Biografi KH. Muhammad Nawawi, Pendiri NU Mojokerto

 
Biografi KH. Muhammad Nawawi, Pendiri NU Mojokerto

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat
1.3  Riwayat Keluarga

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1  Mengembara Menuntut Ilmu
2.2  Guru-Guru Beliau
2.3  Merintis Pesantren

3.    Penerus Beliau
3.1  Anak-anak Beliau

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Jasa-jasa Beliau
4.2  Karier Beliau

5.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Muhammad Nawawi lahir pada 1886 di Dusun Lespadangan, Desa Terusan, Kecamatan Gedeg, Mojokerto. Ayahnya, Munadi, dan ibundanya bernama Siti Khalimah.

1.2 Wafat
KH. Muhammad Nawawi telah memperlihatkan kepemimpinannya saat terlibat langsung dalam pertempuran melawan tentara Belanda di garis depan. Hingga akhirnya beliau gugur sebagai seorang syuhada yang membela agama dan negara pada 22 Agustus 1946. Sebelum mengembuskan napas terakhir, dia sedang mengikuti pertempuran di Desa Plumbungan, Kecamatan Sukodono, Sidoarjo.

1.3 Riwayat Keluarga
Di lain sisi, Munadi ayah beliau mempunyai teman akrab seorang guru mengaji atau kiai kampung, kiai Syafi'i, warga Balongsari I, Kelurahan Balongsari, Magersari, Kota Mojokerto. Kiai Syafi'i pun berniat menjodohkan putrinya, Nafisah dengan Nawawi. Gayung pun bersambut, ayah beliau menyetujui niat mulia tersebut sebab sudah memahami akhlak Nafisah.

Sepulang dari menuntut ilmu pada 1914 di usia sekitar 28 tahun, KH.Muhammad Nawawi kemudian menikah dengan Nyai Nasifah. Setelah menikah dengan Nyai Nafisah, Kiai Nawawi dipercaya oleh Kiai Syafi’i untuk mengasuh Pondok Pesantren Mangunrejo.  Pasangan pengantin baru ini tinggal serumah dengan Kiai Syafi'i. Buah pernikahan ini, mereka dikaruniai 9 anak, yaitu Siti Amnah, Mardiyah, Ismail, Mansur, Marzuki, Yahya, Ubaidah, Wasiah, dan Badriyah. Nafisah wafat setelah 20 tahun menjadi istri KH. Nawawi.

KH. Muhammad Nawawi menyunting istri keduanya, Nyai Bannah dari Pesantren Gayam dan dikaruniai 5 putra-putri, yaitu, Muhaimin, Ahmad Chumaidi, Malikhatin, Mohammad Sonhadji, serta Anik Ukhuwah.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

Pesantren menjadi tempat Nawawi menimba ilmu sejak usianya baru 7 tahun. ayah beliau menitipkannya ke pesantren yang diasuh Kiai Ilyas alias Kiai Sholeh di Penarip gang 2, Kelurahan/Kecamatan Kranggan, Kota Mojokerto sekitar tahun 1893. Di pesantren ini, Nawawi muda mempelajari Al-Qur'an dan kitab-kitab klasik, mendapatkan doktrin melawan penjajah, bekal ilmu bela diri aliran Cirebonan, Jabar dari Kiai Ilyas.

Setelah dirasa cukup dan usianya sudah belasan tahun, KH. Muhammad Nawawi diarahkan Kiai Ilyas melanjutkan pendidikan di Pondok pesantren Tebuireng, Desa Cukir, Diwek, Jombang. Kala itu, Tebuireng masih diasuh teman Kiai Ilyas, KH. Hasyim Asy'ari yang merupakan kakek Gus Dur. Munadi ayah KH. Muhammad Nawawi pun menemui langsung Kiai Hasyim Asy'ari untuk menitipkan putranya tersebut.

Nawawi remaja kian tekun menimba ilmu di pondok pesantren Tebuireng. Beliau memilih tetap belajar di pesantren ketika teman-temannya pulang selama libur Ramadhan. Oleh sebab itu, belau tak pernah absen mengikuti diskusi Ramadan di pesantren yang pesertanya para santri senior pilihan. Forum diskusi ini membahas berbagai persoalan sosial di masyarakat sekaligus dasar hukum agama sebagai solusinya.

Selama berkelana menimba ilmu, KH. Muhammad Nawawi belajar di 3 pesantren ternama di Jatim dan Madura. Pertama, di Pesantren Siwalan Panji Buduran, Sidoarjo. Pesantren yang didirikan Kiai Hamdani tahun 1787 ini juga tempat belajar guru Nawawi, Kiai Hasyim dan Kiai Ilyas. Ketika Nawawi 'nyantri', pesantren ini diasuh Kiai Khozin Khoirudin dan Kiai Hasyim Abdurrahim.

Selanjutnya KH. Muhammad Nawawi berguru ke Kiai Zainuddin di Pesantren Mojosari, Desa Ngepeh, Loceret, Nganjuk. Kiai Zainuddin merupakan waliyullah yang mempunyai banyak karamah. Ponpes Mojosari didirikan Kiai Ali Imron tahun 1710. KH. Muhammad Nawawi lantas merantau ke Madura untuk menimba ilmu dari Syaikhona Kholil di Kademangan, Bangkalan.

Di pesantren ini, Nawawi ingin mendalami ilmu nahwu dan shorof atau ilmu tata bahasa agar bisa membaca dan mengartikan semua kitab berbahasa Arab sekaligus mengerti maknanya. Konon beliau hanya sebentar diajari ilmu tersebut. Sebab beliau lebih banyak disuruh Kiai Kholil mengisi air kamar mandi dan tempat wudu.

Sampai KH.Muhammad Nawawi dipanggil Kiai Kholil yang menyatakan sudah cukup dan menyuruhnya pulang. Perintah sudah cukup itu juga diartikan sebagai perintah untuk mengakhiri pengembaraannya. KH.Muhammad Nawawi harus balik ke rumahnya di Lespadangan. Sekurangnya 20 tahun waktu yang dia habiskan menimba ilmu agama.

2.2 Guru-Guru Beliau

  1. KH. Kholil Bangkalan
  2. KH. Hasyim Asy’ari

2.3 Merintis Pondok Pesantren
Di desa Lespadangan inilah beliau membangun rumah sekaligus mushola. Di sela kesibukannya menjadi penjahit, beliau tetap meluangkan waktu mengajar mengaji masyarakat di sekitarnya. Kini tempat tinggal KH. Nawawi menjadi Pondok pesantren Tarbiyah Tahfidhul Qur'an An Nawawy yang didirikan putranya, Kiai Ismail Nawawi. Sedangkan mushaoa sudah dijadikan satu dengan masjid pesantren, Masjid As Syuhada'.

3. Penerus Beliau

3.1 Anak-anak Beliau
KH. Ismail Nawawi

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah

Semasa hidupnya, KH.Muhammad Nawawi mengajarkan Al-Qur'an kepada masyarakat Jagalan dan sekitarnya. Beliau juga berdakwah tentang ajaran Islam. Beliau juga sering mengundang para Kiai yang merupakan teman mondoknya dulu untuk mengisi pengajian-pengajian di tengah masyarakat, seperti KH Khusaeri dan KH Naser dari Damean, Gresik.

KH.Muhammad Nawawi bersama pengurus NU Mojokerto rutin menggelar pengajian keliling ke musala-musala. Melalui NU pula, ulama pemberani itu mengusulkan pendirian madrasah untuk mengentaskan umat dari kebodohan. Sehingga sekolah Islam pertama bercokol di Bumi Majapahit. Beliau juga menjadi pendidik di madrasah tersebut. Madrasah di Kauman 3, Kelurahan Kauman, Prajurit Kulon, Kota Mojokerto itu tetap eksis sampai sekarang.

Namanya berubah dari Madrasah Kauman menjadi MI Al Muhsinun sejak 1976. Karena menempati pekarangan milik Haji Muhsinun yang dihibahkan kepada Yayasan Pendidikan Ma'arif Mojokerto.

