Serial Suku Nusantara: Suku Abung (Abung Bunga Mayang), Sumatera Selatan

 
Serial Suku Nusantara: Suku Abung (Abung Bunga Mayang), Sumatera Selatan

Laduni.ID, Jakarta - Suku Abung merupakan bagian asli dari suku Lampung. Suku Abung tersebar di Sebelah utara berbatasan dengan Sungkai dan Way Kanan, sebelah barat berbatasan dengan daerah Lampung Barat, sebelah selatannya berbatasan dengan Lampung Selatan, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Mayoritas masyarakat Abung memeluk agama Islam. Suku Abung sering disebut juga Abung Bunga Mayang.

Daerah asalnya di Kecamatan Kayuagung dan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Pada tahun 1988 penduduk Kecamatan Kayuagung berjumlah 105.536 dan penduduk Kecamatan Mesuji berjumlah 73.041 jiwa. Dari jumlah tersebut tidak diketahui secara pasti jumlah orang Abung, hanya dapat diperkirakan sekitar 30.000 jiwa lebih. Bahasa Suku Abung masih termasuk dalam rumpun bahasa Melayu.

Mata pencaharian pokoknya bertani di sawah dan ladang, serta berdagang. Di kalangan masyarakat Suku Abung juga berkembang pula seni kerajinan Tembikar dan juga kerajinan dari bahan-bahan yang terdapat di sekitar mereka, seperti rotan dan pandan, masyarakat Suku Abung mengembangkan industri kerajinan dalam membuat anyaman.

Daun pandan berduri yang dirangkai menjadi lapik atau tikar, lazim digunakan sebagai lambar (alas) sejak raga manusia datang hingga meninggalkan dunia. Semenjak jabang bayi masih ada di dalam perut seorang calon ibu, tanaman pandan sudah dipercaya untuk menangkal kekuatan jahat yang dapat mencelakakan keduanya. Pandan biasa ditemui dalam bentuk tumbuhan yang ditanam di pekarangan rumah ataupun perkakas rumah yang menggunakan pandan sebagai bahan dasarnya.

Saat menyambut kelahiran seorang bayi, anyaman lapik pandan jamak digunakan oleh calon ibu sebagai bantalan saat melahirkan karena teksturnya yang lembut dan tidak mudah menyerap dinginnya lantai. Ketika manusia mulai tumbuh dan mengenal manisnya hidup, lapik pandan populer digunakan sebagai alas dudukan dalam momen pernikahan seseorang. Hingga di ujung usia, lapik pandan lumrah digunakan sebagai bagian dari pembungkus jasad manusia saat dikembalikan ke dalam tanah.

Sayangnya, kepercayaan daya magis anyaman pandan ini kian memudar. Jumlah perajin anyaman semakin sedikit karena ilmu menganyam sulit untuk di turunkan kepada generasi muda saat ini.

Pada dasarnya penarikan garis keturunannya cenderung bersifat bilateral, yaitu dari pihak ayah dan dari pihak ibu. Akan tetapi keluarga-keluarga batih yang terbentuk kebanyakan bersifat matrilokal atau tinggal di sekitar kediaman pihak istri. Kini umumnya pasangan pengantin langsung menempati kediaman yang sama sekali baru (neolokal), tanpa harus menetap sementara di kediaman pihak istri.

Sistem kemasyarakatannya dipengaruhi oleh adat Simbur Cahaya. Pengaruh agama Islam juga sangat terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Nafas keagamaan serta unsur kebudayaan Melayu terlihat dalam bentuk-bentuk kesenian yang berkembang.

Kitab Simbur Cahaya merupakan peninggalan dan hasil tulisan dari Ratu Sinuhun (istri Pangeran Sido Ing Kenayan penguasa Palembang yang berkuasa antara tahun 1636 sampai 1650). Beberapa ahli sejarah meyakini bahwa Kitab Simbur Cahaya merupakan kitab pertama yang diterapkan masyarakat nusantara, berupa undang-undang tertulis yang berdasarkan syariat Islam.

Cerita lain menyebutkan bahwa Kitab Simbur Cahaya berkaitan erat dengan cerita munculnya sinar terang benderang di Bukit Siguntang dalam rangka menyambut kelahiran keturunan Raja Iskandar Zulkarnaen dan menjadi penanda pengesahan tiga raja muslim di tiga serumpun Melayu, yakni Palembang, Singapura dan Malaka.

Secara etimologis simbur cahaya diartikan sebagai “percik sinar atau cahaya”, cahaya yang dimaknai sebagai obor dalam peradaban masyarakat Sumatera Selatan. Dalam Kitab Simbur Cahaya terkandung nilai-nilai moral serta perpaduan antara hukum adat dan ajaran agama Islam. Undang-undang Simbur Cahaya merupakan kitab undang-undang hukum adat yang memadukan antara hukum adat yang berkembang secara lisan di pedalaman Sumatera Selatan dan ajaran Islam.

Kitab ini terdiri dari lima bab, yang membentuk pranata hukum dan kelembagaan adat di Sumatera Selatan, khususnya terkait persamaan gender perempuan dan laki-laki. Secara garis besar, isi undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Adat Bujang Gadis dan Kawin;
  2. Adat Marga
  3. Aturan Dusun dan Berladang
  4. Aturan Kaum
  5. Adat Perhukuman.

Menurut Saudi Berlian, Dosen Ilmu Budaya Dasar (IBD) di Universitas Sumatra Selatan, UU Simbur Cahaya juga mengajarkan tentang harmoni terhadap lingkungan alam, lingkungan sosio-kultur dan religi.

Ditambahkan juga oleh Taufik Wijaya, salah seorang pegiat lingkungan hidup di Sumatera Selatan  mengatakan Undang-Undang Simbur Cahaya khususnya pada Bab III banyak menjelaskan mengenai hubungan lingkungan dan manusia. Di dalamnya terdapat berbagai aturan mengenai cara membakar lahan agar tidak merugikan orang lain, ketentuan memelihara binatang ternak, larangan membunuh ikan dengan racun dan lainnya. Peraturan-peraturan tersebut masih sangat relevan bila diterapkan pada masa sekarang ini, karena dalam Undang-Undang yang berusia ratusan tahun ini terdapat norma, aturan dan sanksi yang jelas dan tegas setiap pelanggaran.

Referensi

  1. Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  2. PT. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Ensiklopedia Suku, Seni dan Budaya Nasional Jilid 1.