Strategi Taktis Mbah Wahab Chasbullah dalam Mendirikan Gerakan sebelum Berdirinya Nahdlatul Ulama

 
Strategi Taktis Mbah Wahab Chasbullah dalam Mendirikan Gerakan sebelum Berdirinya Nahdlatul Ulama
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Selain Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama yang paling masyhur adalah KH. Wahab Chasbullah atau yang akrab dengan sapaan Mbah Wahab.

Mbah Wahab adalah putra dari KH. Chasbullah Said dan merupakan cicit dari pendiri Pesantren Tambak Beras Jombang, KH. Abdussalam (Mbah Shoichah). Jika ditarik lagi ke atas, beliau masih berada dalam garis keturunan dari Raja Brawijaya IV. Tidak heran jika kelak beliau menjadi salah satu tokoh yang sangat disegani oleh berbagai kalangan. Bahkan, konon ketika akan nyantri di Mbah Kholil Bangkalan, saat itu gurunya memberikan isyarat kepada para murid bahwa akan kedatangan macan, yang tak lain adalah Mbah Wahab itu sendiri. Seakan dawuh Mbah Kholil itu menggambarkan karakter Mbah Wahab yang kelak menjadi tokoh masyhur yang pemberani dan disegani.

Dalam catatan sejarah, sebelum Nahdlatul Ulama berdiri secara sah dengan restu dari Mbah Kholil Bangkalan, didirikanlah berbagai gerakan yang kelak menjadi bagian dari inspirasi berdirinya Nahdlatul Ulama.

Memang Nahdlatul Ulama berdiri atas restu dan petunjuk dari Mbah Kholil Bangkalan kepada KH. Hasyim Asy’ari, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sebelumnya Mbah Wahab telah lebih dulu mendirikan sejumlah gerakan strategis dalam memberikan pengaruh kepada rakyat, khususnya para pemuda.

Sebelum Nahdhatul Ulama berdiri dan berkembang pesat hingga sekarang, ditengarai dengan adanya tiga pilar gerakan utama yang menjadi pondasi bagi Nahdhatul Ulama, yaitu Tasywirul Afkar, Nahdhatul Wathon dan terakhir Nahdhatut Tujjar. Tiga gerakan itu merupakan inisiasi dari Mbah Wahab Chasbullah bersama sejumlah tokoh Islam yang mempunyai keresahan yang sama terkait kondisi masyarakat saat itu, khususnya umat Islam.

Apa yang dilakukan oleh Mbah Wahab secara tidak langsung terpengaruh oleh munculnya gerakan Sarekat Islam dan Budi Utomo. Kedua gerakan itu memberikan dampak tersendiri bagi semangat nasionalisme di Indonesia. Pidato HOS Tjokroaminoto, pendiri dan ketua Umum Partai Serikat Islam Indonesia yang menuntut pemerintahan tersendiri lepas dari kendali kekuasaan penjajah Belanda, berhasil membakar semangat bangsa Indonesia khususnya kaum terpelajar, untuk mendirikan berbagai perkumpulan dalam bentuk pergerakan dan lembaga pendidikan. Dan pidato tersebut juga mempengaruhi KH. Wahab Hasbullah. (Slamet Effendy Yusuf, Dinamika kaum santri: Menelusuri jejak dan pergolakan internal NU, Jakarta: Rajawali, 1983)

Mulanya KH. Wahab Hasbullah mengajak KH. Mas Mansur dan KH. Achmad Dahlan Achyad untuk mendirikan perkumpulan diskusi. Forum diskusi tersebut didirikan di Surabaya tahun 1914 dengan nama “Tasywirul Afkar” (Dialog Para Pemikir). Tujuan perkumpulan ini untuk membenahi kehidupan masyarakat yang sangat memprihatinkan, khususnya umat Islam. (Nur Khalik Ridwan, NU & Bangsa 1914-2010 Pergulatan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media 2016)  

Lalu langkah kongkrit dari forum diskusi Tasywirul Afkar adalah pendirian kelompok kerja yang diberi nama Nahdlatul Wathon.

Jika menilik sejarah berdirinya Nahdlatul Wathon pada tahun 1916 yang diprakarsai oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah, maka hal itu tidak terlepas dari keprihatinan atas kondisi bangsa saat yang sepertinya kurang memiliki kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan. Jadi, dua tahun setelah berdirinya Tasywirul Afkar, didirikanlah Nahdlatul Wathan yang merupakan organisasi yang berorientasi pada pendidikan para pemuda. (Wasid Mansyur, Biografi Kiai Ahmad Dahlan : Aktifis Pergerakan dan Pembela Ajaran Aswaja, Surabaya: Pustaka Idea, 2015)