4.1 Jasa-jasa Beliau

Mendirikan NU di Mojokerto
Sejak berdiri 1926, NU di bawah kepemimpinan KH. Hasyim Asy'ari membuka cabang di berbagai daerah memanfaatkan jaringan pesantren dan kaum santri lulusan pesantren. Tak terkecuali di Mojokerto. Kiai Nawawi yang notabene santri KH. Hasyim Asy'ari di Pondok pesantren Tebuireng, Jombang menunaikan tugas mulia tersebut.

Kala itu, KH.Muhammad Nawawi mendiskusikan rencana pendirian NU di Mojokerto dengan para kiai. Salah satunya yang paling intensif dengan Kiai Zainal Alim, pedagang kain keturunan Arab warga Suronatan, Magersari, Kota Mojokerto. Rupanya Kiai Zainal mempunyai minat yang sama.

NU Mojokerto akhirnya lahir dalam sebuah rapat para kiai pada 28 Mei 1929. Seperti yang dimuat dalam Buletin Swara Nahdlatoel Oelama edisi nomor 7 tahun kedua, rapat tersebut dihadiri KH. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri. KH. Wahab Chasbullah kala itu menjadi Pemred Swara Nahdlatoel Oelama, sedangkan Kiai Bisri Syansuri Katib Syuriyah NU Cabang Jombang.

Dalam rapat itu pula, pengurus NU Mojokerto disusun. Kiai Zainal didapuk sebagai Rais Syuriah. Ketua Tanfidziyah dijabat Kiai Muhammad Rozihan. Sedangkan Kiai Nawawi sebagai pembantu (A'wan) Rais Syuriah. Ia lantas menggantikan kedudukan Kiai Zainal yang wafat tahun 1941. Pembinaan terhadap ranting-ranting NU rutin dilakukan KH.Muhammad Nawawi.

Ulama yang lahir di Lespadangan, Desa Terusan, Gedeg, Kabupaten Mojokerto 1886 ini paling sering berkunjung ke ranting. Dalam setiap kunjungannya, beliau selalu mengendarai dokar pinjaman Kiai Zainal yang dijadikan kendaraan dinas para pengurus NU Mojokerto. KH.Muhammad Nawawi senantiasa mengajarkan tertib administrasi ke para pengurus ranting, seperti buku kas, buku anggota dan buku notulen rapat.

Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Jasa KH. Muhammad Nawawi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia begitu besar. Kiyai berasal Mojokerto, Jawa Timur, ini turut serta dalam palagan Pertempuran Surabaya 1945.

Kisahnya diawali pada Oktober 1945. Waktu itu, wali kota Surabaya Radjiman meminta bantuan kepada para pemuda Muslim dan kiai Mojokerto untuk membantu laskar-laskar yang hendak menghadapi Sekutu di Surabaya.

Pada saat itu juga KH. Muhammad Nawawi menawarkan bantuannya. Beliau berjanji akan ikut dalam gelanggang jihad di kota pesisir itu. Ia kemudian mendapat tugas untuk memimpin Laskar Sabilillah dan Hizbullah ke daerah Sepanjang dan Krian. Di sana, mereka akan membendung pergerakan tentara Inggris dan Belanda ke arah barat.

Ketika hendak bertempur, KH. Muhammad Nawawi menyempatkan waktu untuk membaca Alquran terlebih dulu. Selesai mengaji, beliau kemudian memberikan nasehat kepada para santrinya dan memberikan tujuh biji kerikil kepada para santri untuk melawan Belanda. KH. Muhammad Nawawi juga memberikan ijazah atau amalan doa untuk para santrinya.

Selesai mengaji, beliau kemudian memberikan wejangan kepada para santrinya dan memberikan tujuh biji kerikil kepada para santri untuk melawan Belanda. Beliau tidak hanya memberikan semangat dan amalan doa saja, tetapi juga ikut terjun langsung dalam pertempuran. Pada 22 Agustus 1945, terjadilah pertempuran sengit di Dusun Pelembungan, Desa Sumantoro, Kabupaten Sidoarjo.

4.2 Karier Beliau

  1. Rais Syuriah PCNU Mojokerto
  2. Komandan Hizbullah Surabaya-Mojokerto

5. Referensi

https://tebuireng.online

 

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya