Korelasi Hutang dan Percepatan Pembangunan Nasional, Begini Kata Ahli

 
Korelasi Hutang dan Percepatan Pembangunan Nasional, Begini Kata Ahli

LADUNI.ID, Surabaya - Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Dr Soetomo atau Unitomo Surabaya bekerjasama dengan Departemen Keuangan RI menggelar Seminar Knowledge Sharing bertema “Pengelolaan Pembiayaan dan Penjaminan Pemerintah Dalam Rangka Mendukung Percepatan Pembangunan Nasional”. Seminar digelar di Ruang RM Soemantri lantai 3 Gedung Rektorat, Selasa (4/9/2018).

Diskusi yang dipimpin oleh Dr. Ir. Suyanto tersebut melibatkan narasumber Staf Ahli Kementerian Keuangan Departemen Keuangan RI. Guna menajamkan beberapa program yang akan dikonkritkan ke depannya serta membahas pengelolaan APBN saat ini. APBN yang memburuk dengan hutang.

Ihda Muktiyanto, Kepala Subdirektorat Pengembangan Pengelolan Pembiayaan Departement Keuangan mengemukakan bahwa topik mengenai hutang menjadi sangat menarik karena bisa dilihat dari berbagai sisi. Sebab, visi besar pemerintah untuk mencapai masyarakat adil dan makmur salah satunya adalah membangun APBN yang tepat sasaran dan fokus pada pembangunan prioritas.

Namun ada beberapa tantangan, bahwa Indonesia masih memiliki ketertinggalan pada sektor infrastruktur, selain itu saat ini 70-80 persen penduduk Indonesia berada pada level produktif. Di mana pemerintah harus memastikan bahwa sumber daya yang kita miliki mampu mendorong pembangunan perekonomian.

Tantangan lain adalah pengangguran dan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi masih terkonsentrasi di Jawa, di mana pemerintah harus memberikan akses kepada daerah untuk bisa berkembang. Pemerintah harus melakukan percepatan pembangunan.

“Ini menjadi tantangan kita, namun tidak seluruhnya bisa dipenuhi oleh penerimaan pajak yang ada. Antara penerimaan dan belanja lebih tinggi belanjanya. Di sinilah muncul pembiayaan, atau hutang,” ujar Muktiyanto.

Tugas Kemenkeu adalah memenuhi pembiayaan untuk mengatasi deposit. Belanja yang lebih besar dari pendapatan merupakan salah satu perwujudan dari kebijakan fiskal yang ekspansif.

“Kita harus melakukan pembangunan untuk sektor-sektor (perekonomian, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan) tersebut sesegera mungkin, sehingga momentum ini akan memberikan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia ketika kita memperoleh bonus demografi mereka bisa mendukung pertumbuhan ekonomi,” paparnya.

Oleh karena itu kebijakan fiskal yang sifatnya ekspansif bukan semata keputusan yang diambil oleh pemerintah, namun sebuah proses yang terkonsolidasi.

“Prosesnya cukup mendalam dan panjang melibatkan berbagai pihak, sebagai fondasi dari pemahaman kita. Output dari proses teknokrasi, government, dalam membangun APBN,” ulas Muktiyanto.

Defisit merupakan kebijakan yang harus dibatasi, maksimal 3 persen dari PDB di (saat ini Indonesia defisit 2,51 persen). Total hutang juga dibatasi tidak boleh 60 persen dari PDB (Indonesia : 29,79 persen).

“Sebagai bagian dari pengelolaan hutang kita juga menjaga resiko ketika jatuh tempo. Jika dirata-rata selama rentang waktu yang relatif lama, resiko masih bisa dikelola dengan baik,” tegasnya.

Sementara ada dua Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan pembiayaan, meliputi penerbitan surat berharga negara (konvensional dan syariah) dan pinjaman (perjanjian) domestik maupun multilateral atau bilateral dengan pihak asing.

“Instrumen bebas resiko pada saat jatuh Tempo pasti dibayar oleh pemerintah, kecuali kalau negara itu bangkrut,” terang Muktiyanto.

Ada empat indikator resiko hutang, ialah tingkat suku bunga, nilai tukar, waktu jatuh tempo, dan refinance. pemerintah harus memastikan bahwa indikator tersebut tidak terlewati.

“Jika ditinjau sisi regulasi, ketentuan tersebut jelas, yang harus dijaga tentunya memastikan indikator-indikator ini tidak terlewati. Proses pengelolaan hutang cukup kredibel, terukur dan bisa dipertanggung jawabkan,” pungkasnya.