Masjid Agung Paris, Simbol Toleransi Umat Beragama Islam

 
Masjid Agung Paris, Simbol Toleransi Umat Beragama Islam

Pada Jurnal Dialog Volume 40, Nomor 2 yang diterbitkan Desember 2017 oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Muhammad Rais menyertakan tulisannya yang berjudul Masjid Agung Paris di Jantung Kiblat Mode Dunia. Tulisan ini mengupas masjid-masjid di Paris salah satunya Masjid Agung Paris atau dalam bahasa setempat Le Grande Mosquee de Paris.

Le Grande Mosquee de Paris hadir di tengah romantisme, glamor, dan hiruk pikuknya kota nan cantik dan penuh kejutan, sebagai oase yang menyediakan etalase yang mampu menyambungkan segala doa dan harapan seorang hamba di tengah penat dan banalnya kota Paris. La Grande Mosquee de Paris, sebuah masjid megah nan indah yang terletak di jantung kota tersebut. 

Meskipun bukan agama mayoritas di Prancis, Islam telah menjadi salah satu dari beragam agama di Prancis yang pertumbuhannya semakin meningkat. Imigrasi massal muslim ke Prancis di awal abad ke-20 sampai 21 menyulap negara ini menjadi salah satu negara dengan komunitas Muslim di Eropa. Kini pertumbuhan Islam mulai didorong oleh penduduk pribumi yang memeluk Islam.

Sebagai kaum minoritas di negara Prancis, sekilas yang terbayang dalam benak kita mungkin adalah kalangan Muslim di negara Prancis akan sangat kesulitan (masyaqqah) dalam melaksanakan ibadah dan bermuamalah. Jangankan masjid besar, sekedar menemukan mushalla saja sudah bersyukur. Tetapi, sebuah masjid megah nan indah justru tergelar di sini, dengan segala fasilitas yang menawarkan layanan, ibadah, pendidikan, dan dalam hal dakwah. 

Le Grande Mosquee de Paris diklaim sebagai masjid pertama di negara Prancis dan bahkan masuk tiga besar di Benua Biru ini. Letak masjid berada tepat di jantung kota mode, tepatnya di distrik V Kota Paris, yang jaraknya hanya satu kilometer dari Notre Dame. Masjid Agung Paris memperlihatkan keagungan Islam, sebuah mozaik Islam yang ditunjukkan lewat lukisan arsitektur dan mozaik-mozaik didominasi arsitektur Moor (style hispano-mauresque) langsung terlihat, begitu memasuki pintu gerbang masjid ini. 

Tak ada kubah, hanya terdapat beberapa desain heksagonal dan beberapa sisi dinding yang dilengkapi mozaik dan keramik artistik indah dan memanjakan mata. Masjid ini memiliki arsitektur tipikal negara-negara Afrika Utara, seperti Al-Jazair, Tunisia dan Maroko (Moor). Dengan dinding putih bersih, atap bercorak hijau biru dan bagian-bagian bangunan tertata rapi, menjadikan masjid ini tempat ibadah yang nyaman, sejuk memesona. Tempat Ibadah tonggak dari Agama.

Pendapat lain mengemukakan, bahwa Le Grande Mosquee de Paris ini terinspirasi dari gaya arsitektur masjid terkenal dan salah satu yang tertua di dunia yaitu masjid Al-Qaraouiyyin yang terletak di kota Fés, Maroko. 

Masjid ini dilengkapi dengan menara setinggi 33 meter yang terinspirasi dari Masjid Al-Zitouna yang berada di Tunisia. Sedangkan seluruh bagian dekorasi dibuat oleh pengrajin dari Afrika Utara dengan menggunakan bahan-bahan tradisional dari negara yang sama. Misalnya saja pahatan kayu, batu mozaik bahkan di ruang kamar mandi dilengkapi dengan batu marbel dari Turki. Informasi yang paralel dan elaboratif dikemukakan bahwa "First Muslim site in France the Paris Mosque was built by 450 North African craftsmen and artists. It’s Moorish style originated in Andalusia in 711/1492."

Situs Muslim pertama di Prancis itu dibangun oleh 450 tenaga terampil Afrika Utara dan seniman. Gaya Moor berasal Andalusia di 711/1492. Maka, tepat klaim Akbar S Ahmad (2007: 142) bahwa kepingan contoh arsitektur Muslim yang digunakan di Masjid Agung Paris sebagai duplikat istana Al Hambra. Dipadukan dengan istana-istana Muslim di Afrika Utara membantu kita memahami baik masa lalu Muslim maupun masa mereka sekarang ini. Contoh-contoh peninggalan ini merentang dalam putaran waktu. 

Di masjid yang berada di atas lahan seluas satu hektar ini, terdapat taman indah nan asri yang sangat menarik perhatian siapa saja yang berkunjung. Taman khas Prancis ini memiliki kolam berwarna biru cerah. Di tengahnya lengkap dengan pepohonan hijau di sekelilingnya, sebagian dinding ditutupi tetumbuhan hijau merambat, sangat serasi dengan lantainya yang berwarna hijau tosca, sangat indah dan pada salah satu sisi taman terlihat jelas menara masjid (le minaret) berdiri kokoh setinggi 33 meter.

Masjid Agung Paris memiliki sejarah yang khas dan kental. Salah satu poin menarik adalah masjid yang cukup besar ini dibangun atas bantuan Pemerintah Prancis setelah berakhirnya Perang Dunia I. Masjid ini merupakan tanda terima kasih Pemerintah Prancis kepada imigran Muslim seperti warga Al-Jazair, Maroko dan Tunisia yang turut berperang melawan pasukan Nazi-Jerman. 

Mereka sama-sama berperang dalam sebuah pertempuran yang berlangsung dalam pertempuran di daerah perbukitan utara kota Verdun-ser-Meuse pada tahun 1916 (la bataille de Verdun qui durant l’année 1916). Pada peperangan tersebut, sekitar seratus ribu tentara Muslim tewas di medan perang dengan semangat patriotik membela kedaulatan negara Prancis. Dalam salah satu jurnal dikemukakan alasan pendirian masjid ini, “Le gouvernement français décide de construire un mosquée en 1920 pour rendre en hommage aux cent mille musulmans morts pour la France durant la guerre mondiale” (Jurnal al-Salam, “Special Mosquee de Paris, Desember 2008, hlm. 3). 

Masjid ini menjadi simbol abadi persaudaran Prancis dengan orang-orang Islam (la fraternité franco-musulmane). Tak tanggung-tanggung, Pemerintah Prancis mengalokasikan dana sebesar 500.000 Francs, alih-alih dialokasikan hanya untuk pembangunan sarana ibadah. Dana ini diperuntukkan buat kepentingan yang lebih luas meliputi masjid, perpustakaan, ruang belajar dan konferensi atau seminar dengan kapasitas yang memadai (500.000 Francs pour la construction à Paris d’une mosquée, d’une bibliothéque, d’une salle d’étude et de conférences).

Seluruh pendanaan pembangunan masjid yang dibangun di lokasi yang dulu merupakan rumah sakit Mercy ini disediakan oleh Pemerintah Prancis, peletakan batu pertama dilakukan pada tahun 1922. Pada 15 Juli 1926, bangunan Masjid Agung Paris diresmikan secara simbolis oleh Presiden Prancis kala itu masih dijabat oleh M Deschanel. Seremoni peresmian ini juga sempat dihadiri Sultan Moulay Youssef dari Maroko. Pada momentum yang sama pula pelaksanaan shalat berjamaah pun dilangsungkan dengan diimami oleh salah seorang tokoh sufi warga keturunan Al-Jazair bernama Ahmad Al-Alawi. 

Sejak awal dibangun, masjid agung Paris ini menjadi sebuah simbol toleransi di negara Prancis. Ketika perang dunia II tengah berkecamuk, tentara Nazi memburu warga Yahudi untuk dibantai sebagai bagian proyek Holocoust mereka. Umat Islam di Paris membantu ratusan warga Yahudi, kebanyakan dari kalangan anak-anak, warga Al-Jazair menyembunyikan sekirat 1700-an warga Yahudi yang melarikan diri dari kamp-kamp pembantaian Nazi. 

Mereka disembunyikan di dalam bangunan ruangan masjid. Imam masjid saat itu, Khaddour Ben Ghabrit, membantu orang-orang Yahudi mendapatkan 'dokumen palsu' seperti sertifikat, kartu identitas sebagai warga Muslim-Prancis, akta kelahiran hingga surat nikah. Sang imam tidak segan-segan menyembunyikan mereka di masjid dan di rumah-rumah warga di sekitar lingkungan masjid. Acap kali bahkan membantu mereka menyelamatkan diri dengan menyusuri Sungai Sienna dan menumpang kapal kargo. 

Masjid ini menjadi pesan toleransi dan harmonisasi antara pemeluk antaragama di Prancis khususnya, dan di Eropa pada umumnya. Masjid yang kini didapuk sebagai pusat studi Islam di Prancis ini, sangat terbuka bahkan banyak dikunjungi oleh non-Muslim untuk berwisata. Bagi kalangan Muslim gratis, sedangkan bagi non-Muslim dikenakan biaya dengan cara memasukan ke guci yang telah disediakan. Dana yang terkumpul itu pun semata-mata diperuntukkan untuk perawatan masjid.

Masjid agung Paris telah memperlihatkan sebuah bangunan di sebuah negara minoritas, serta menunjukkan bentuk ajaran Islam yang sangat toleran. Toleransi umat beragama perlu di tegakkan. (Artikel ini ditulis Kendi Setiawan)