Biografi KH. Abdul Djalil bin Fadhil, Pendiri Madrasah Pertama di Pesantren Sidogiri

 
Biografi KH. Abdul Djalil bin Fadhil, Pendiri Madrasah Pertama di Pesantren Sidogiri
Sumber Gambar: IASS Wilayah Bali

Daftar Isi Biografi  KH. Abdul Djalil bin Fadhil

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru Beliau

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Menjadi Pengasuh Pesantren
3.2  Mendirikan Madrasah
3.3  Pejuang Melawan Penjajah

4.   Teladan Beliau
4.1  Wara' dan Sederhana
4.2  Mujahadah dan Ibadah

5.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
Kyai Abdul Djalil lahir dan besar dari keluarga yang agamis. Ayah beliau bernama Kyai Fadlil bin Sulaiman bin Ahsan bin Zainal Abidin (Bujuk Cendana), nasab beliau bersambung ke Sayyid Qasim (Sunan Drajat) bin Sayyid Rahmatullah (Sunan Ampel). Sedangkan ibu beliau bernama Nyai Syaikhah binti Syarifah Lulu’ binti Sayyid Abu Bakar asy-Syatha ad-Dimyathi, pengarang kitab I’ânah ath-Thâlibîn.

Jadi, dari jalur ibu, Kyai Abdul Djalil adalah cicit dari pengarang kitab terkenal itu. (Kyai Abdul Djalil bukan putra KH. Abdus Syakoer seperti yang pernah tertera dalam kalender resmi Pondok Pesantren Sidogiri. Kyai Abdul Syakoer adalah mertua Kyai Fadlil, dan Kyai Syakoer itu menjadi menantu Syekh Syatha).

Saudara kandung Kyai Djalil ada 5 orang, 3 putra dan 2 putri, yaitu:

  1. KH. Abdul Djalil,
  2. Kyai Zainal,
  3. Kyai Achmad Salim,
  4. Nyai Aminah,
  5. Nyai Mutammimah.

Kyai Zainal dan Kyai Salim meninggal dalam usia remaja, sementara Nyai Aminah menikah dengan Syekh Iskandar, Surabaya. Dan Nyai Mutammimah Menikah dengan Kyai Syukur dari desa Wangkal (abah Kyai Bahar, Warungdowo).

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Abdul Djalil menikah dengan Nyai Hanifah putri KH. Nawawie (Kyai beliau)

1.3 Wafat
Kyai Abdul Djalil wafat tepat pada hari Kamis tanggal 10 Dzul Qodah 1366 H atau 26 September 1947 M sekitar pukul 06.00 pagi hari. Beliau dimakamkan di areal pemakaman keluarga Sidogiri. Sedangkan beberapa orang pengawal beliau dimakamkan di samping Masjid bagian utara (dekat jeding Masjid).

Kyai Abdul Djalil adalah satu dari sekian ribu ulama yang menjadi korban kebiadaban Belanda. Di sini, kiranya penting kita kutip pernyataan jujur seorang jenderal Belanda yang memimpin agresi tersebut. “Andaikan tidak ada ulama-ulama atau Kyai-Kyai kolot dan ortodoks (baca: Pesantren), Negara Indonesia tidak mungkin meraih kemerdekaan.” Allahu Akbar!

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Kyai Djalil tumbuh dan besar sebagaimana layaknya anak-anak yang lain, bergaul dan akrab dengan teman-teman beliau. Namun, menurut Kyai Bahar -teman sepermainan beliau- saat masih kanak-kanak, Kyai Djalil sudah tampak kewaraan beliau. Di saat teman-teman beliau makan tebu atau mencari mangga jatuh, beliau selalu menghindar tidak mau ikut.

Beranjak remaja, Kyai Djalil lebih suka mempergunakan masa muda beliau untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Di samping bimbingan dari ayah beliau sendiri, beliau juga dididik oleh uwak-beliau (paman) sendiri, Kyai Ahsan, Banjar Probolinggo.

Secara fisik Kyai Djalil mirip dengan Kyai Bahar, keponakan beliau, yang kini tinggal di desa Warungdowo. Kepribadi beliau tenang, menunjukkan kematangan jiwa. Jika berjalan selalu menunduk, sabar, dan penuh syafaqah (kasih sayang).

2.1 Pendidikan
Nyantri di Sidogiri. Suatu hari, Kyai Nawawie mendapat undangan menghadiri walimah di daerah timur Warungdowo, berdekatan dengan rumah Kyai Djalil muda. Seusai acara, Kyai Nawawie bertanya “Mana cucu Sayyid Syatha?” Saat itu Kyai Djalil berada di tempat itu. “Kamu mondok di Sidogiri, ya?” kata Kyai Nawawie. Kyai Djalil pun mengangguk tanda setuju. Kyai Nawawie menawarkan Kyai Djalil mondok di Sidogiri karena merasa pernah berguru pada buyut Kyai Djalil, Sayyid Syatha.

Di Sidogiri, Kyai Djalil dengan gigih dan bersungguh-sungguh mengikuti dan menyimak semua yang diajarkan oleh Kyai Nawawie. Bukan hanya ilmu dalam bentuk teori, akhlak dan pribadi luhur Kyai Nawawie juga membekas kuat dalam membentuk kepribadian Kyai Djalil.

Tidak ada kejelasan berapa tahun Kyai Djalil mengaji kepada Kyai Nawawie. Yang jelas, saat mondok di Sidogiri Kyai Djalil sudah cukup alim. Di samping langsung mengaji kepada kyai, beliau juga membaca kitab di jerambah Daerah D.

Saat nyantri, sifat wara’ Kyai Djalil juga ditempa dan teruji. Selama di Pondok, beliau tidak pernah menginjak sandal teman-teman beliau. Apalagi ghasab.

Bila mau menanak, sisa kayu bakar milik teman beliau pasti dibersihkan terlebih dahulu, atau diminta halalnya. Saat menjemur pakaian, jika masih ada pakaian santri lain yang dijemur dan saat itu sudah kering serta tidak ada tempat lain, beliau tidak akan memindah pakaian itu, khawatir yang punya tidak rela.

2.1 Guru Beliau

  1. Kyai Fadhil (ayah),
  2. KH. Nawawie di Sidogiri (mertua)

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Diambil Menantu Kyai Nawawie. Setelah beberapa tahun nyantri di Sidogiri, Kyai Djalil bermaksud boyong. Nah, saat minta restu Kyai Nawawie, beliau ditawari menikah dengan putri beliau, Nyai Hanifah. Dengan persetujuan keluarga beliau, Kyai Djalil mengiyakan.

Menurut satu cerita, Kyai Nawawie mengambil menantu Kyai Djalil disamping karena kewara’an beliau. Juga dilatar belakangi kejadian yang agak aneh. Pada suatu malam, ketika semua santri terlelap tidur, Kyai Nawawie sambil wiridan berjalan-jalan melihat keadaan santri.

Di tengah deretan bilik yang dilalui, beliau dikejutkan oleh cahaya yang memancar dari salah seorang santri yang sedang tertidur. Namun, karena keadaan gelap, beliau kesulitan untuk mengenal santri yang memancarkan sinar itu. Kyai Nawawie lalu mengikat sarung anak yang memancarkan cahaya tersebut.

Keesokan harinya, sehabis menunaikan salat Subuh berjamaah, Kyai bertanya siapa yang sarungnya terikat tadi malam. Ada yang menjawab “DjalilKyai.” Lalu dipanggillah Kyai Djalil ke dalem dan ditawari untuk ditunangkan dengan Nyai Hanifah, putri pertama beliau. “Koen dhe’ kene ta’ pe’ mantu, ya’opo? (kamu di sini saya jadikan menantu saya, bagaimana)?” Kyai Djalil pun mengangguk.

Karena sudah ditunangkan, Kyai Djalil yang awalnya bermaksud boyong, malah dimondokkan ke Makkah oleh Kyai Nawawie. Di tanah suci itulah beliau berguru kepada tokoh ulama ‘allâmah selama dua tahun.
 

3.1 Menjadi Pengasuh Pesantren
Jumat 25 Syawal 1347 H, Kyai Nawawie wafat, menghadap Allah SWT. Kabar ini pun kemudian sampai pada Kyai Djalil yang sedang berada di Mekah, dan beliau diminta pulang untuk menggantikan kyai Nawawie mengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.

Awalnya Kyai Djalil keberatan dan meminta Kyai Abdul Adzim (juga menantu Kyai Nawawie) yang diangkat. Namun Kyai Abdul Adzim juga tidak bersedia. Maka akhirnya, Kyai Abdul Djalil menerima amanat berat itu, melanjutkan perjuangan Kyai Nawawie mendidik santri menjadi generasi handal.

Dalam menjalankan tugas sebagai Pengasuh, Kyai Djalil mengikuti pola sekaligus meneruskan tradisi yang telah dirintis oleh Kyai Nawawie. Pengajian kitab yang dibaca Kyai Nawawie dilangsungkan aktif. Khataman kitab Tafsir pada setiap bulan Ramadan juga dilestarikan. Hingga ada ungkapan, “Masa Kyai Djalil tak ubahnya adalah masa Kyai Nawawie.”

Hampir selama 12 tahun Kyai Djalil memangku Sidogiri. Dalam masa itu pula, beliau mempersiapkan putra-putra Kyai Nawawie yang masih kecil-kecil agar siap menjadi Pengasuh. Praktis, semua putra Kyai Nawawie diasuh dan dibesarkan oleh Kyai Djalil.

Beliau sendiri pernah bilang, “Aku iki duduk Kyai Sidogiri, sing Kyai iku wong limo iku. (Saya ini bukan Kyai Sidogiri, yang jadi Pengasuh ya lima orang itu, putra-putra Kyai Nawawie).”

Awal-awal menjadi pengasuh. Beliau melakukan tirakat 7 hari di Batuampar Pamekasan. Selama 7 hari itu beliau berpuasa dan berbuka hanya dengan separuh pisang, sisanya dibuat makan sahur. Dan setiap hari beliau mengkhatamkan Al-Qur’an.

3.2 Mendirikan Madrasah
Pada saat beliau memangku pondok, sistem belajarnya adalah sistem sorogan, belum ada pendidikan Madrasahnya. Karena murid semakin banyak, lalu ada yang mengusulkan untuk mendirikan Madrasah. Mulanya Kyai Djalil kurang setuju dengan usulan tersebut. Di antara pertimbangan Kyai Djalil saat itu, khawatir sisa-sisa kapur tulisan Al-Qur’an di papan tulis itu akan mudah diinjak. Dalam pandangan beliau, sisa-sisa kapur tulisan Al-Qur’an itu masih dianggap bacaan Al-Qur’an.

Namun karena santri semakin banyak dan tidak memungkinkan ikut mengaji, akhirnya Kyai setuju. Kebetulan saat itu memang sudah ada salah seorang guru tugas dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, namanya Kyai Nahrowi, yang mengajar di kamar beliau dengan sistem seperti madrasah yang ada di Tebuireng. Namun Kyaai tetap mewanti-wanti supaya tetap berhati-hati. Sebisanya sisa kapur penulisan Al Qur’an tidak diinjak.

Tanggal 14 Shafar 1357 atau 15 April 1938, madrasah tingkat Ibtidaiyah resmi didirikan dengan nama “Madrasah Miftahul Ulum”, biasa disingkat MMU. Nama itu merupakan hasil istikharah Kyai Djalil. Pada awal-awalnya, gedung belajar murid diletakkan di Surau G, Masjid, dan dalem Kyai Sa’doellah.

