Kolom Gus Nadir: Intermezzo, Benarkah Punya Istri Cantik itu Syarat Menjadi Imam Shalat?

 
Kolom Gus Nadir: Intermezzo, Benarkah Punya Istri Cantik itu Syarat Menjadi Imam Shalat?

LADUNI.ID - Dalam sebuah perjalanan ke Tunisia tahun 1991 saya ikut mendampingi Abah saya bersama rombongan ulama dari tanah air. Diskusi dengan para ulama Tunisia kerapkali diselingi berbagai guyonan. Salah satunya mengenai syarat menjadi imam Shalat.

Abah saya berkisah di depan para hadirin: “Dulu Bapak saya, KH Hosen, bercerita bahwa siapa yang lebih layak menjadi Imam Shalat. Kedua orang yang hendak shalat ini ternyata sama-sama memenuhi kriteria sesuai berbagai riwayat hadits Nabi:

—bagus tilawahnya dan banyak hafalan Qur’annya.
—wara’
— lebih awal masuk Islam
— mengerti fiqh

Selain sama-sama memenuhi kriteria di atas, ternyata usia mereka berdua juga sebaya, dan tidak ada yang lebih tua. Keduanya juga sudah sama-sama menikah. Tidak ada yang statusnya sebagai musafir atau budak. Maka untuk menyelesaikan perdebatan ini, lantas Bapak saya menyodorkan kriteria terakhir, yaitu: siapa yang paling cantik istrinya?!”

Para ulama yang mendengar kisah tersebut langsung tertawa. Ada yang nyeletuk: “Wah semakin susah ini: masing-masing akan mengklaim istrinya-lah yang paling cantik.”

Ada yang memberi komentar lebih serius: “Masuk akal kriteria terakhir itu. Siapa yang istrinya lebih cantik, maka dia akan lebih terjaga pandangan matanya. Sehingga dia lebih layak jadi imam Shalat.”

Hari ini entah kenapa saya terkenang dialog tersebut. Mungkin karena kangen guyonan sambil diskusi dengan almarhum Abah saya. Saya jadi penasaran ingin tahu sumber rujukan kriteria terakhir, “siapa yang lebih cantik istrinya?’ itu. Adakah kitab-kitab fiqh membahasnya.

Saya terkejut. Ternyata guyonan Datuk saya, yang diceritakan oleh Abah saya itu memang tertera dalam literatur fiqh klasik.

Kita mulai dengan kitab Raddul Muhtar karya Ibn Abidin, seorang ulama besar mazhab Hanafi, pada juz 1 halaman 558. Ibn Abidin mengulas salah satu kriteria menjadi imam Shalat itu:

‎(قَوْلُهُ ثُمَّ الْأَحْسَنُ زَوْجَةً)
‎ لِأَنَّهُ غَالِبًا يَكُونُ أَحَبَّ لَهَا وَأَعَفَّ لِعَدَمِ تَعَلُّقِهِ بِغَيْرِهَا. وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بَيْنَ الْأَصْحَابِ أَوْ الْأَرْحَامِ أَوْ الْجِيرَانِ، إذْ لَيْسَ الْمُرَادَ أَنْ يَذْكُرَ كُلٌّ مِنْهُمْ أَوْصَافَ زَوْجَتِهِ حَتَّى يَعْلَمَ مَنْ هُوَ أَحْسَنُ زَوْجَةً

Dengan memiliki istri yang cantik dia akan mencintai istrinya dan tidak tertarik pada yang lain. Tentu beliau menambahkan bahwa kriteria istri cantik ini hanya secara umum saja, bukan bermaksud untuk menyebutkan kecantikan istri agar diketahui oleh semua jama’ah.

Tapi kekagetan saya tidak berhenti sampai di sini. Ternyata kitab di atas menyebutkan kriteria lain yang ruarrr biasa:

‎ثُمَّ الْأَكْبَرُ رَأْسًا وَالْأَصْغَرُ عُضْوًا

Maksudnya, secara harfiah, yang besar kepalanya dan kecil penisnya.

