Rujukan Penetapan Puasa Sunnah Hari Arafah bagi Kaum Muslimin

 
Rujukan Penetapan Puasa Sunnah Hari Arafah bagi Kaum Muslimin
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu amal sholeh yang dianjurkan untuk dilaksankan pada tanggal 9 Dzulhijjah adalah puasa Arafah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang tidak sedang dalam menjalankan wukuf di Arafah. Jika dalam keadaan wukuf di Arafah, maka sebaiknya tidak berpuasa sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ

"Dari Ummul Fadhl binti Al-Haris, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi SAW. Sebagian mereka mengatakan, 'Beliau berpuasa.' Sebagian lainnya mengatakan, 'Beliau tidak berpuasa.' Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas untanya, lalu beliau meminumnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Di sisi lain Rasulullah SAW, pernah bersabda terkait dengan keutamaan puasa Hari Arafah. Beliau bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَه

"... puasa Hari Arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini sebagai 'kaffarah' satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya." (HR. Ahmad & Muslim)

يَوْمُ عَرَفَةَ، وَيَوْمُ النَّحْرِ، وَأَيَّامُ التَّشْرِيْقِ ، عِيْدُنَا أَهْلِ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

"Hari Arafah, hari berqurban, dan hari tasyriq adalah hari raya kita, wahai kaum muslimin. Itu adalah hari makan dan minum." (HR. Ahmad)

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

"Tidak ada satu hari di mana Allah paling banyak membebaskan seseorang dari neraka melebihi Hari Arafah. Sesungguhnya Dia mendekat, kemudian Dia membangga-banggakan mereka (manusia) di hadapan malaikat. Dia berfirman: Apa yang mereka inginkan?" (HR. Muslim)

Jadi dari sini kita tahu bahsa puasa Arafah ini sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang tidak sedang dalam keadaan wukuf di Arafah. Artinya puasa ini dianjurkan bagi orang yang sedang tidak berhaji.

Sebagaimana dijelaskan di dalam Kitab Fathul Mu’in oleh Syaikh Zainuddin Al-Malibari. Beliau menyatakan:

(وَيُسَنُّ) مُتَأَكِّدًا (صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ) لِغَيْرِ حَاجٍّ لِأَنَّهُ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الَّتِيْ هُوَ فِيْهَا وَالَّتِيْ بَعْدَهَا كَمَا فِيْ خَبَرِ مُسْلِمٍ وَهُوَ تَاسِعُ ذِيْ الْحِجَّةِ

"Disunahkan dengan sunnah muakkad berpuasa hari Arafah bagi selain orang yang haji, karena puasa tersebut dapat menghapus dosa setahun yang sedang dijalaninya dan setahun sesudahnya. Seperti dalam Hadis riwayat Muslim. Dan Hari Arafah adalah tanggal sembilan Dzulhijjah."

Puasa sunnah Hari Arafah sangatlah besar keutamaannya. Sebagaimana Hadis Nabi yang telah disebutkan. Dosa selama setahun yang telah berlalu akan dihapus dan akan diampuni pula dosa selama setahun yang akan datang.

Lalu rujukan puasa sunnah Hari Arafah yang dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah ini apakah karena peristiwa wukuf ataukah karena kalender Hari Arafah yang tentunya terkadang berdasarkan ilmu hisab dan rukyah penentuannya berbeda.

Dalam hal ini, yang menjadi rujukan dalam berpuasa di Hari Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender. Jadi jika terjadi perbedaan tempat, yang mana meski pada saat yang sama orang-orang yang sedang haji sedang wukuf di Arafah, sementara di kalender tersebut masih belum Hari Arafah, maka puasa yang dianjurkan tetap harus mengikuti kalender sebagaimana hasil penentuan dengan metode hisab maupun rukyah di suatu negara tertentu.

Keterangan ini diuraikan dari penjelasan yang ada di dalam Kitab Fathul Wahhab. Berikut teks redaksinya:

يُسَنُّ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَهُوَ تَاسِعُ ذِيْ الْحِجَّةِ لِغَيْرِ الْحَاجِّ لِخَبَرِ مُسْلِمٍ صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الَّذِيْ قَبْلَهُ وَالَّتِيْ بَعْدَهُ

Pada Hari Arafah disunnahkan berpuasa, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah bagi selain orang yang sedang melaksanakan haji. Karena Hadis riwayat Muslim: "Puasa pada hari Arafah bisa menghapus (dosa) setahun yaitu tahun yang sebelum dan sesudahnya." (Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahhab, juz I, hlm. 145)

Selain dalam kitab tersebut, dijelaskan pula di dalam Kitab Futuhatul Wahhab bi Taudhih Fathil Wahhab, oleh Syaikh Sulaiman bin Manshur Al-Jamal. Berikut redaksinya:

وَقَدْ قَالُوا لَيْسَ يَوْمُ الْفِطْرِ أَوَّلَ شَوَّالٍ مُطْلَقًا بَلْ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَكَذَا يَوْمُ النَّحْرِ يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ وَيَوْمُ عَرَفَةَ الَّذِي يَظْهَرُ لَهُمْ أَنَّهُ يَوْمُ عَرَفَةَ سَوَاءٌ التَّاسِعُ وَالْعَاشِرُ لِخَبَرِ الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ وَفِي رِوَايَةٍ لِلشَّافِعِيِّ وَعَرَفَةُ يَوْمَ يَعْرِفُ النَّاسُ وَمَنْ رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ غَيْرِهِ وَشَهِدَ بِهِ فَرُدَّتْ شَهَادَتُهُ يَقِفُ قَبْلَهُمْ لَا مَعَهُمْ وَيُجْزِيهِ إذْ الْعِبْرَةُ فِي دُخُولِ وَقْتِ عَرَفَةَ وَخُرُوجِهِ بِاعْتِقَادِهِ

Para ulama sungguh telah berkata: "Hari Raya Idul Fitri itu bukan berarti awal Syawwal secara mutlak, (namun) adalah hari di mana orang-orang sudah tidak berpuasa lagi, demikian halnya Hari Nahr adalah hari orang-orang menyembelih qurban, dan begitu pula hari Arafah adalah hari yang menurut orang-orang tampak sebagai hari Arafah, meski tangal 9 dan 10 Dzul Hijjah, mengingat Hadis: 'Berbuka (tidak puasa lagi) yaitu hari orang-orang tidak berpuasa dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih qurban.' HR. Tirmidzi, dan ini dishohihkan. Dalam riwayat Imam Syafi’i ada Hadis: "Hari Arafah adalah hari yang telah dimaklumi oleh orang-orang." Barang siapa melihat hilal sendirian atau bersama orang lain dan ia bersaksi dengannya, lalu kesaksiannya itu ditolak, maka ia harus wukuf sebelum orang-orang, tidak  boleh wukuf bersama mereka, dan wukufnya mencukupi (sebagai rukun haji). Sebab yang menjadi pedoman perihal waktu masuk dan keluarnya hari Arafah adalah keyakinannya sendiri.  (Futuhat al-Wahhab bi Taudhih Fath al-Wahhab, jilid II, hlm. 460)

Jadi meskipun misalnya pada hari Selasa orang-orang haji sedang dalam keadaan wukuf di Arafah, akan tetapi dalam satu daerah atau negara ternyata kalender Hijriyah yang dihitung dengan metode rukyatul hilal berbeda dengan metode hisab, dan disepakati oleh Hakim untuk ditetapkannya hasil rukyah sebagai rujukan, maka yang dibenarkan adalah harus mengikuti kalender, yakni masih belum Hari Arafah di satu daerah atau negera tertentu tersebut.

Misalkan di Indonesia, katakan Hari Arafah yang mana orang-orang haji sedang wukuf di bukit Arafah adalah Hari Selasa, tetapi di Indonesia berdasarkan kalender Hijriyah yang telah ditentukan dengan penetapan metode rukyah, Hari Arafah jatuh pada Hari Rabu, maka kita harus berkeyakinan dan mengikuti ketetapan tersebut. Sehingga pada Hari Rabu kita baru berpuasa sunnah Hari Arafah. Dan inilah pendapat yang dibenarkan. Sebagaimana rujukan Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Tidak bisa orang yang menetap dan tinggal di suatu daerah atau negara mengikuti rujukan negara Saudi Arabia dalam menentukan Hari Raya tersebut. Yang dibenarkan adalah mengikuti hasil ketetapan satu daerah atau negara tersebut yang telah diuji oleh Hakim yang terpercaya. Dengan kata lain terdapat satu kaidah di dalam Islam bahwa ketetapan pemerintah itu meniadakan perdebatan perbedaan, hukmul hakim yarfa'ul khilaf.

Karena itu, maka patut kiranya tidak mempermasalahkan hal ini lagi kalau sudah memahami ketentuan penetapan Hari Arafah ini. Wallahu 'Alam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 11 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim