Cerita Gus Yusuf tentang Santri yang Sering Keluar Pondok

 
Cerita Gus Yusuf tentang Santri yang Sering Keluar Pondok

Dalam sebuah kesempatannya, KH Yusuf Chudlori menjelaskan, ciri khas pendidikan yang ada di pondok pesantren adalah mengedepankan keteladanan dan cinta kasih. Pengasuh Pondok Pesantren Tegal Rejo, Magelang itu memberikan contoh, misalnya ada seorang guru yang jengkel kepada murid atau santrinya, maka guru itu mendoakan dan ngirim fatihah kepada santrinya, bukan memarahi atau memukulnya.

Menurut Gus Yusuf – sapaan akrab KH Yusuf Chudlori, pendidikan seperti itu akan menimbulkan ikatan batin dan rasa cinta kasih kepada mereka. “Itulah ciri khas pendidikan pesantren. Ciri khas pendidikan pesantren itu didasari dengan cinta kasih,” kata Gus Yusuf dalam sebuah video di Gus Yusuf Channel, yang diunggah pada Rabu (18/7) kemarin.

Dalam sebuah cerita yang ada dalam buku berjudul “Petuah Bijak dan Kisah Inspiratif Ulama Salaf Nusantara”, Gus Yusuf mengisahkan bagaimana kiai memberikan peringatan kepada santrinya supaya tidak melakukan pelanggaran dan menjadi pribadi yang baik.

Ini merupakan kisah nyata yang terjadi di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Waktu itu, ada seorang santri yang suka keluar malam. Santri itu selalu saja lolos dari pengawalan pengurus pondok. Namun, KH Abdul Karim justeru mengetahuinya.

“Lantas beliau menulis pada secarik kertas dengan tangannya sendiri, Kula mboten remen santri ingkang remen miyos (Saya tidak suka santri yang suka keluar). Tulisan tersebut kemudian beliau tempelkan di bawah bedug,” lanjutnya.

Kebetulan, santri yang biasa keluar pondok tanpa izin itu ternyata pada malam harinya memilih tidur di bawah bedug. Betapa kagetnya santri itu, ketika membaca sebuah tulisan persis di depan matanya. Dia sangat mengenali tulisan itu, yang menulisnya adalah Mbah Kiai Abdul Karim. Yang selama ini dianggapnya tidak mengetahui kelakuannya selama ini.

“Setelah peristiwa menakjubkan pada malam itu, santri itu insaf. Dia tidak lagi keluar pondok pada malam hari. Kita mungkin tidak sanggup meniru persis cara Mbah Abdul Karim. Tetapi kita bisa meneladani kebijaksanaan dan kearifan beliau. Murid atau anak yang nakal, mendidiknya tidak dilakukan dengan kekerasan dan pemaksaan. Melainkan dengan kasih sayang dan do’a,” terangnya.

Usai menceritakan kisah ini, Gus Yusuf mengingatkan bahwa pemaksaan dalam kadar tertentu memang akan menghasilkan tindakan seperti yang diinginkan si pemaksa. Tetapi pada saat yang bersamaan ia memantik bara api yang akan menjadi sumber bencana di waktu yang akan datang.

“Orang-orang yang terpaksa mengikuti dan melayani paksaan akan kehilangan rasa hormat kepada pemaksa. Seorang guru akan kehilangan kehormatan dari muridnya. Seorang bapak akan kehilangan bakti anaknya. Seorang suami akan kehilangan cinta istrinya,” pungkasnya.