin memperoleh kedudukan yang ia niatkan.

Proses Terjadinya Niat     
Niat yang dicetuskan dalam hati seorang manusia, terjadi melalui proses yang panjang, diawali dengan fase (1) al-Qashd, yaitu suatu tujuan untuk merealisasi suatu perbuatan. Al-Qashd dalam fase ini adalah merupakan awal mula munculnya suatu kehendak pada hati sanubari seseorang, tingkatan ini disebut al-Hâjis (dalam goresan hati). Al-Hâjis itu kemudian bergetar untuk merangsang hati sehingga menimbulkan al-Qashd dalam fase (2) yang dinamai al-Khathîr (rangsangan hati). Al-Khatîr ini kemudian bergetar untuk memantulkan dan membisikkan suara hati menuju jiwa untuk melaksanakan atau meninggalkan suatu perbuatan, posisi dari keduanya dalam keadaan seimbang. Al-Qashd dalam fase ini (3) disebut dengan istilah Hadîts al-Nafs atau bisikan jiwa. (Fathurrahman, 1966: 3)

Apabila keseimbangan antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan kemudian meningkat untuk lebih condong pada melakukan atau lebih condong pada meninggalkannya, maka sampailah pada fase yang ke (4) dan Hadîts al-Nafs itu naik kepada yang lebih tinggi disebut al-Hammu, himmah atau cita-cita. Himmah atau cita-cita hati itu kemudian dimantapkan hingga menimbulkan hasrat yang kuat untuk mewujudkan suatu tindakan atau meninggalkannya, maka al-Qashd dalam fase ini (5) disebut al-‘Azmu (hasrat yang kuat). Selanjutnya apabila al-azmu ini diwujudkan dalam suatu tindakan yang permulaan dari suatu amal, maka sampailah pada fase yang paling tinggi yaitu fase (6) yang oleh syariat disebut dengan niat.

Selanjutnya dalam kajian psikologi Islam dan syariatnya dinyatakan bahwa fase (1) yang disebut hâjis sampai fase (3) yang disebut hâdits al-nafs belum dikenai sanksi apa-apa, baik kecendrungan pada sesuatu yang terpuji atau kecendrungan pada sesuatu yang tercela. Setelah memasuki fase (4) yaitu al-hammu disitulah baru mulai ada bintik-bintik pahala atau dosa, tergantung pada al-qashd yang ditetapkannya. Pernyataan ini disimpulkan dari beberapa hadis Nabi, antara lain:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ (مُتَّفَقٌ عَلَيْه)

Artinya: “Sesungguhnya Allah s.w.t. telah membebaskan umatku dari bisikan jiwanya, selama belum dikerjakan atau diucapkannya.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 4864, 6171, Muslim: 181, 182. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً (متّفق عليه)

Artinya  : Dari Ibnu Abbas r.a., dari Rasulullah s.a.w., dari periwayatan Tuhannya, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menetapkan berbagai macam kebaikan dan berbagai macam keburukan, kemudian Dia menjelaskan hal itu; “Maka barangsiapa berhasrat untuk mengerjakan suatu kebajikan, kemudian ia tidak jadi mengerjakannya, maka dicatat oleh Allah s.w.t. satu kebaikan yang sempurna baginya, dan apabila ia berhasrat untuk mengerjakannya (kebaikan), lalu ia mengerjakan kebaikan itu, maka dicatat oleh Allah baginya sepuluh kali kebaikan sampai tujuh ratus kali, bahkan sampai berlipat ganda. Apabila seorang berhasrat untuk mengerjakan suatu keburukan, kemudian ia tidak jadi mengerjakannya, maka Allah mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna, dan jika ia berhasrat untuk mengerjakannya (keburukan) kemudian ia benar-benar mengerjakannya, maka Allah mencatat untuknya satu keburukan.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 6010 , Muslim: 187. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari).

Oleh: Dr. KH. Zakky Mubarak, MA