Belajar dari Sunan Drajat tentang Melawan Hoaks dan Fitnah

 
Belajar dari Sunan Drajat tentang Melawan Hoaks dan Fitnah

LADUNI.ID, Jakarta - Setiap kali kita mendengar nama Drajat, ada berapakah bayangan yang terlintas di benak kita? Pertama, Drajat kita persepsikan sebagai sebuah tingkatan, pangkat, kedudukan, martabat, dan kedudukan manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua. Nama Drajat akan memunculkan bayangan kita kepada sosok yang lahir pada tahun 1470 M. Siapakah ia? Ahmad Mudlor dalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri menyebut tokoh ini bernama Sunan Drajat. Orang tuanya berasal dari Surabaya. Orang tua beliau dari jalur ayah bernama Raden Rahmat yang terkenal dengan Sunan Ampel, salah satu anggota Walisongo yang memiliki wilayah dakwah di daerah Ampel Denta, Surabaya, Jawa Timur. Sementara dari pihak ibu bernama Nyai Ageng Gede Manila atau Candrawati, putri dari Arya Teja.

Kedua persepsi itu, yaitu kedudukan manusia sebagai makhluk sosial dan hamba Allah, serta sosok yang sangat berjasa dalam mensyiarkan Islam di pantai utara Jawa. Bagi masyarakat Lamongan bahkan Jawa Timur, dua persepsi itu sangat diyakini sebagai suatu yang melekat pada diri Sunan Drajat. Beliau mendapat julukan Sunan Drajat karena pada saat berdakwah di Desa Jelag, Paciran Lamongan, sempat berdoa “Siapa saja yang belajar ilmu agama di tempat ini, maka Drajatnya akan diangkat oleh Allah.” Sepenggal kisah itulah yang sering disampaikan oleh KH Abdul Ghofur (Pengasuh Pesantren Sunan Drajat Lamongan) saat mengajarkan ilmu agama kepada para santrinya.

Selain itu, menurut AM Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Sunan Drajat terkenal dengan kearifan dan kedermawanannya. Dalam pandangan sejarawan senior itu, Sunan Drajat menurunkan ajaran kepada para pengikutnya kaidah tidak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Salah satu wejangannya adalah ''Bapang den Simpangi, ana catur mungkur,'' yang artinya “Jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.” 

Agaknya, petuah yang diajarkan Sunan Drajat inilah yang perlu direnungkan dan dipelajari kembali untuk membentengi diri kita yang rawan menjadi penyebar dan penerima berita Hoaks yang makin berhamburan di dunia maya dewasa ini. Marilah sejenak kita pinjam puisi sederhana Sujiwo Tejo yang satu ini: “Kenapa aku suka senja? Karena negeri ini kebanyakan pagi, kekurangan senja. Kebanyakan gairah, kurang perenungan.”

Makin banyaknya berita hoaks di negeri ini bisa jadi karena memang betul apa yang dikatakan Presiden Jancukers itu, negeri ini kebanyakan gairah kurang perenungan. Sebagaimana nasihat luhur Ibnu Atahillah dalam al-Hikamnya yang diterjemahkan oleh Aguk Irawan MN. “Kalian adalah budak dari ambisi kalian sendiri.”

Figur Sunan Drajat boleh saja kita jadikan sebagai tauladan manakala ingin mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin, tapi betapa meneladani tokoh akan lebih sempurna jika meneladani sekaligus mengamalkan ajaran-ajaran mulianya? Untuk para timses dan pendukung parpol, marilah simak kembali ajaran Sunan Drajat ini : ''Bapang den Simpangi, ana catur mungkur,''  “Jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.”

Kembali lagi pada figur Sunan Drajat. Dalam buku Kisah Ajaib Walisongo yang ditulis Rohimuddin Nawawi Al-Bantani dijelaskan bahwa keberadaan Sunan Drajad sendiri di Drajad sebagai tokoh penyebar agama Islam diperkirakan mulai tahun 1487 sampai tahun 1522 sebagai angka tahun wafatnya. Hal itu bertetapan dengan kurun waktu ketika Jawa Timur sedang mengalami instabilitas politik dan keamanan. Dampaknya, kejahatan dan kriminalitas di daerah-daerah merajalela, termasuk di pedalaman pantai utara Jawa.

Sumber-sumber sejarah tradisional memberitakan bahwa kehidupan rakyat waktu itu sangat buruk. Berita Cina juga menyebutkan bahwa pelabuhan Tuban saat itu tidak lagi disinggahi oleh kapal-kapal dari negerinya karena alasan keamanan. Ironisnya, dalam kondisi semacam itu, boleh jadi ada juga segelintir orang yang tetap menikmati kehidupan makmur, terutama golongan elite, dalam hal ini penguasa lokal sebagai penerima upeti dari rakyat, para penarik upeti, dan para saudagar terutama yang  berada  di kota-kota  besar atau  pelabuhan.

Sikap Sunan Drajat terhadap instabilitas politik dan keamanan saat itu sangat bijaksana. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, dalam Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas 1992. Sunan Drajat memberi petuah kepada semua pengikutnya, tidak terkecuali golongan ekonomi atas, untuk berbuar lebih dan bermanfaat bagi golongan miskin.

Nah, pada akhir tahun ini hingga 2019 mendatang kita dihadapkan pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Apakah bangsa kita hanya akan sibuk mempersoalkan hoaks dan fitnah serta mencari pembenaran untuk kelompoknya sendiri? Wallahu A’lam.

(Artikel ini ditulis oleh Ahmad Ali Adhim, Santri di Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta. Sumber: NU Online)