Bagaimana Memilih Pemimpin Menurut Kriteria Kaum Nahdliyin? Ini Jawaban KH Masykuri Abdillah

 
Bagaimana Memilih Pemimpin Menurut Kriteria Kaum Nahdliyin? Ini Jawaban KH Masykuri Abdillah

Bulan Maret 2019 mendatang, seluruh warga Negara Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden, serta legislatif. Begitu pula dengan warga NU atau Nahdliyin juga memiliki kewajiban dalam memilih dan menentukan pemimpin mereka melalui Pilpres 2019 mendatang. Akan tetapi, bagaimanakah kriteria-kriteria pemimpin yang cocok bagi warga NU?

Menurut Abdullah Alawi, pakar politik Islam sekaligsu Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta KH Masykuri Abdillah, terdapat beberapa kriteria yang penting diperhatikan dalam memilih pemimpin bagi warga Nahdliyin. Inilah hasil wawancara yang dilakukan di Gedung PBNU, Jakarta, pada Senin (6/8) kemarin.

Bagaimana kecenderungan warga NU dalam menghadapi tahun politik ini?

Ya sebenarnya warga NU bisa melihat ada 9 pedoman berpolitik bagi warga NU ya. Tetapi memang perlu saya perjelas juga di sini bahwa pertama sekali adalah warga NU harus ikut berpartisipasi di dalam politik ini. Jangan sampai menjadi golput. Bahkan ikut berpolitik ini bisa menjadi wajib kifayah, yang bisa menjadi wajib ain karena ini menentikan masa depan bangsa indonesia yang itu tidak hanya menentukan persoalan-persoalan keduniaan tapi juga persoalan-persoalan keagamaan.

Jadi, kalau warga NU itu absen, berarti tidak melaksanakan kewajiban untuk memilih calon-calon atau pemimpin-pemimpin di  masa depan, untuk lima tahun ke depan. Ini yang pertama sekali. 

Persolan pilihan, ini memang diberikan kebebasan kepada masing-masing, tetapi tentu saja, warga NU memang memilih wakil-wakil atau pemimpin yang memang bisa menyampaikan aspirasinya. Aspirasi itu ada dua bentuk. Ada aspirasi khusus, ada aspirasi umum.

Aspirasi umum itu adalah aspirasi yang mengingikan wakil yang bisa memperjuangkan kepentingan-kepentingan sebagai warga negara secara umum, misalnya masalah pendidikan, kesejahteraan, kerja, kesehatan, dan seterusnya. Itu dibutuhkan oleh semua warga negara, baik beragama Islam, Kristen, Katolik dan sebagainya.

Kedua, memilih orang-orang yang bisa menyampaikan aspirasi yang khusus. Terutama dalam hal ini bagi umat Islam. Umat yang lain juga bisa menyampaikan seperti itu. Bisa menyampaikan atau memilih wakil-wakil yang bisa menyampaikan aspirasi khusus itu agar kehidupan warga Indonesia itu bisa memperhatikan aspirasi agama. Jadi, tetap menjunjung tinggi agama, membentuk dan mengupayakan budaya yang ada di Indonesia ini budaya yang sesuai dengan agama termasuk juga berkaitan dengan persoalan akhlak juga. Bagaimana akhlak-akhlak di Indonesia itu seusai dengan ajaran agama. Itu aspirasi khusus. Untuk orang Islam mungkin ada peraturan kebijakan yang sesuai dengan agama. Ini aspirasi khusus. Jadi, itu yang perlu diperhatikan bagi umat Islam, khususnya warga NU. 

Kemudian berikutnya, memilih wakil atau calon yang mempunyai sifat yang jujur, takwa, adil. Itu sudah normatif sama ya. Ini bukan karena persoalan politik uang karena pada saat ini politik uang masih marak di Indonesia. Jadi, jangan kemudian memilih karena dapat uang, memilih seseorang yang sebenarnya tidak tepat untuk dipilih. 

Berikutnya dari segi kemampuan, kompetensi dalam mengelola negara atau kemampuan di dalam, kalau itu wakil rakyat, di dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Jadi, kompetensi di situ. Jadi, orang-orang yang tidak memiliki komptensi, jangan dipilih. Nah, ini memang, awam itu sangat sulit ya. Tetapi saya yakin, karena masyarakat Indonesia semakin tinggi pendidikannya, maka bisa membedakan mana orang yang punya kompetensi dan mana tidak. Jadi, ketika memilih itu berdasarkan hal-hal yang saya sebutkan tadi.

Dalam beberapa kasus, kenapa tidak bisa dikonversi untuk menggolkan calon?

Itu memang konsekuensi dalam negara demokratis dan konsekuensi bagi NU yang memberikan kebebasan kepada warganya. Dan memang pada saat ini tidak mudah karena masyarakat semakin cerdas, tidak langsung diarahkan begitu saja ya, kecuali 30 tahun atau 40 tahun lalu. Sekarang tidak bisa.

