Latar Belakang Sejarah Amanat Fatwa Jihad KH. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama

 
Latar Belakang Sejarah Amanat Fatwa Jihad KH. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan dua bulan, kembali terancama akan dikuasai oleh para penjajah. Terdengarlah kabar bahwa pasukan sekutu Inggris yang diboncengi tentara NICA datang kembali untuk menguasai Indonesia. Saat itu, di Surabaya tersebar pamflet-pamflet yang menyatakan agar rakyat Indonesia menyerahkan diri dan tunduk pada mereka para kolonial. Bahkan mereka juga akan menangkap Soekarno dan Moch. Hatta yang telah dipercaya rakyat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.

Dalam Buku Resolusi Jihad, “Perjuangan Ulama dari Menegakkan Agama Hingga Negara”, yang ditulis oleh Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarah Tebuireng terdapat keterangan bahwa bunyi fatwa jihad yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah sebagaimana berikut:

1. Hoekoemnja memerangi orang kafir jang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhoe ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam jang moengkin meskipoen bagi orang kafir

2. Hoekoemnja bagi jang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplot2nja adalah mati sjahid

3. Hoekoemnja orang jang memetjahkan persatoean kita sekarang ini wadjib diboenoeh

 

Beberapa butir fatwa jihad yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari tersebut, terdapat dalam sumber manuskrip yang ternyata ditulis oleh beliau pada tanggal 11 September 1945. Jadi fatwa tersebut ditulis oleh beliau sebelum adanya rapat bersama di kantor PBNU Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1945.

Menurut Agus Sunyoto, dalam Buku Fatwa dan Resolusi Jihad: Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya 10 November 1945, bahwa dalam merespons kabar kedatangan kembali tentara sekutu Inggris dan NICA itu, maka Hoofd Bestuur Nadlatoel Oelama atau sekarang disebut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad, pada 22 Oktober 1945.

Pada tanggal 21 Oktober 1945, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang waktu itu berkedudukan di Surabaya bersama dengan konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di kantor Pengurus Besar Ansor Nahdlatul Ulama (PB ANO atau sekarang disebut Gerakan Pemuda Ansor) di Jalan Bubutan Vl/Z Surabaya.  Dalam pertemuan yang berlangsung malam hari itu, Rais Akbar PBNU Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan sebuah amanat tentang pokok-pokok kaidah kewajiban umat Islam, baik pria maupun wanita untuk melaksanakan jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Inilah yang kemudian dikenal menjadi fatwa jihad fi sabilillah.

KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan fatwa jihad yang ditujukan kepada umat Islam, sebagaimana berikut:

“Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu ’ain (yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, Iaki-Iaki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak Iingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di Iuar jarak Iingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (jang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja).”

Pada pagi harinya, tanggal 22 Oktober 1945, PBNU mengadakan rapat pleno yang dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah. Dalam rapat pleno tersebut, disepakati mengambil keputusan tentang Jihad fi Sabilillah dalam membela tanah air dan bangsa yang diserukan kepada umat Islam. Kemudian juga menyerukan Resolusi Jihad fi Sabilillah yang disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam keterangan yang ditulis oleh Agus Sunyoto dalam bukunya tersebu, juga dijelaskan bahwa fatwa Jihad fi Sabilillah tersebut berhasil membakar semangat umat Islam untuk melakukan perlawanan terhadap tentara sekutu dan NICA. Bahkan, tidak hanya umat Islam, banyak kalangan dari berbagai latar belakang agama turut serta dalam perlawanan itu. Mereka menerima kabar tentang adanya fatwa itu dari mulut ke mulut di berbagai tempat. Fatwa tersebut memang sengaja tidak disebarkan melalui surat kabar ataupun siaran radio karena alasan pertimbangan politik. Tapi, meskipun demikian, gelora arek-arek Surabaya tak bisa dibendung dan bertekad melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir. Dari fatwa ini pula, kemudian muncullah satu perlawanan dahsyat yang kelak dikenal dengan Hari Pahlawan, yakni tanggal 10 November 1945.

Fatwa Jihad fi Sabilillah yang telah tersebar dari mulut ke mulut itu kemudian diikuti dengan Resolusi Jihad fi Sabilillah yang diserukan kepada pemerintah Indonesia dan disiarkan serta dimuat di berbagai surat kabar, di antaranya adalah Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-l, Jumat Legi, 26 Oktober 1945; Antara, 25 Oktober 1945; Berita Indonesia, Jakarta, 27 Oktober 1945.

Di dalam berbagai surat kabar tersebut secara dimuat pernyataan resmi PBNU tentang Fatwa Resolusi Jihad. Berikut teks asli pernyataan resmi tersebut:

Toentoetan Nahdlatoel Oelama kepada Pemerintah Repoeblik Soepaya mengambil tindakan jang sepadan Resoloesi wakil-wakil daerah Nahdlatoel Oelama Seloeroeh Djawa-Madoera

Bismillahirrochmanir Rochim
Resoloesi:

Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsoel2) Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama seloeroeh Djawa-Madoera pada tanggal 21-22 October 1945 di Soerabaja.

Mendengar:

Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja hasrat Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAOELATAN NEGARA REPOEBLIK INDONESIA MERDEKA.

Menimbang :

a. Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam.

b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalah sebagian besar terdiri dari Oemmat Islam.

Mengingat:

1. Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem.

2. Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.

3. Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja.

4. Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet.

Memoetoeskan :

1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja.

2. Seoapaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Soerabaja, 22 Oktober 1945
NAHDLATOEL OELAMA

Tidak bisa dipungkiri, sangat besar pengaruh fatwa Resolusi Jihad ini dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Dalam sekejap, dari mulai cabang sampai ranting NU menjadi basis markas Hizbullah dan Sabilillah. Umat Islam tergerak untuk berangkat bergegas melakukan perlawan dan tak gentar dengan kematian yang setiap saat bisa menimpa mereka. Keyakinan kuat telah terpatri, bangga mendapatkan predikat syahid sebab membela agama dan tanah air sebagaimana difatwakan oleh para ulama. (El Keyyis, Perjuangan Laskar Hizbullah, Pustaka Tebuireng, 2015).

Selain itu, dalam catatan sejarah disebutkan sekali lagi bahwa fatwa jihad tersebut juga mengilhami adanya peristiwa 10 November 1945. Tidak hanya itu, resolusi ini juga mendorong perjuangan mempertahankan kemerdekaan hingga empat tahun kemudian dan seterusnya. Pertempuran demi pertempuran yang terjadi di daerah-daerah sangat mempengaruhi jalur diplomasi yang dilakukan elit pemerintahan Indonesia dengan pihak sekutu. Semisal dikuasainya Krian oleh sekutu, menjadikan perundingan Linggarjati tertunda. Dikuasainya Mojokerto dengan sangat alot, oleh sekutu, juga membuat perundingan Renville tertunda. Walaupun kedua perjanjian tersebut tetap dilakukan walau Krian dan Mojokerto tetap berhasil dikuasai. (El Keyyis, Perjuangan Laskar Hizbullah, Pustaka Tebuireng, 2015).

Bagaimanapun sejarah tidak bisa dinafikan. Meski harus mengorbankan banyak jiwa, tetapi pengorbanan itu bukanlah sia-sia. Indonesia bisa merdeka seutuhnya tidak lain adalah jasa mereka para pejuang, yang di antaranya adalah para kyai dan santri. []  


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Kholaf