Serial Suku Nusantara: Suku Dayak Abal

 
Serial Suku Nusantara: Suku Dayak Abal

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu Sub Suku Dayak yang sudah dianggap punah adalah Dayak Abal. Suku Dayak ini berada di wilayah Kalimantan Selatan, kebanyakan kelompok orang Dayak Abal ini berdiam di desa Halong Dalam, desa Agong, dan desa Suput. Ketiga desa ini merupakan bagian wilayah administratif Kecamatan Haruai, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan Haruai yang luasnya 861,27 km2 pada tahun 2008 berpenduduk 25.989 jiwa, namun tidak tersedia data jumlah orang Dayak Abal di antara jumlah tersebut.

Orang Abal ini mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Abal. Antara sesamanya mereka menggunakan bahasa Abal sebagai bahasa ibu, namun dengan orang luar misalnya dengan orang Banjar, atau Dayak Maanyan, Dayak Dusun Deyah yang penduduk asal di kabupaten ini, mereka menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa pengantar.

Pengaruh orang Banjar yang menyebabkan mereka memeluk agama Islam, dan asimilasi dengan orang Banjar ini, terjadi sedemikian rupa sehingga budaya lama mereka sendiri sudah hampir punah. Seperti penduduk Kabupaten Tabalong umumnya, mereka hidup dari sektor pertanian dan hasil hutan.

Secara tradisi Dayak Abal ini mirip dengan Dayak Ngaju, mereka mengenal Dohong dan upacara seperti Tiwah tetapi ada juga yang mengaitkan Dayak Abal ini dengan rumpun Dayak Paser yaitu Paser Abba. Sampai sekarang ini belum dapat di ketahui dengan pasti bagaimana bahasa Dayak Abal. Ini mengingatkan mengenai catatan perjalanan Kapten Beeckman 1714 yang melakukan pelayaran pada tanggal 12 Oktober 1713 dengan kapal East India Company “Eagle Galle” dengan tujuan melakukan misi perdagangan ke kalimantan bagian tenggara (Banjarmasin).

Menurut catatan Kapten Daniel penduduk pribumi di Banjarmasin ini ada dua kelompok, yang pertama ialah kelompok yang menetap di area dermaga (umumnya terdiri dari orang banjar) dan kelompok lain ialah yang tinggal di perkampungan berciri tinggi sedang bentuk badan proporsional dan bersih warna kulitnya agak lebih gelap dari Ras Mullato (campuran antara negro dan kulit putih) pada masa itu mereka sudah menjadi Mohamettan / muslim namun masih mempraktekan beberapa budaya pra melayunisasi.

Didalam catatan lain juga disebutkan rombongan mereka pernah diserang oleh sekolompok dayak di daerah Kalimantan Selatan yang bercirikan badan diwarnai biru dan menggunakan panah. Apakah yang dimaksud ini adalah Dayak Abal ini atau Dayak lain yang mungkin keberadaannya juga sudah punah di Kalimantan Selatan akibat penggabungan dengan budaya Banjar.

Terdapat informasi lain tentang Dayak Abal diperoleh dari catatan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, ketika salah seorang anggotanya melakukan wawancara dengan salah satu tokoh desa Halong  yang konon dahulu memang adalah tempat bermukimnya Dayak Abal. Berikut sisa-sisa artifak Dayak Abal di Desa Halong:

  1. Adanya bekas penggalan patung dari kayu ulin yang berada dibawah jembatan Halong.
  2. Timbuk Usang / jalan lama yang menghubungkan daerah pinggir Sungai Tabalong – Halong – Buruk Nyiur, jalan tersebut sekarang digunakan masyarakat sekitar sebagai sarana untuk ke kebun karet.
  3. Masih ada penerjemah Bahasa Abal, walaupun sedikit.
  4. Peninggalan budaya, seperti menggantung bendera Tapih Bahalai pada saat acara perkawinan, yang artinya pemberitahuan kepada roh-roh gaib, bahwa ada acara perkawinan, masih seputar perkawinan yaitu tentang mandi batatai (konon mandi batatai ini hanya boleh dilakukan dan dimandikan kepada keturunan Dayak Abal), dan juga penggunaan Piduduk ketika membangun rumah.
  5. Peninggalan barang-barang sesembahan di hutan Kapin, konon hutan ini bekas penyembahan.
  6. Tanah perkebunan, di Hutan Bingkuang.

Menurut catatan HIMASE Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin nama daerah/hutan sangat awam dengan penamaan dalam bahasa Banjar/Melayu. Contoh Kapin, Suput, Matarang, Lonte, Pangkual, Sanitong, dan lain sebagainya,  penamaan ini lebih condong ke arah bahasa Dayak.

Mengenai kepercayaan, sebelum Islam masuk mereka menganut Kaharingan, hal ini dIbuktikan dengan adanya bekas tanah balai adat yang kini menjadi kebun masyarakat sekitar, dan adanya seorang Balian Kaharingan yang rumahnya berbentuk rumah lamin berukiran dayak, serta dulu adanya patung/tiang pengikat sapi untuk ditombaki atau dalam budaya Dayak Ngaju disebut SAPUNDU.

Penggunaan kata Balai sampai saat ini masih digunakan, yang artinya tempat sembahyang, seiring dengan Islam masuk Balai juga berarti langgar atau mushalla, sedangkan yang besar namanya tetap mesjid. Islam masuk ke daerah ini sekitar tahun 1920an, dibawa oleh mubaligh yang bernama Muhammad Sunan, kemudian beberapa tahun kemudian datang lagi seorang mubaligh dari Amuntai, atas jasanya mengislamkan Suput, maka mubaligh tersebut dikawinkan dengan anak kepala kampung dan keturunan ketiga dari mubaligh tersebut adalah bapak Nawardi (narasumber HIMASE), yang menolak dengan Islam kemudian berpindah dengan sendirinya, diantaranya ke Nawin/Juin, Upau dan Kembang Kuning.

Informasi lain yang di dapatkan Dayak Abal yang menolak masuk islam kemudian menggabungkan diri dengan Dayak Deah sebagian berpindah ke Upau, ada juga yang mengatakan masih ada sekelompok komunitas kecil Dayak Abal di Gunung Rindu Menangis perbatasan Kalteng di hulu sungai Ayoe namun mereka sukar ditemui karena hidup berpindah-pindah.

Penyebab kepunahan Dayak Abal adalah tergerusnya budaya dan bahasanya akibat penggabungan  dengan budaya Melayu Banjar ketika komunitas Dayak Abal masuk Islam, disamping itu generasi mudanya sudah tidak lagi menggunakan Bahasa Ibunya dan menggantikan dengan bahasa Banjar sehingga kemungkinan generasi muda di kampung Dayak Abal ini sudah tidak mengetahui kalau mereka adalah keturunan Dayak yang disebut Dayak Abal dan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Banjar.

Referensi :

  1. Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedia Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat.
  2. PT. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Ensiklopedia Suku, Seni dan Budaya Nasional Jilid 1.