Penjelasan lebih komplit begini:

‎(قَوْلُهُ ثُمَّ الْأَكْبَرُ رَأْسًا إلَخْ)

‎لِأَنَّهُ يَدُلُّ عَلَى كِبَرِ الْعَقْلِ يَعْنِي مَعَ مُنَاسَبَةِ الْأَعْضَاءِ لَهُ، وَإِلَّا فَلَوْ فَحُشَ الرَّأْسُ كِبَرًا وَالْأَعْضَاءُ صِغَرًا كَانَ دَلَالَةً عَلَى اخْتِلَالِ تَرْكِيبِ مِزَاجِهِ الْمُسْتَلْزِمِ لِعَدَمِ اعْتِدَالِ عَقْلِهِ اهـ ح. وَفِي حَاشِيَةِ أَبِي السُّعُودِ؛ وَقَدْ نُقِلَ عَنْ بَعْضِهِمْ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَا لَا يَلِيقُ أَنْ يُذْكَرَ فَضْلًا عَنْ أَنْ يُكْتَبَ اهـ وَكَأَنَّهُ يُشِيرُ إلَى مَا قِيلَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُضْوِ الذَّكَرُ

Kepala besar itu bukan bermakna sombong seperti bahasa keseharian kita. Tapi maksudnya besar akalnya. Ibn Abidin kelihatan agak kurang sreg dengan bahasan selanjutnya, dimana dia mengutip Hasyihah Abi as-Su’ud yang merasa tidak layak menyebutkan hal ini karena soal penis yang kecil.

Kira-kira maksudnya gini: yang layak jadi imam itu yang pengetahuannya banyak dan ‘kemaluannya’ kecil. Itu artinya dia tidak sibuk memikirkan apalagi mengumbar syahwatnya. Orang yang “kepala bawahnya” lebih besar ketimbang “kepala atasnya” tidak layak jadi Imam Shalat. Kepala atas itu simbol ilmu. Kepala bawah itu simbol syahwat.

Imam at-Thahthawi dalam kitab Hasyihah-nya (1/301) juga mencoba menjelaskan yang dimaksud penis kecil itu:

‎قوله ( وأصغرهم عضوا ) فسره بعض المشايخ بالأصغر ذكرا لأن كبره الفاحش يدل غالبا على دناءة الأصل ويحرر ومثل ذلك لا يعلم غالبا إلا بالاطلاع أو الأخبار وهو نادر ويقال مثله في الأحسن زوجة المتقدم

Kalau penis besar itu kesannya buruk moralnya, meskipun ini hanya sekedar kasus saja, dan tidak menjadi standar bahwa yang seperti itu pasti jelek kelakuannya.

Itu pembahasan dari mazhab Hanafi. Apakah kitab mazhab Syafi’i juga membahas soal kriteria istri cantik untuk menentukan imam Shalat?

Ternyata juga dibahas. Kitab Hasyihah al-Bujairimi ‘alal Khatib (2/141):

‎ (فَأَحْسَنُ صُورَةً)

‎ أَيْ وَجْهًا وَهَذَا لَا يُغْنِي عَنْهُ أَنْظَفُ بَدَنًا إذْ لَا يَلْزَمُ مِنْ الْأَنْظَفِ الْأَحْسَنُ، وَبَعْدَ ذَلِكَ الْمُتَزَوِّجُ فَالْأَحْسَنُ زَوْجَةً

Jadi selain imam Shalat itu bagus penampilannya dan dia juga menikahi wanita yang terbaik (cantik).

Intinya sebenarnya adalah bagaimana sang Imam punya kualitas lebih dari yang lain termasuk soal moralitas. Asumsinya kalau istrinya cantik, maka dia akan lebih selamat dunia-akherat. Benarkah asumsi tersebut? Tentu tidak selamanya begitu.

Ini namanya guyonan para ulama yang ternyata didukung pembahasan dalam kitab fiqh.

Pertanyaan iseng saja: kalau sudah istrinya cantik, terus sang imam juga cerdas, tapi kenapa ‘kemaluan’-nya harus kecil yah? Apa gak mubazir punya istri cantik kalau gitu? Rasanya pertanyaan terakhir ini belum dibahas oleh kitab klasik!

Tabik,

Nadirsyah Hosen