Kritik terhadap Visi Nadiem Makarim, Sebagai Simbol Kapitalisme Global!

 
Kritik terhadap Visi Nadiem Makarim, Sebagai Simbol Kapitalisme Global!

LADUNI.ID, Jakarta - Mendikbud, Nadiem Makarim, selangkah lebih maju dibanding masa awal jabatannya. Ide menghubungkan dunia pendidikan dan industri berjalan lancar. Belakangan, BUMN diajak mendukung program mahasiswa magang di perusahaan internasional. Cita-cita mengolaborasi kampus nasional dan internasional semakin dekat.

Kata-kata Nadiem Makarim menggema: “penguatan karakter tidak akan terjadi jika mahasiswa hanya berenang di kolam renang. Kita (pemerintah) harus melatih mahasiswa berenang di lautan terbuka, agar tidak kaget dengan apa pun tantangan yang dihadapinya,” (Antaranews, 12/2/2020).

Program Magang Mahasiswa Bersertifikat (PMMB) Batch I 2020 sudah diikuti 4.608 dari 300 kampus, dan melibatkan 124 BUMN. Ini betul-betul mengingatkan pada tulisan Mark Olssen dan Michael A. Peters (2005) dalam Journal of Education Policy, yang berjudul: Neoliberalism, Higher Education and the Knowledge Economy: From the Free Market to Knowledge Capitalism. Pendidikan dan industri semakin lengket.

Langkah Nadiem Makarim dalam melakukan penyatuan dunia pendidikan dan bisnis perusahaan global, terlihat serampangan. Penulis ragu untuk menyebut pendidikan hari ini sebagai sub-sistem ekonomi kapitalis.

Namun begitu, visi pendidikan Nadiem yang berorientasi melayani dunia kerja terlalu vulgar, tampak sekali sebagai wajah lain “kapitalisme” ala Nadiem Makarim. Jika kepentingan industri dan kapitalisme sudah mampu mensubordinasi dunia pendidikan, apakah itu bukan berarti sistem pendidikan kita bercelah?

Kembali lagi ke topik karakter yang Nadiem bicarakan di atas. Penulis teringat pada pelajaran sosiologi tentang teori dramaturgi Erving Goffman. Di panggung depan, Nadiem ingin memagangkan mahasiswa di perusahaan internasional, agar terbentuk jiwa pesaing di lautan lepas.

Di panggung belakang, Nadiem diam-diam ingin : a) memberi tenaga pekerja gratis bagi perusahaan selama 2-3 semester, b) revolusi mental dari mencetak leader menjadi buruh, dan c) mengubah karakter tri darma perguruan tinggi menjadi setaraf Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Visi pendidikan perguruan tinggi di tangan Nadiem Makarim sebuah fenomena “kegetiran sosial”. Siapa pun yang mengerti visi pendidikan nasional kita, tentu saja tidak akan ingin mencetak generasi buruh. Kita ingin anak didik kita sebagai inovator, kreator, bukan buruh yang sama sekali tidak punya visi menciptakan lapangan kerja.

Sebenarnya, jika memang tujuan Nadiem adalah terciptanya mental pengusaha, bukankah setiap universitas sudah memiliki pusat studi dan inkubasi ekonominya masing-masing? Mengapa Kemendikbud tidak menggelontorkan dana sebesar mungkin untuk mendanai program-program kampus?

Di lingkungan kampus, mahasiswa dilatih untuk berpikir dan berkarya. Sedangkan magang di perusahaan hanya akan melatih mahasiswa bekerja. Jika Kemendikbud mau turun ke level teknis, bukan konseptual, semestinya cukup memastikan bahwa semua produk dan hak cipta mahasiswa laku dan dibutuhkan oleh dunia industri, sehingga mahasiswa jadi suplaier dunia industri dari dalam kampus tanpa harus keluar magang, apalagi magang 2-3 semester gratis tanpa bayaran. Sedangkan mereka wajib bayar semesteran ke kampus.

Keanehan visi pendidikan Kemendikbud ini menandai Pemerintahan Periode II Jokowi yang akan berakhir 2024 nanti sebagai sumber utama kekhawatiran masyarakat. Bagaimana tidak, kita berharap perguruan tinggi melakukan hal berbeda dibanding pendidikan di sekolah. Sementara di tangan Nadiem Makarim, Kemendikbud diperlakukan ibarat perusahaan Gojek Indonesia, yang memang butuh tenaga-tenaga driver, apalagi gratis atas nama magang.

Peran Hukum dan Idealisme

Michel Rosenfeld (1998) sudah mempersoalkan persoalan hukum yang terjebak di antara persoalan etika dan politik. Di dalam masyarakat plural, di mana nilai-nilai etis, sosial dan politik minus, maka interpretasi atas hukum akan bergelombang terus-menerus. Siapa yang paling berkuasa dan kuat secara modal, dialah pemenang dalam perebutan hak interpretasi (Rosenfeld, Just Interpretations: Law Between Ethics and Politics, Univ. California Press, 1998).

Jika tidak berhati-hati, Kemendikbud akan menjadi perpanjangan tangan kapitalisme global. Anggaran 20% untuk pendidikan dari APBN hanya untuk mencetak buruh-buruh industri; budak-budak kapitalis. Empat tahun ke depan, mentalitas bangsa Indonesia dipenjara dengan nalar materialisme. Uang, pekerjaan, dan kesejahteraan material menjadi orientasi utama kesadaran dan kemanusiaan kita.

Tidak tertutup kemungkinan, segala jenis orientasi pendidikan yang tidak mengarah pada keberhasilan material dan berada di luar jalur kepentingan kapitalisme, tidak diperhitungkan oleh negara. Lulusan pendidikan yang tidak berkontribusi pada industri global akan tersingkirkan. Otomatis, ruang tertutup bagi mereka. Hanya untuk kapitaliskah kita mempersiapkan generasi muda?

Penulis ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip John Dewey: “Education is not preparation for life; Education is life itself.” Mahasiswa tidak perlu dipersiapkan untuk melayani industri dan pasar. Siswa tidak perlu dipersiapkan untuk berenang di lautan lepas. Sebab, ada yang berminat panjat tebing dan naik gunung, sekali pun ada juga yang ingin jadi perenang.


*) Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A., Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.