Membaca Shalawat di Antara Dua Khutbah dengan Suara Keras dan Panjang oleh Bilal

 
Membaca Shalawat di Antara Dua Khutbah dengan Suara Keras dan Panjang oleh Bilal
Sumber Gambar: Foto nutrenggalek.or.id (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Dalam pelaksanaan shalat Jum'at, yang menjadi salah satu syarat sahnya adalah adanya khutbah sebanyak dua kali yang dilaksanakan sebelum shalat. Diantara khutbah pertama dan khutbah kedua, harus dipisah dengan duduk di antara dua khutbah. Dalam pelaksanaan khutbah, terdapat orang yang menjadi pengantar khutbah atau yang dikenal sebagai Bilal yang bertugas untuk mengumandangkan adzan, iqamat, dan kalimat tarqiyyah. Sebelum Khatib naik ke atas mimbar untuk berkhutbah, Bilal akan mengumandangkan kalimat tarqiyyah yaitu sebagai seruan tanda khatib naik ke atas mimbar.

Dalam shalat Jum'at yang banyak diselenggarakan di Indonesia khususnya, ketika Khatib telah selesai menyampaikan khutbah pertama dan duduk di anatara dua khutbah, Bilal akan membaca shalawat. Yang menjadi pertanyaan bagi sebagian kaum muslimin adalah bagaimana jika bacaan shalawat yang dibaca oleh Bilal tersebut dibaca dengan nada yang keras dan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Apakah akan mempengaruhi atau memutus Muwalat (kesinambungan) khutbah?

Mengumandangaan bacaan shalawat di antara dua khutbah dengan suara keras hukumnya adalah bid'ah hasanah (bid'ah yang baik). Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Al-Hawasy Al-Madaniyah:

فَعُلِمَ أَنَّ هَذَا أَيْ قِرَأَةَ الْمُرَقِّي بَيْنَ يَدَيِّ الْخَطِيْبِ إلخ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ

"Maka diketahui bahwa bacaan Bilal (pemandu khutbah) antara dua khotbah... adalah termasuk bid’ah hasanah"

Baca Juga: Hukum Mendirikan Shalat Jum’at Kurang dari 40 Orang

Kemudian terkait bacaan shalawat yang dibacakan oleh Bilal dengan jangka yang cukup panjang hukumnya dikembalikan kepada 'urf . Apabila bacaan shalawat itu dianggap terlalu panjang menurut 'urf maka dapat memutuskan muwalat khutbah, namun jika menurut 'urf dianggap tidak terlalu panjang, maka tidak disebut memutus muwalat.

Adapun jangka waktu dianggap panjang ketika lama bacaan shalawat tersebut diperkirakan cukup untuk dua rakaat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu'in sebagai berikut:

وَوَلاَءٌ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ أَرْكَانِهِمَا وَبَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الصَّلاَةِ بِأَنْ لاَ يُفْصَلَ طَوِيْلاً عُرْفًا. وَسَيَأْتِى أَنَّ اخْتِلاَلَ الْمُوَالاَةِ بِفِعْلِ رَكْعَتَيْنِ بَلْ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ فَلاَ يَبْعُدُ الضَّبْطُ بِهَذَا هُنَا وَيَكُوْنُ بَيَانًا لِلْعُرْفِ

"Dan (harus) ada kesinambungan antara kedua khotbah Jum’at dan antara rukun-rukunnya serta antara kedua khutbah tersebut dengan shalatnya, dengan tidak dipisah dalam waktu yang menurut  ‘urf (kebiasaan) sudah dianggap lama. Selanjutnya, yang merusak kesinambungan (Al-Muwalah) di antara dua perbuatan diperkirakan selama mengerjakan shalat dua rakaat, bahkan dengan melakukan rukun-rukunnya saja. Karena itu, maka dalam hal ini tidak salah bila dibatasi demikian. Dan pembatasan tersebut merupakan penjelasan tentang maksud ‘urf tadi"

Baca Juga: Hukum Menyelenggarakan Shalat Jum’at Di Kantor

Syekh Muhammad Sulaiman Al-Kurdi menjelaskan hal yang sama tentang perkara 'urf tersebut dalam kitab Al-Hawasy Al-Madaniyah

الَّذِيْ يُخِلُّ بِهِ هُنَا مِقْدَارُ رَكْعَتَيْنِ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ وَمَا دُوْنَهُ لاَ يُخِلُّ بِالْوَلاَءِ (حاشية الكردي)

"Adapun yang dapat merusak (kesinambungan dua khutbah) di sini adalah perbuatan yang dilakukan antara dua khutbah melebihi masa waktu melaksanakan shalat dua rakaat dengan melakukan rukun-rukunnya saja dan sebawahnya maka dapat merusak kesinambungan. Jika kurang dari itu, tidak merusak kesinambungan khutbah"

Wallahu A'lam


ReferensiKitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 09