Oleh karena itu, NU lebih baik tidak terlibat secara langsung di dalam politik, tetapi memberikan arahan-arahan, ya bisa saja, arahan, ini calon yang sesuai dengan kriteria tadi. Yang bertakwa, adil, jujur, yang punya kompetensi. Jangan sampai memilih orang yang tidak memiliki kriteria seperti itu.

Dan memang ada persoalan lain juga, baik bagi bagi warga biasa, maupun tokoh lokal begitu ya, yang terpengaruh juga apakah oleh politik uang, itu yang jadi masalah, sehingga sebagian tokoh lokal NU bisa mengarahkan ke sana, sebagian lain ke sini sehingga tidak mungkin juga mengarahkan secara keseleuruhan.

Paling hanya bisa mengatakan, pilihlah calon anggota legsislatif atau gubernur, atau presiden, orang yang NU, orang yang dekat dengan NU, dengan harapan, kalau orang NU ya pasti bisa punya kebanggaan bisa menjadi wakil, bisa menjadi pimpinan, dan orang yang dekat dengan NU, nantinya orang itu yang akan gampang memperjuangkan aspirasi NU karena bisa saja misalnya, walaupun sesama Muslim tidak mengakomodasi NU, bisa saja. suatu daerah misalnya dipimpin oleh seorang baik itu wali kota atau gubernur yang tidak suka dengan amaliyah NU, bisa saja dia membatasi. Dan ini sudah ada di beberapa tempat itu yang tidak melarang, tapi membatasi. Tidak memberikan kesempatan kepada orang NU untuk ikut berkiprah.

Bagi warga NU yang terjun dalam politik, apa tips untuk mereka untuk menggaet konstituen?

Ya, itu tadi, kita perlu perjuangan untuk menyadarkan masyarakat betul-betul memilih bukan karena uang karena saya masih melihat juga, dan bahkan pengakuan beberapa warga yang menerima uang. Aada kalanya dia memang terikat dengan itu, ada yang tidak. Ada juga yang mengambil uang itu tapi tidak memilihnya. Itu ada. Bagi warga NU, bolehkah calon mengaku dari NU itu. Menurut saya, boleh karena itu adalah identitas. Di dalam pemilu itu diperbolehkan menyampaikan identits apa adanya, apakah di seorang Muslim, seorang Kristen. Boleh, saya orang Muslim, seorang NU, seorang Jawa, Sunda, boleh. Yang tidak diperbolehkan itu kalau sampai kepada menjelekkan yang lain, agama lain, suku lain atau kelompok lain.

Jadi, kalau saya mengatakan, "saya NU, saya akan memperjuangkan warga NU", itu diperbolehkan. Oleh karena itu, calon-calon dari NU, silakan membuka identitas itu, dan mereka biasanya juga akan melihat, terutama di daerah-daerah yang mayoritas NU karena ada di daerah-daerah yang NU-nya tidak mayoritas.

Calon itu biasanya berjanji. Bolehkan melakukan hal itu padahal belum tentu ia menepatinya?

Ini harus dibedakan antara yang legislatif dan eksekutif. Kalau legislatif itu tidak secara langsung nanti melaksanakan, tetapi memperjuangkan. Jadi memang yang disampaikan akan memeperjuangkan kepentingan-kepentingan ini, kesejehataraan, pendidikan tinggi, kesehatan gratis, dan kadang-kadang itu diucapkan beberapa orang walaupun setelah itu tidak. Misalnya sekarang itu ada yang menarik bahwa calon yang sudah menarik massa bahwa nanti orang yang sakit itu tidak hanya semata-mata gratis berobat, kami akan jemput, menyediakan ambulans. Itu saya tidak yakin sebenarnya, tetapi kadang-kadang ada yang begitu.

Nah, apa beoleh atau tidak? Secara agama, tidak boleh, kalau hanya sekadar berjanji, tapi tidak dilaksanakan. Jadi, ini harus berhati-hati juga ketika berjanji harus sesuatu yang dia akan laksanakan karena berjanji itu kan innal ‘ahda kana mas'ula kan, bahwa janji itu akan diminta pertanggungjawaban, bukan hanya di hadapan konstituen, tetapi juga di hadapan Allah.

Jadi, oleh karena itu, jangan janji. Kalau itu untuk eksekutif, apa itu gubernur, wali kota itu akan melaksanakan. Ini tentu beda bahasa yang akan dipakai, akan melaksanakan,atau mengusahakan. Kalau legislatif memperjuangkan. Jadi, saat ini tidak cukup dengan mengatakan, saya akan tetap mempertahankan NU, tidak bisa, tetapi ke pendidikan gratis, kesehatan gratis, itu bisa disampaikan, pekerjaan gampang, jalan bagus, nah itu bisa disampaikan seperti tiu. 

*) Dikutip dari hasil wawancara NU Online