Ide pendirian organisasi Nahdlatul Wathon mendapat sambutan hangat dari sejumlah tokoh masyarakat, di antaranya dari H.O.S Tjokroaminoto, Raden Panji Seoroso, Soendjoto (seorang arsitek terkenal masa itu) dan KH. Abdul Kahar (seorang saudagar terkemuka) yang kemudian menjadi penanggung jawab pembangunan gedung Nahdlatul Wathan. Dan sebagaimana disepakati oleh para pendiri, Nahdatul Wathan bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan kaum muda. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Solo: Jatayu, 1984)

Nahdhatul Wathan menjadi wadah suatu lembaga pendidikan untuk menciptakan kader-kader bangsa yang memiliki nilai dan martabat bagi kaum Kolonialisme.Organisasi ini adalah semacam upaya organisatoris dalam mendidik dan menyadarkan orang-orang Muslim menghadapi kondisi yang dihadapi dalam kehidupan.

Pada tahun ini pula, Mbah Wahab Chasbullah juga menciptakan lagu kebanngsaan berlirik bahasa Arab dan Melayu dengan judul ‘Ya Lal Wathon’. Lagu ini sangat menginspirasi kaum muda dan membangkitkan semangat perjuangan kemerdekaan. Pada masa itu lagu tersebut wajib dinyanyikan oleh para santri sebelum memulai pelajaran setiap hari.

Pada mulannya, forum diskusi Tasywirul Afkar bersifat terbatas untuk kalangan tertentu. Tetapi seiring perkembangan waktu, Tasywirul Afkar mulai diminati oleh para pemuda. Kondisi ini dimanfaatkan untuk membina kontak antara sejumlah tokoh muda dengan tokoh agama dan tokoh intelektual. Dalam setiap diskusi yang mempertemukan antara para pemuda, intelektual dan tokoh tokoh agama, Tasywirul Afkar berusaha mencari berbagai solusi untuk memecahkan permasalahan kehidupan dalam masyarakat. Mulai dari permasalahan yang bersifat keagamaan murni hingga masalah politik perjuangan untuk mengusir kaum penjajah.

Dalam Ensiklopedi NU disebutkan, bahwa pada tahun 1919, Tasywirul Afkar berkembang menjadi sebuah madrasah yang bertempat di Ampel dan kepala sekolah yang ditunjuk saat itu adalah KH. Ahmad Dahlan Achyad. Lalu pada tahun 1920-an, Tasywirul Afkar menjadi satu-satunya madrasah yang didirikan oleh kalangan pesantren di Kota Surabaya yang menggunakan sistem berjenjang. Perkembangan ini merupakan prestasi awal dari para kyai yang kelak bakal mendirikan NU di kota yang sama pada tahun 1926.

Keresahan Mbah Wahab melihat kondisi masyarakat saat itu membuatnya terus berpikir untuk mendirikan gerakan lain yang dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dua tahun setelah berdirinya Nahdlatul Wathan, kemudian pada tahun 1918 didirikanlah Nahdhatut Tujjar. Organisasi ini didirikan oleh Mbah Wahab Chasbullah dalam rangka mewadahi para pemikir dan pedagang Muslim untuk membenahi perekonomian umat Islam atas keserakahan dan monopoli kaum kolonial. (Nur Khalik Ridwan, NU & Bangsa 1914-2010 Pergulatan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media 2016)

Jika dilihat sejarahnya, semangat gerakan Nahdlatut Tujjar adalah agar umat Islam tidak selalu menggantungkan perekonomiannya di bawah tekanan kekuasaan kaum kolonial. Selain itu, umat Islam juga diajarkan agar bisa menjadi mandiri dalam hal perekonomian. Mengingat kekayaan alam Nusantara yang memang harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, bukan justru dimonopoli oleh para penjajah.

Faktanya, ketika itu masyarakat yang ekonominya rendah akan mempengaruhi pada kondisi keimanannya yang mudah tergoyahkan. Apalagi jika menggantungkan diri kepada kaum penjajah, maka sangat dikhawatirkan bisa terjerumus pada lemahnya iman. Karena itu, gerakan membangun ekonomi masyarakat harus terus digaungkan dengan pelatihan-pelatihan strategis mengenai perdagangan. Sebab hasil pertanian saat itu berkembang pesat, tapi ujungnya hanya digunakan untuk memperkaya kaum penjajah.

Selain itu, para ulama juga merasa kesulitan dalam hal berdakwah karena tidak adanya dorongan ekonomi. Hal ini menyebabkan banyak orang enggan mengikuti dawuh para ulama tersebut. Memang salah satu faktor utamanya adalah sedikitnya pengetahuan mereka tentang syariat Islam, yang kemudian membuat mereka lemah imannya dan tidak menerima dengan baik petuah-petuah ulama. Dengan adanya Nahdlatut Tujjar ini, kemudian para ulama bisa berdagang sambil berdakwah. Ada kesadaran berdakwah sekaligus kesadaran berekonomi, yang mempunyai pengaruh bagus bagi ketertarikan masyarakat awam untuk belajar agama.

Tapi lebih dari itu, perlu dicatat bahwa Nahdlatut Tujjar didirikan bukan hanya untuk membangun basis perekonomian para ulama, melainkan menjaga tradisi perdagangan yang sudah ada sejak sebelum datangnya kolonial dan turut menciptakan pasar sendiri di daerah Surabaya, Kediri, dan Jombang. Tiga wilayah tersebut dinamakan segitiga emas, karena ketiganya merupakan wilayah yang memiliki persamaan menjadi pusat kota perdagangan dan memiliki komoditas yang baik. Dan peta ini telah dibaca oleh Mbah Wahab Chasbullah dengan baik, hingga muncullah inisiatif gerakan dalam bidang ekonomi tersebut. (Jarkom Fatwa, Sekilas Nahdlatut Tujjar, Yogyakarta: Pustaka Pesantren 2004)

Mbah Wahab Chasbullah memiliki pemikiran untuk memperbaiki perekonomian masyarakat muslim, khususnya di Jawa, karena memang pada hakikatnya Kolonialisme Belanda saat mulai menjajah di tanah Nusantara, mereka melirik Pulau Jawa untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan politik ekonominya sebab jumlah penduduknya yang lebih banyak daripada di luar Pulau Jawa dan juga memiliki jalur transportasi yang lebih mudah. Pandangan ini juga yang kemudian menjadi salah satu inspirasi memunculkan strategi pergerakan ekonomi umat yang dapat berkembang dengan baik secara berorganisasi.  

Tapi, sebenarnya banyak sekali problematika yang menjadi latar belakang lahirnya Nahdlatut Tujjar. Salah satunya adalah karena tidak adanya kesadaran sebagian besar orang Muslim yang dibodohi oleh kaum kolonialis,  yang sebenarnya bukan saja bertujuan menjajah tanahnya, tetapi juga menguasai aset-aset ekonomi.

Lalu kemiskinan pun terjadi karena pajak-pajak yang semakin mencekik para rakyat pribumi yang tidak sesuai dengan upah yang mereka terima selama bekerja di bawah kekuasaan kaum kolonialis. Pembodohan tersebut terus menerus terjadi dan mereka pun tidak berdaya untuk membenahi hal tersebut.

Karena pentingnya kebangkitan ekonomi masyarakat muslim itu, Kyai Hasyim Asy’ari pernah mengatakan dalam forum:

“Wahai pemuda bangsa yang cerdik pandai dan para ustad yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi, dimana di setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom.” (Nur Khalik Ridwan, NU & Bangsa 1914-2010 Pergulatan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media 2016)

Dari keresahan yang sama itu, akhirnya koperasi Syirkah Al-‘Inan dibentuk oleh Kyai Hasyim Asy’ari, dengan tujuan untuk memperkuat jaringan ekonomi di kalangan umat Islam, khususnya Muslim tradisional. Sepertinya, apa yang dipikirkan oleh Mbah Hasyim Asy’ari tidak jauh berbeda dengan semangat Mbah Wahab Chasbullah dalam masalah ekonomi umat.

Pada dasarnya memang Nahdlatut Tujjar memiliki cita-cita ideal untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan. Tapi sayangnya, Nahdlatut Tujjar hanya bisa bertahan sampai 8 tahun (1918-1926). Meski demikian, Nahdlatut Tujjar bisa dianggap cukup berhasil menghimpun para pedagang muslim untuk memperkuat ekonomi umat. Organisasi ini terpaksa harus bubar karena adanya peraturan-peraturan Pemerintah Kolonial Belanda yang mempersulit perkembangan koperasi, seperti adanya pembebanan biaya mahal melalui notaris, penggunaan bahasa Belanda dan lain sebagainya yang memang disengaja untuk menghentikan gerakan ekonomi Nahdlatut Tujjar yang dianggap mengancam permainan monopoli para kolonialis.

Tidak berhenti di sini, strategi perjuangan Mbah Wahab masih terus berlanjut dalam menginisiasi pergerakan. Gerakannya berlanjut dengan membentuk “Syubbanul Wathon” (Pemuda Tanah Air) sebagai wadah gerakan perjuangan santri pada tahun 1924. Meski sebenarnya gerakan ini berdiri karena adanya perbedaan pandangan dengan KH. Mas Mansyur, sosok yang juga merupakan inisiator pendiri Tasywirul Afkar, tetapi Mbah Wahab tetap teguh pendirian dalam berjuang. Tidak mundur sedikitpun dalam menahkodai gerakan yang didirikannya itu. Bahkan, gerakan Syubbanul Wathon ini, kemudian menjadi embrio lahirnya Laskar Hizbullah, Ansor, dan bahkan beberapa anggotanya turut berperan dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Sementara KH. Mas Mansyur lebih cenderung untuk bergabung dengan Muhammadiyah. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Kholaf Al-Muntadar