Pengakuan Ekonom Penghancur #8: Melalui Wayang, Rakyat Indonesia Melek Politik Dunia

 
Pengakuan Ekonom Penghancur #8: Melalui Wayang, Rakyat Indonesia Melek Politik Dunia

“Aku akan membawamu kepada seorang dalang," Rasy berseri-seri. "Kau tahu, dalang wayang Indonesia yang terkenal." Ia sungguh-sungguh merasa senang mendapatkan aku kembali di Bandung. "Ada satu yang sangat ngetop di kota malam ini."

Ia membawa aku dengan skuternya melalui bagian-bagian kotanya yang aku tidak pernah ketahui keberadaannya, melalui daerah yang dipenuhi oleh rumah-rumah kampung Jawa tradisional, yang tampak seperti versi kecil kuil beratap genting orang miskin. Lenyaplah sudah rumah-rumah kolonial Belanda dan gedung-gedung perkantoran yang megah yang aku harapkan dapat melihatnya. Penduduknya nyata-nyata miskin, namun bermartabat. Mereka mengenakan sarung batik yang usang tetapi bersih, blus berwarna cerah, dan topi jerami bertepi Iebar. Ke mana pun kami pergi kami disambut dengan senyum dan tawa. Ketika kami berhenti, anak- anak bermunculan untuk menyentuhku dan merasakan kain jeans-ku. Seorang anak perempuan memasangkan bunga kemboja yang semerbak di rambutku.

Kami memarkir skuter di dekat sebuah teater kaki lima tempat beberapa ratus orang berkumpul, beberapa berdiri, yang lain duduk di kursi jinjing. Malam cerah dan indah. Walaupun kami berada di pusat kota lama Bandung, tidak ada lampu jalan di sana, hanya bintang-bintang berkelip-kelip di atas kepala kami. Udara beraroma api kayu, kacang tanah dan cengkeh.

Rasy menghilang ke dalam kerumunan orang dan segera kembali dengan orang-orang muda yang pemah aku temui di kedai kopi. Mereka menawari aku teh panas, kue kecil, dan sate, potongan kecil daging yang dimasak di dalam minyak kacang. Aku mesti telah bersikap ragu sebelum menerima sate, karena salah satu dari perempuan itu menunjuk pada api kecil. "Dagingnya sangat segar," ia tertawa. "Baru saja dimasak."

Kemudian musik mengalun - suara gaib yang membawa kenangan dari gamelan, sebuah instrumen yang menimbulkan gambaran bel kuil.

"Dalang memainkan semua musik itu sendiri," Rasy berbisik. "Ia juga memainkan semua boneka wayang dan mengisi suara mereka, beberapa bahasa. Kami akan menerjemahkannya untukmu."

Itu adalah pertunjukan yang luar biasa, mengkombinasikan legenda tradisional dengan peristiwa mutakhir. Aku kemudian tahu bahwa dalang adalah seorang dukun yang kerasukan, melakukan pekerjaannya dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia mempunyai lebih dari seratus boneka dan ia berbicara atas nama masing-masing boneka dengan suara yang berbeda. ltulah malam yang tidak pernah akan kulupakan, dan suatu malam yang telah mempengaruhi sisa hidupku.

Setelah menyelesaikan suatu pilihan klasik dari teks kuno Ramayana, dalang mengeluarkan sebuah boneka Richard Nixon, lengkap dengan hidung panjangnya yang mencolok dan gelambirnya yang menggantung. Boneka Presiden Amerika Serikat itu berpakaian seperti Paman Sam, topi tinggi dengan motif bendera Amerika dan jas berekor. Ia ditemani oleh boneka lainnya, yang mengenakan setelan yang terdiri dari tiga potong bermotif garis-garis. Boneka yang kedua ini memegang sebuah ember yang dihiasi tanda dolar di tangannya. Ia menggunakan tangannya yang lain untuk melambaikan bendera Amerika di atas kepala boneka Nixon seperti seorang budak yang mengipasi tuannya.


Sebuah peta Timur Tengah dan Timur Jauh muncul di belakang keduanya, berbagai negara menggantung dari kait di tempatnya masing- masing. Nixon segera mendekati peta itu, mengangkat Vietnam dari kaitnya, dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Ia meneriakkan sesuatu yang diterjemahkan sebagai, "Pahit(Sampah. Kita tidak memerlukan yang seperti ini lagi!" Kemudian ia melemparkannya ke dalam ember dan melanjutkan hal yang sama dengan negara-negara lainnya.

Akan tetapi, aku terkejut melihat bahwa pilihan Nixon yang berikutnya tidak meliputi negara-negara domino Asia Tenggara, melainkan negara-negara Timur Tengah - Palestina, Kuwait, Arab Saudi, Irak, Suriah, dan Iran. Sesudah itu, ia berbalik ke Pakistan dan Afganistan. Setiap kali, boneka Nixon meneriakkan beberapa julukan sebelum menjatuhkan negara itu ke dalam embernya, dan setiap kali, makiannya yang kasar anti-Islami: "Anjing Muslim," "Monster Mohammed," dan "Setan Islam."

Kerumunan orang itu menjadi sangat bergairah, ketegangan meningkat dengan setiap negara yang baru ditambahkan ke dalam ember itu. Mereka tampaknya sulit memilih di antara ledakan tawa, terguncang dan kemarahan. Terkadang, aku merasakan mereka merasa dilecehkan karena bahasa sang dalang. Aku juga merasa ditakut-takuti; aku tampak menonjol di dalam kerumunan ini, lebih tinggi dari penonton lainnya, dan aku cemas bahwa mereka mungkin mengarahkan kemarahannya kepadaku. Kemudian Nixon mengatakan sesuatu yang membuat mukaku memerah ketika Rasy menerjemahkannya.

"Berikan yang satu ini kepada Bank Dunia. Lihatlah apa yang dapat dilakukannya agar kita dapat mengeruk uang dari Indonesia." Ia mengangkat Indonesia dari peta dan memindahkannya untuk menjatuhkannya ke da1am ember. Tetapi, tepat pada saat itu sebuah boneka lain melompat keluar dari bayang-bayang. Boneka ini menggambarkan seorang laki-laki Indonesia yang mengenakan kemeja batik dan celana dril, dan ia memakai tanda yang di atasnya tercetak namanya dengan jelas.

"Seorang politikus Bandung yang populer," Rasy menerangkan.

Boneka ini benar-benar terbang ke antara Nixon dan Boneka Ember dan menahan tangannya.

"Berhenti!" ia berteriak. "Indonesia negara yang berdaulat."

Kerumunan orang itu bertepuk tangan. Kemudian Boneka Ember mengangkat benderanya dan menusukkannya seperti sebatang tombak kepada Boneka Indonesia, yang berjalan terhuyung-huyung dan meninggal secara amat tragis. Para penonton mengolok-olok, meneriaki, menjerit, dan mengacungkan tinju mereka. Nixon dan Boneka Ember berdiri di sana, memandangi kami. Mereka membungkuk dan meninggalkan panggung.

"Kupikir aku harus pergi," aku berkata kepada Rasy.

Ia melingkarkan tangannya ke sekeliling bahuku untuk melindungiku. "Sudahlah," ia berkata. "Mereka tidak bermaksud menentangmu secara pribadi." Aku tidak begitu yakin.

Kemudian, kami semua mengundurkan diri ke kedai kopi. Rasy dan yang lainnya meyakinkan aku bahwa mereka tidak diinformasikan sebelumnya tentang lakon Nixon-Bank Dunia itu. "Kau tidak pernah tahu apa yang akan dipertunjukkan oleh dalang itu," salah satu dari pemuda-pemuda itu berkomentar.

Aku bertanya keras-keras apakah ini telah diselenggarakan untuk penghormatanku. Seseorang tertawa dan mengatakan aku memiliki ego yang sangat besar. "Ciri khas orang Amerika," ia menambahkan, menepuk punggungku tanda bersetuju.

"Orang Indonesia sangat sadar politik," laki-laki yang duduk di sebelahku berkata. "Apakah orang Amerika tidak pergi ke pertunjukan seperti ini?"
Seorang perempuan cantik, yang mengambil jurusan bahasa Inggris di universitas, duduk berseberangan meja denganku. "Tetapi kamu bekerja untuk Bank Dunia, kan?'' dia bertanya.

Aku menceritakan kepadanya bahwa tugasku sekarang adalah untuk Bank Pembangunan Asia dan USAID.

"Bukankah semua itu sama?" Dia tidak menantikan jawaban. itu seperti sandiwara yang dipertunjukkan malam ini? Bukankah pemerintah kamu melihat Indonesia dan negara-negara lain seolah-olah kami hanyalah seikat ....." Dia mencari-cari kata itu. "Anggur," satu dari teman-temannya membantunya.


"Tepat sekali. Seikat anggur. Kau dapat memetik dan memilihnya. Pertahankan Inggris. Makan China. Dan buang Indonesia."


"Setelah kamu mengambil semua minyak kami," perempuan lain menambahkan.


Aku mencoba mempertahankan diri, tetapi sama sekali gagal melakukannya. Aku ingin berbangga akan fakta bahwa aku telah datang ke bagian kota ini dan telah menonton keseluruhan pertunjukan anti Amerika itu, yang mungkin dapat kutafsirkan sebagai serangan pribadi. Aku ingin mereka melihat keberanianku untuk melakukannya, mengetahui bahwa akulah anggota timku satu-satunya yang bersusah-payah mempelajari bahasa Indonesia atau berhasrat memahami budaya mereka, dan menunjukkan bahwa aku adalah orang asing satu-satunya yang menghadiri pertunjukan ini. Tetapi aku lalu memutuskan, lebih bijak untuk tidak menyebutkan satu pun tentang ini. Sebagai gantinya, aku mencoba memfokuskan kembali pembicaraan. Aku bertanya kepada mereka, mengapa mereka berpikir dalang telah memilih negara Muslim, kecuali Vietnam.

Mahasiswi bahasa Inggris yang cantik itu tertawa. "Karena itulah rencananya."

"Vietnam hanyalah sekadar tindakan pendukung," salah satu dari laki- laki itu menyela, "seperti Belanda untuk Nazi. Sebuah batu loncatan."

"Target sesungguhnya," perempuan itu melanjutkan, "adalah dunia Islam."

Aku tidak dapat membiarkan pertanyaan ini tak terjawab. "Pastinya," aku memprotes, "kalian tidak dapat percaya bahwa Amerika Serikat anti- Islam."

"Oh tidak?" perempuan itu bertanya. "Sejak kapan? Kamu perlu membaca salah satu sejarawanmu sendiri- seorang Inggris bernama Arnold Toynbee. Tahun 50-an ia memprediksikan bahwa perang sejati di abad berikutnya bukanlah antara komunis dan kapitalis, tetapi antara Kristen dan Muslim."

"Arnold Toynbee mengatakan hal itu?" aku merasa bingung.

"Ya. Bacalah Civilization on Trial dan The World and the West."

"Tetapi mengapa ada rasa permusuhan antara orang Islam dan orang Kristen?" aku bertanya.

Mereka saling berpandangan di sekeliling meja. Mereka tampak sulit untuk percaya bahwa aku dapat mengajukan pertanyaan bodoh seperti itu.

"Karena," dia berkata perlahan-lahan, seolah-olah kepada seseorang yang bodoh atau sulit mendengar, "Barat - terutama pemimpinnya, Amerika Serikat- bertekad untuk menguasai seluruh dunia, untuk menjadi kekuasaan yang terbesar di dalam sejarah. Dan itu hampir berhasil. Uni Soviet sekarang ini menghalangi jalannya, tetapi Soviet tidak akan bertahan lama. Toynbee telah melihat hal itu. Mereka tidak beragama, tidak beriman, tidak mempunyai substansi di belakang ideologi mereka. Sejarah memperlihatkan bahwa iman-jiwa, suatu keyakinan akan kekuasaan yang lebih tinggi - penting sekali. Kami orang Islam mempunyai itu. Kami mempunyainya lebih dari orang lain di dalam dunia ini, bahkan lebih dari orang Kristen. Maka kami menunggu. Kami tumbuh menjadi kuat."

"Kami tidak akan terburu-buru," salah satu dari laki-laki itu menyela" dan kemudian seperti seekor ular kami akan menyerang.”

“Mengerikan sekali!" aku hampir tidak dapat menahan diri. "Apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah hal ini?"

Mahasiswi bahasa Inggris memandang langsung ke mataku. "Berhentilah menjadi tamak," dia berkata, "dan begitu egoistis. Sadarilah bahwa ada yang lain di dunia ini selain rumahmu yang besar dan toko mewahmu. Orang-orang sedang kelaparan dan kau mencemasi minyak untuk mobilmu. Bayi-bayi sedang sekarat karena dahaga dan kau mencari gaya mutakhir di majalah modemu. Bangsa-bangsa seperti kami sedang tenggelam di dalam kemiskinan, tetapi rakyatmu bahkan tidak mendengar teriakan kami meminta bantuan. Kamu menutup telingamu terhadap suara mereka yang mencoba menceritakan kepadamu berbagai hal ini. Kamu menjuluki mereka radikal atau komunis. Kamu mesti membuka hatimu kepada orang-orang miskin dan tertindas, bukannya menggiring mereka ke dalam kemiskinan dan perbudakan yang lebih dalam. Waktunya tidak banyak lagi. Jika kamu tidak berubah, kamu akan hancur."


Beberapa hari kemudian politisi Bandung yang populer itu, yang bonekanya berani menghadapi Boneka Nixon dan ditusuk oleh Boneka ember, tewas sebagai korban tabrak lari.