 Dalam perjalanannya, MMU terus mengalami kemajuan. Pada bulan DzulHijjah 1378 H atau Juli 1957 M. Madrasah Tsanawiyah didirikan. Lalu 25 tahun kemudian dibentuk Madrasah Aliyah, tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1403 H atau 21 Oktober 1982 M.

Kini, perjalanan MMU sudah mencapai 72 tahun. MMU sudah mempunyai 4 jenjang pendidikan: Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), Aliyah (3 tahun), dan Isti’dadiyah (sekolah persiapan bagi santri baru selama 1 tahun).

Madrasah yang dirintis Kyai Djalil ini sekarang sudah mempunyai cabang yang tersebar di Kabupaten Pasuruan, Madura, dan Daerah Tapal Kuda. Madrasah ranting di Pasuruan disebut Tipe A, sebanyak 69 di tingkat Ibtidaiyah dan 15 di tingkat Tsanawiyah.

Sedangkan yang di luar Pasuruan disebut Tipe B, sebanyak 32 di tingkat Ibtidaiyah dan 11 di tingkat Tsanawiyah. Seluruh ranting berjumlah 127. Jumlah keseluruhan murid MMU, induk dan ranting, mencapai sekitar 25 ribu. Di Pasuruan, Madura, dan Tapal Kuda, Madrasah Miftahul Ulum termasuk Madrasah diniyah yang cukup bonafide dan disegani.

3.3 Pejuang Melawan Penjajah
Syahid Melawan Belanda. Setelah melewati perjuangan panjang dengan pengorbanan yang tak terkira, pada hari Jumat pukul 10.00 wib tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sejak saat itu rakyat Indonesia bertekad untuk menjadi bangsa yang berdaulat dan bebas menentukan nasibnya sendiri sejajar dengan bangsa lain di dunia. Tekad itu tercermin dalam isi proklamasi dan pembukaan (preambule) UUD 1945.

Untuk mewujudkan cita-cita luhur itu ternyata tidak mudah. Belanda yang pernah mereguk manisnya kesuburan tanah Indonesia selama 350 tahun lebih, tidak rela melihat Indonesia menghirup udara kebebasan. Tiga tahun setelah hari kemerdekaan diproklamirkan, mereka kembali menapakkan kakinya di Indonesia. Kejadian ini dikenal dengan istilah Agresi Belanda II. Mereka ingin mengulang memori indah saat mendapatkan segalanya dengan mudah. Menjajah. Ya, itulah yang mereka inginkan. Kembali ke Indonesia, merampas segala hasil bumi rakyat di Nusantara.

Agresi Belanda itu ternyata mendapat reaksi keras dari seluruh rakyat Indonesia. Sebab, cita-cita menjadi Negara berdaulat telah bulat. Maka tidak ada pilihan lain kecuali melawan agresor sampai titik darah penghabisan. Tentara, rakyat, ulama bersatu-padu mengadakan perlawanan demi membela kehormatan agama dan Negara. Tercatat, tidak kurang dari 100 ribu pahlawan gugur dalam usaha mempertahankan kemerdekaan tersebut.

Membela agama? Ya. Tidak diragukan lagi bahwa agresor yang musyrik itu di samping ingin menjajah, mereka mempunyai misi terselubung yaitu mengkafirkan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim. Hal itu terlihat jelas dari tindakan mereka yang dengan sengaja melecehkan dan menghina simbol-simbol Islam.

Inilah faktor mengapa ulama secara total melakukan perlawanan terhadap agresor Belanda. Sampai-sampai Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ (NU) mengeluarkan “Resolusi Jihad” yang dengan tegas menyatakan. “Melawan Belanda hukumnya wajib dan termasuk jihad fi sabilillah”.

Aksi perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang terhadap serdadu Belanda terus berlangsung di seluruh penjuru negeri. Cuma, karena minimnya persenjataan, perlawanan dilakukan dengan cara bergerilya. Mencari kesempatan untuk menyerang di saat Belanda lengah. Itu pun dengan senjata seadanya; bambu yang diruncingkan ujungnya, arit, parang, pedang atau apa saja yang bisa dibuat perlawanan dan menumpas Belanda.

Lalu lari bersembunyi ke hutan-hutan atau dusun-dusun yang jauh dari jangkauan Belanda. Taktik gerilya ini membuat kompeni mati kutu. Sebab mereka tidak punya kesempatan untuk membalas dan kehilangan jejak. Di samping medan yang sulit untuk mereka kenal. Pada saat itu Pondok Pesantren Sidogiri menjadi tempat bersembunyi para tentara Hizbullah.

Puncaknya di desa Plinggisan Pasuruan, para pejuang terlibat baku tembak dengan Belanda. Tapi untuk kali ini anggota Hizbullah terdesak. Para pejuang mundur kembali ke markas. Belanda penasaran dan mengikuti jejak mereka sampai akhirnya diketahui bahwa mereka adalah anggota pasukan Hizbullah di bawah pimpinan KA. Sa’doellah yang bermukim di Sidogiri.

Akhirnya, keberadaan Pondok Pesantren Sidogiri yang dijadikan sarang pejuang tercium oleh kolonial Belanda. Beberapa mata-mata dikirim untuk melihat langsung aktivitas gerakan pejuang. Dan ternyata benar adanya, Pondok Pesantren Sidogiri dijadikan markas menggembleng pasukan Hizbullah dengan berbagai ulah kanuragan. Malah santri-santri digembleng dengan ilmu kebal dan berbagai ilmu kesaktian yang lain.

Mengetahui hal itu, Belanda menjadi marah dan mengirimkan tentara dengan jumlah besar untuk mengepung Sidogiri dengan target utama menangkap Kyai Sa’doellah dan Kyai Djalil. Saat itu keadaan benar-benar menegangkan. Kapten Abdul Lathif (TNI) melaporkan kepada Kyai Djalil bahwa tentara Belanda dengan jumlah besar semakin dekat. KA. Sa’doellah meminta agar Kyai Djalil mengungsi, namun Kyai Djalil menolak, “Saya sudah tua, tidak bisa menggalang kekuatan lagi, tidak ada alasan bagi saya untuk hijrah, sampean saja cepat hijrah.

Sampean bisa menggalang kekuatan,” kata Kyai Djalil. Akhirnya KA. Sa’doellah mengungsi ke desa Areng-areng. Kata-kata Hijrah ini memang diucapkan oleh Kyai Djalil sebagai bukti bahwa hal ini bertujuan suci sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW. bersama para Sahabatnya Ra. yang hijrah ke Madinah di awal-awal penyebaran Islam di Tanah Mekah.

Hari Kamis tanggal 10 bulan Dzul Qodah 1366 H. / 26 September 1947 M. pukul 03.30 dini hari, serdadu Belanda sampai di Sidogiri dan langsung mengepung rapat pondok tua ini. Pasukan Hizbullah sempat melakukan perlawanan dan terlibat baku tembak. Saat hampir Subuh Belanda berhasil menerobos masuk ke Pondok Pesantren Sidogiri dan mendatangi Kyai Djalil yang saat itu bersama para pengawalnya. Belanda menanyakan di mana Kyai Sa’doellah. “Saya tidak tahu! Di sini saya hanya diserahi untuk mengajar santri,” jawab Kyai Djalil mantap.

Penasaran, pasukan Belanda memaksa Kyai Djalil ikut dijadikan tawanan. Kyai menolak, tidak mau mengikuti ajakan mereka. Terjadi perdebatan sengit kemudian. Karena sudah masuk waktu Subuh Kyai ingin mengatakan masih ingin shalat Subuh terlebih dahulu. Selesai shalat, Kyai langsung menuju halaman di sana tentara Belanda telah menunggu.

Kyai Djalil keluar dari Masjid dengan membawa buntalan yang berisi Al-Qur’an dan Kitab. Melihat Kyai Djalil membawa buntalan, Belanda memaksa agar menyerahkan buntalan itu, sebab Belanda curiga yang dibawa Kyai Djalil adalah Dokumen penting milik Kyai Sa’doellah. “Jangan sentuh buntalan itu! Kamu najis memegangnya.” bentak Kyai Djalil garang.

Kyai Djalil memang mempunyai firasat tidak enak pada Belanda. Bahkan Kyai pernah bilang. “Le’ londo mlebbu, Islam payah (Kalau Belanda sampai masuk ke sini, Islam payah)”. Sehingga beliau sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam beliau menyelinapkan keris di balik bajunya. Ketika Belanda dengan paksa merampas buntalan yang berisi Al-Quran dan Kitab itu, Kyai Djalil marah dan melakukan perlawanan.

Maka terjadilah pertempuran tidak seimbang antara Kyai Djalil yang ditemani beberapa santri yang menjadi pengawal beliau melawan Belanda yang jumlahnya banyak dan bersenjata lengkap. Beberapa serdadu Belanda tewas tersungkur. Tapi tidak lama berselang, semua pengawal Kyai Djalil gugur tertembak. Belanda sendiri kewalahan menghadapi Kyai Djalil yang ternyata tidak mempan ditembak, meskipun diberondong.

Sampai akhirnya, dengan kemarahan yang sangat memuncak, mereka berhasil menangkap Kyai Djalil dan dengan beringas menembakkan peluru ke mulut beliau. Dor…! Dor…! Dor…! Suara tembakan terdengar sampai puluhan kali. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Beliau akhirnya gugur sebagai syahid.

Kekejaman Belanda tidak cukup di situ. Jenazah Kyai Djalil diseret dan dibuang di sungai Sidogiri sebelah barat. Konon, tetesan darah Kyai membuat air sungai saat itu menjadi harum semerbak. Jenazah Kyai Djalil ini baru ditemukan sekitar jam 09.00 oleh khadam beliau bernama mas Dlofir (Sukorejo Situbondo).

4. Teladan Beliau

4.1 Wara’ dan Sederhana
Suatu ketika Kyai Djalil menyuruh salah seorang khadam beliau bernama mas Bukhori asal Bondowoso untuk menukar uang 10 ribu rupiah pada mas Mu’in, seorang pedagang yang terkenal wara’ di pasar Sidogiri.

Sesampainya di depan toko, ternyata toko mas Mu’in sedang tutup. Namun di depan toko itu mas Bukhori bertemu dengan adik mas Mu’in, mas Imad yang menjabat Kepala Desa Sidogiri, “Hendak ke mana?” sapa Pak Kades Sidogiri pada Bukhori. “Disuruh menukar uang oleh Kyai, Pak,” jawab Bukhori. Lalu Pak Kades menawarkan uang kecil pada Bukhori, dan dia pun setuju dengan penawaran Pak Kades. Pikir Bukhori, toh apa bedanya uang mas Mu’in dengan uang Pak Kades.

Ketika uang itu diberikan kepada Kyai, Kyai menanyakan apa betul uang itu ditukarkan kepada Mas Mu’in. Dengan jujur Bukhori menjawab uang itu ditukarkan ke Pak Kades. Kyai tidak berkenan. Sifat wara’ Kyai rupanya tidak menerima uang Pak Kades yang berasal dari sumber yang tidak jelas halal haramnya, alias syubhat.

Lalu, tanpa menyentuh uang itu beliau menyuruh mas Bukhori untuk mengembalikannya. Dengan segera mas Bukhori berangkat mencari Pak Kades. Namun, Pak Kades sudah lupa terhadap uang Kyai sebab sudah bercampur dengan uang yang lain. Bukhori pun kembali melapor. “Wis gak usah dipek, gak opoopo (Sudah biarkan tidak usah diambil, tidak apa-apa).” Kata Kyai enteng. Padahal uang 10 ribu saat itu, akan bernilai jutaan rupiah saat sekarang.

Menjemur padi pun Kyai Djalil berusaha agar padi beliau tidak berkumpul dengan milik orang lain, takut-takut ada milik orang yang terikut, walaupun hanya satu biji. Jika merasa ada yang tercampur, sekalipun tanpa sengaja, Kyai Djalil akan mengembalikan padi yang tercampur itu semua.

Demikian juga bila di pondok kebetulan ada acara semacam ikhtibar atau lainnya, setelah selesainya acara, semua peralatan semacam kuali dan perlengkapan lain dibersihkan sebersih-bersihnya. Khawatir kalau-kalau ada barang milik pondok yang terikut sisanya.

Uang yang dibuat belanja sehari-hari untuk Kyai dan keluarga beliau adalah murni hasil jerih payah sendiri. Beliau memperolehnya dari hasil pertanian. Uang dari tamu yang sowan ke Kyai sangat jarang dibuat untuk belanja rumah tangga. Biasanya uang dari tamu itu dibuat untuk membayar ongkos para pekerja atau diberikan kepada orang lain.

Yang menarik dari sikap wara’ beliau ini, Kyai menyuruh istrinya, Nyai Hanifah, untuk membuat sendiri masakan yang akan dimakan, seperti kecap, petis, tempe, serta bahan-bahan makanan lain yang bisa dibuat sendiri. Ibu Nyai Hanifah pernah sedikit protes perihal kehati-hatian beliau tersebut, “Abah (Kyai Nawawie) saja tidak begitu” kata Nyai. Dengan ringan Kyai Djalil menjawab, “Abah wis wushul, aku durung (Abah sudah wushûl, aku belum).”

Sifat sederhana dan istikamah Kyai Djalil menyebabkan masyarakat sekitar menjadi segan. Tanpa disuruh, kaum perempuan di sekitar Sidogiri merasa malu bila tidak menutup aurat. Sulit menemukan perempuan berjalan sendirian tanpa disertai mahramnya. Bila naik dokar pun, pasti dokarnya selalu tertutup.

Memang ada orang yang menilai, apa yang dilakukan Kyai Djalil ini akan mempersulit diri sendiri. Padahal kalau menurut tataran Fiqih, sesuatu apa pun yang sudah jelas halal tidak perlu dipermasalahkan.

Dalam dunia Tasawuf kita kenal ungkapan Hasanatul-Abrâr Sayyi’atul-Muqarrabîn (kebaikannya orang baik, adalah kejelekannya orang yang dekat pada Allah SWT.). Tingkat amal manusia itu berbeda-beda, tergantung maqam-nya.

Tekun beribadah karena mengharap pahala atau takut siksa, sudah baik untuk orang kelas ‘biasa’, tapi tidak untuk kalangan ‘elit’ sekelas Rabiah Al-Adawiyah, Sufyan Al-Tsauri, atau Al- Ghazali. Bagi orang lain, gaya hidup Kyai Djalil yang sangat selektif terhadap makanan, mungkin akan menyusahkan, namun bagi Kyai Djalil sendiri itu dirasakan sebagai satu kenikmatan.

Apa yang menjadi prinsip Kyai Djalil ini sudah pas dengan arti wara’. Dalam kitab-kitab Tasawuf, wara’ diartikan dengan meninggalkan barang halal karena khawatir terjerumus pada yang haram. Ini yang diamalkan oleh Kyai Djalil. Bukan meninggalkan barang haram dan mengambil yang halal.

Dan betul, jika seorang hamba benar-benar takut pada Allah SWT, maka Allah akan menjaganya terjerumus ke dalam kedurhakaan. Suatu ketika Kyai Djalil diundang salah seorang tetangga beliau untuk menghadiri undangan walimah. Kyai tahu, di tempat walimah, ada pertunjukan haram. “Jika datang berarti ridhâ bil-ma’siyat (ridha dengan maksiat).

Jika tidak datang, merusak hubungan antar tetangga ( haqqul-jâr).” Setelah dipikir agak lama, Kyai memutuskan untuk hadir. Saat akan berangkat ada kejadian yang ganjil. Kyai merasakan kaki beliau sakit luar biasa, namun bila balik ke rumah beliau sakit itu hilang. Akhirnya Kyai tidak datang dengan alasan sakit, dan hubungan antar tetangga pun tetap terjalin.
 

4.2  Mujahadah dan Ibadah
Mungkin agak sedikit kontras dengan cerita di atas. Membaca cerita kewara’an Kyai Djalil, terbayang sosok yang tampil apa adanya atau berpakaian lusuh. Ternyata tidak. Dalam keseharian beliau, Kyai Djalil selalu berpakaian rapi bahkan terlihat necis. Pakaian beliau selalu disetrika. Khususnya ketika akan shalat, terlihat seperti orang yang akan melakukan perjalanan jauh. Dalam pandangan Kyai Djalil, sederhana, bukan berarti tampil semrawut.

Di samping sosok yang wara’, Kyai Djalil juga dikenal ketekunan beliau dalam beribadah. Saat masih mondok, tiap malam beliau hanya tidur satu jam, yakni sekitar pukul 11.00 - Jam 12.00 beliau bangun dan terus khusyuk beribadah sampai jamaah Subuh dengan Kyai. Ketekunan beliau ini terus berlanjut hingga beliau berkeluarga. Hanya sejak berkeluarga, tiap malam beliau tidur dua jam.

Sejak usia baligh sampai wafat. Beliau hanya satu kali tidak shalat berjamaah. Hal ini beliau ungkapkan sendiri kepada santri-santri beliau beberapa waktu menjelang wafat beliau. Hal ini mengingatkan kita pada tabi’in bernama Said bin Musayyibyang dalam 50 tahun tidak pernah satu kalipun ketinggalan takbiratul ihram bersama Imam.

Semasa Kyai Djalil, malam selasa adalah malam libur bagi semua santri. Bermacam-macam aktivitas mereka lakukan. Ada yang pergi adhang (menanak nasi). Ada pula yang wiridan dan zikiran di Masjid, atau ngobrol di kamar masing-masing tentang segala macam yang ada kaitannya dengan aktivitas sehari-hari. Melepaskan kesumpekan.

Sementara itu ada yang pula yang berkumpul di surau sembil bergurau. Di antara santri yang berkumpul di surau itu ada yang bernyanyi bersama dengan beberapa temannya. “…Pulau Bali pulau kesenian…”. Dia asyik saja bernyanyi sambil tersenyum.

Semuanya senang larut dalam kegembiraan, tertawa terbahak-bahak. Tanpa mereka sadari, Kyai Djalil sudah ada di tempat itu dari arah belakang. Si santri yang menyanyi dan semua kawannya tidak tahu bahwa ada Kyai di belakang mereka.

Sejurus kemudian mereka sadar bahwa sedari tadi Kyai ada diantara mereka. Semuanya kontan diam, takut dan gemetar. Keringat dingin perlahan turun di kening, padahal tubuh sedang terasa panas. Mereka merasa berbuat kesalahan pada Kyai. Tapi Kyai tidak marah saat itu, hanya keesokan harinya beliau menulis di papan “Uthlub ‘ulûman wa-jtahid katsîrân!! (Carilah ilmu sebanyak mungkin dan bersungguh-sungguhlah!)”.

5. Referensi

  1. Redaksi Majalah Ijtihad, Jejak Langkah 9 Masayikh Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
  2. Sidogiri.net https://sidogiri.net/category/masyayikhsidogiri/
 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya