Menelaah Pemikiran Manajemen Dakwah Gus Dur

 
Menelaah Pemikiran Manajemen Dakwah Gus Dur
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dikenal dengan Gus Dur lahir pada 7 September 1940, di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.

Gus Dur merupakan seorang intelektual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Ia merupakan putra dari KH. Wahid Hasyim, sedangkan kakeknya adalah KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyah Nahdatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia dan juga pendiri pesantren Tebu Ireng, Jombang.

Ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim adalah seorang ulama terkenal dan juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama Indonesia. Sedangkan Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah merupakan putri pendiri Pesantren Denanyar, Jombang, KH. Bisri Syansuri.

Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009, setelah mengalami masalah kesehatan yang serius. Banyak yang mengenangnya sebagai tokoh yang unik dan memiliki peran penting dalam memperjuangkan demokrasi dan toleransi di Indonesia.

Gus Dur adalah figur yang kompleks dengan pemikiran yang kreatif, meski sering kali tampak kontroversial. Meskipun memiliki kebijakan dan langkah-langkah yang dianggap kontroversial selama menjabat presiden, warisan Gus Dur tetap memberikan dampak yang signifikan dalam perjalanan sejarah politik dan agama Indonesia.

Pemikiran Manajemen Dakwah Gus Dur

Pemikiran Gus Dur dalam hubungan antara Islam dan negara terpadu dengan baik. Ia memandang bahwa Islam dapat menjadi penggerak serta sebagai sumber inspirasi bagi urusan kehidupan bernegara. Oleh karenanya, sekelompok orang yang menginginkan berdirinya Indonesia sebagai negara Islam akhirnya dapat menerima pendapat Gus Dur. Dalam pemikirannya, Gus Dur menyatakan bahwa nilai-nilai Islam dapat terwujudkan di Indonesia tanpa harus menggunakan sistem negara Islam.

Selanjutnya, pandangan Gus Dur yang cenderung pluralis berpendapat bahwa agama semestinya menduduki peran dalam demokrasi yang diwujudkan. Dan hal ini merupakan upaya untuk membangun demokrasi yang memberikan kesempatan kepada masyarakat agar mendapatkan hak yang sama di depan hukum.

Sedangkan gagasan mengenai pribumisasi Islam, pada dasarnya bukanlah berarti akan menghilangkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat Indonesia, melainkan bagaimana nilai- nila itu sejalan dengan kultur lokal dan bukan sebagai simbolik saja.

Dalam pemahaman yang sedemikian rupa, Gus Dur tampak memiliki manajemen dakwah yang sangat orisinil dan khas yang berdampak besar bagi keberhasilannya mendampingi masyarakat dalam beragama, berbangsa dan bernegara.

Konteks Pondok Pesantren

Pemikiran Gus Dur mengenai pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, tercermin dalam pandangannya terkait gagasan pluralisme, toleransi, dan pendidikan.

Sebagaimana diketahui bahwa Gus Dur dikenal sebagai pemimpin yang gencar mempromosikan pandangan pluralisme dan toleransi antarumat beragama.

Pemikiran Gus Dur tentang pondok pesantren mencerminkan pandangan inklusif terhadap Islam. Ia berpendapat bahwa pondok pesantren seharusnya bukan hanya tempat pembentukan ulama yang mengutamakan pemahaman agama, tetapi juga tempat yang membuka diri terhadap keragaman dan toleran dalam perbedaan.

Gus Dur meyakini bahwa pendidikan di pondok pesantren seharusnya tidak hanya terbatas pada aspek agama, tetapi juga mencakup ilmu pengetahuan umum. Ia mendukung pendekatan holistik yang mencakup pengembangan spiritualitas, moralitas, dan kecerdasaan intelektual.

Berikut beberapa tradisi pesantren yang perlu dikembangkan dalam perspektif Gus Dur:

1. Penghormatan terhadap budaya lokal, sebab pesantren dapat mempromosikan toleransi antarumat beragama dengan kearifan budaya

2. Pemahaman Islam moderat dan inklusif, karena memang tradisi pesantren mencerminkan pemikiran toleran, humanis, dan anti radikalisme

3. Keberlanjutan pemikiran Gus Dur tentang pesantren. Sebab sebagaimana diketahui bahwa Gus Dur memiliki peran yang penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dan membawa dampak positif dalam mempromosikan toleransi, pendidikan, dan pemikiran moderat di tengah masyarakat, yang semuanya itu tidak bisa dilepaskan dari pengelamannya sebagai santri di berbagai pesantren.

Konteks Politik

Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah Presiden ke-4 RI. Beliau dikenal oleh para pemimpin di seluruh dunia. Sepak terjang dan gagasan-gagasannya yang kotroversial menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang memperbincangkannya. Ibarat telaga yang tak pernah kering untuk ditimba.

Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai aktivis pro demokrasi. Perjuangan dan pembelaannya kepada kaum minoritas benar-benar mendapat apresiasi yang positif dari banyak kalangan, termasuk dunia internasional, meskipun banyak pihak yang tidak suka.

Lebih dari itu, ketokohan dan kepemimpinan Gus Dur dalam mempelopori dialog antar umat beragama, mendapat respons dan apresiasi yang luar biasa dari masyarakat internasional. Ini terbukti dengan diterimanya penghargaan Global tolerance Award oleh Gus Dur dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional tanggal 10 Desember 2003 di markas PBB New York.

Konteks politik yang dijalani oleh Gus Dur merupakan jalan dakwah yang sengaja memadukan inspirasi nilai-nilai agama dalam politik yang dilandaskan demokrasi.

Demokrasi sejati menurut Gus Dur adalah demokrasi yang tidak mengelak terhadap kenyataan bahwa masyarakat Indonesia adalah majemuk. Republik Indonesia bukanlah negara agama (teokrasi), melainkan negara yang memiliki kepentingan dan urusan nasionalnya sendiri.

Konteks Nahdlatul Ulama

Nahdatul Ulama (NU) menjadi sangat populer selama dipimpin oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sebagai ikon intelektual Indonesia yang sempat menjabat sebagai Ketua Umum NU, Gus Dur telah berhasil mengenalkan potensi besar yang dimiliki warga NU dalam mewarnai kehidupan masyarakat yang kritis dan berpandangan maju.

Di bawah arahan Gus Dur, Nahdatul Ulama berubah menjadi sebuah organisasi Islam yang aktif dan dinamis. NU dikenalkan oleh Gus Dur ke dunia Internasional. Ratusan artikel dan lusinan buku telah ditulis oleh sarjana Barat tentang NU selama masa kepemimpinannya.

Keberhasilan Gus Dur merupakan pencapaian yang sangat berharga dalam memperkuat Nahdatul Ulama sebagai organisasi sosial yang memiliki kemampuan untuk menjadi alat dakwah bagi masyarakat.

Pentingnya pemikiran Gus Dur dapat dilihat dari pencapaian NU yang mampu mengubah pemikiran anak-anak muda NU menjadi progressif, sehingga pada akhirnya NU dapat terbuka terhadap berbagai macam kemungkinan peradaban yang memerlukan perubahan. Pada saat yang sama NU dapat memberikan kontribusi yang meyakinkan untuk pembangunan dalam bidang sosial dan intelektual. Selain itu, NU juga dapat mengakomodir dari berbagai kelompok minoritas dan terpinggirkan di Indonesia.

Refleksi Pemikiran Manajemen Dakwah Gus Dur

Pemikiran Gusdur dalam manajemen dakwah dalam berbagai konteks mencerminkan pendekatan yang inklusif, moderat, dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. Ia berupaya menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi untuk menciptakan masyarakat yang adil, beradab, dan damai.

Gus Dur berupaya membangun jembatan antara Islam dan masyarakat Indonesia yang beragam, dalam menjaga harmoni dan stabilitas di tingkat nasional, bahkan internasional.

Pemikiran manajemen dakwah Gus Dur yang lahir dari perkumpulan antara tradisi keislaman Nusantara dengan pemikiran Indonesia modern, menghasilkan gagasan reformasi dalam hal pemikiran keagamaan dan kebudayaan.

Gus Dur berhasil merumuskan gagasan-gagasan terkait perlunya pribumisasi Islam, di mana Islam yang berasal dari Timur Tengah itu hendaknya dapat tumbuh dalam penyesuaiannya dengan budaya lokal Nusantara. Islam di sini diartikan sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan, yang kemudian ajaran tersebut diakomodasikan ke dalam manusia yang merupakan makhluk budaya dan tentu memiliki identitasnya masing-masing.

Pribumisasi Islam tersebut mengkritisi praktik pemurnian Islam yang sering diasosikan dengan penyaman praktik keagamaan dengan masyarakat muslim di Arab atau Timur Tengah. Pribumisasi Islam adalah metode dialog antara Islam dan budaya-budaya lokal, sehingga keduanya bisa berjalan bersamaan tanpa saling menihilkan.

Pemikiran politik dan kebangsaan Gus Dur menggagas perlunya hubungan yang harmonis antara agama (Islam) dan negara Pancasila. Artinya, pancasila ialah landasan konstitusional dalam bernegara, sementara Islam adalah akidah kehidupan masyarakat. Ini artinya Pancasila menjadi penjamin bagi kehidupan keislaman itu sendiri, sebab Pancasila tidak akan mampu menggantikan akidah, sedangkan landasan konstitusi terkait dengan kebutuhan hidup kolektif bernegara adalah Pancasila itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, bahwa Indonesia memiliki banyak keragaman. Islam bukanlah agama satu-satunya yang ada, sehingga pelayanan yang adil kepada seluruh masyarakat harus diberikan tanpa memandang latar belakang agamanya.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa manajemen dakwah pada masa kepemimpinan Gus Dur bisa dibilang cukup berhasil. Dalam memimpin NU, Gus Dur telah berhasil menggunakan gaya kepemimpinan kharismatik sebagai kekuatan utama demi membangun rasa kepercayaan (trust) pada seluruh pengurus PBNU baik di pusat maupun di tingkat ranting dan cabang.

Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa penjelasan Gus Dur tentang komitmen kembali ke Khittah 1926 merupakan kunci kesuksesan manajemen dakwah NU. Penjelasan tersebut mampu diterjemahkan secara praksis oleh seluruh pengurus NU. Terpenting lagi dalam proses pencapaian tujuan dari program- program yang telah dicanangkan sejak awal ialah, bahwa Gus Dur menempatkan sosok-sosok yang ahli di berbagai bidang seperti pendidikan, pemberdayaan sumber daya manusia, dakwah Islam, sosial budaya dan ekonomi. []


Penulis: Apdil Abdilah dan Dr. Hamidullah Mahmud, Lc., M.A (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

Editor: Hakim