Arya Wiraraja: Adipati Pertama Kerajaan Sumenep

 
Arya Wiraraja: Adipati Pertama Kerajaan Sumenep
Sumber Gambar: Ihram, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Berita tertua yang menyebutkan adanya seorang penguasa di Sumenep adalah Pararaton, seperti diuraikan sebagai berikut:

“... Adalah seorang pengawainya, tempat berlindung buyut di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi gelar Arya Wiraraja. Sri Kertanegara tidak percaya kepadanya, (karenanya) ia diturunkan dari kedudukannya sebagai Demung, dijadikan Adipati di Sumenep.” (Mulyana, 1983).

Dari berita Pararaton di atas, kita ketahui bahwa Arya Wiraraja adalah seorang Adipati di Sumenep, yang sebelumnya sebagai Demung (Rakryan Demung). Hal ini disebabkan oleh ketidak-percayaan Kertanegara kepadanya. Bila kita dasarkan pada sumber sejarah yang ada, maka nampaknya pemecatan Arya Wiraraja itu erat kaitannya dengan pelaksanaan politik nusantara dari Kertanegara, yang bersifat ekspansionis. Suatu politik pembaharuan yang berusaha meninggalkan paham polilik tradisional yang telah dianut semenjak raja Airlangga, yang hanya berkisar pada Janggala-Panjalu (Casparis, 1970).

Sebagai paham baru tentunya akan mendapat tantangan dari para penganut paham lama. Untuk realisasi politiknya tentunya wajar bila Kertanegara tidak segan-segan menyingkirkan para pembesar yang merintanginya dan menggantikannya dengan tokoh-tokoh yang mendukung paham politiknya. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemecatan Mpu Raganatha sebagai Amangkubumi, pemecatan Tumenggung Wirakerti sebagai Tumenggung. Dan terjadinya pemberontakan Kelana Bhayangkara (Cayaraja), seperti dilaporkan Kidung Panji Wijayakrama (pupuh I), Kidung Harsawijaya dan Nagarakartagama pupuh XLI/4 (Mulyana: 1979, 103-104). Dalam kerangka berpikir demikian, dapatlah kiranya dimengerti alasan pemecatan Arya Wiraraja.

Sebagai Adipati di Sumenep, tidak banyak berita yang kita ketahui, kecuali hubungannya dengan Jayakatwang, raja Gelang-Gelang dalam pemberontakannya terhadap Kertanegara, dan hubungan dengan R. Wijaya, dalam hal pendirian Kerajaan Majapahit. Tetapi mungkin dapat dipastikan bahwa Arya Wiraraja adalah seorang negarawan yang ulung, strategi politik yang lihai, dan seorang yang ambisius. Sehingga dapat dikatakan, Sumenep pada masa pemerintahannya mengalami kemajuan yang pesat dan memilikj pengaruh yang besar terhadap rakyat. Hal ini terbukti dari kemampuannya mengerahkan laskar Madura di dalam membantu R. Wijaya membuka hutan Tarik yang merupakan cikal-bakal Kerajaan Majapahit, dan di dalam membantu R. Wijaya mengusir tentara Tartar Cina pada tanggal 31 Mei 1293 M (Kodya Tk. Surabaya, 1975).

Dapat diperkirakan pada masa pemerintahan Adipati Arya Wiraraja di Sumenep yang berlangsung antara tahun 1270 - 1275 M (saat Kertanegara diangkat sebagai Raja Singasari dan sebelum ekspedisi Pamalayu) sampai tahun 1294 M (diangkatnya Arya Wiraraja sebagai Rakryan Mentri Mahapramukha, seperti disebutkan dalam P. Kudadu), jadi sekitar 25-30 tahun, pusat pemerintahannya berada di Batu putih.

Setelah Arya Wiraraja berada di Majapahit (sampai tahun 1295 M), pemerintah di Sumenep diserahkan kepada saudara Arya Wiraraja, Arya Bangah. Pusat pemerintahannya dipindah ke Benasareh. Setelah ilu Arya Bangah diganti lagi oleh putranya Arya Danurwenda, yang bergelar Lembu Suranggono, dan keratonnya dipindah ke Tanjung. Setelah wafat kekuasaannya diserahkan kepada putranya yang bernama Panembahan Joharsari. Selanjutnya kepada putranya Panambahan Mandaraka kadipatennya dipindahkan lagi ke Keles.

Sepeninggal Panambahan Mandaraka ini, kerajaan Sumenep dibagi menjadi dua kepemimpinan. Pertama dipimpin oleh Pangeran Bukabu (Notoprodjo), dan kedua oleh Pangeran Baragung (Sumber Agung). Apa yang menyebabkan pembagian kerajaan tersebut, disebutkan oleh Babad agar tidak terjadi perebutan kekuasaan yang dapat menimbulkan perpecahan di dalam keluarga kerajaan tersebut. Alasan ini tidak dapat dibandingkan dengan pembagian kerajaan yang dilakukan Raja Airlangga. Dengan pembahasan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa Pemerintahan Sumenep dimulai oleh pemerintahan Arya Wraraja (Abdurachman, 1971, 5-7). Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 4 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar