Nusantara sebagai Induk Peradaban Dunia?

 
Nusantara sebagai Induk Peradaban Dunia?
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Adalah Stephen Oppenheimer pakar genetik dan struktur DNA Oxford University Inggris yang memiliki keyakinan bahwa induk peradaban dunia di muka bumi dimulai dari tanah Nusantara yang kini bernama Indonesia. Keyakinannya itu kemudian dituangkan dalam karyanya yang berjudul “Eden in the East” yang terbit pada tahun 1999.

Ia mengatakan bahwa paparan Sunda adalah benua cikal bakal kepulauan Nusantara merupakan asal persebaran manusia. Teori ini kemudian dikenal dengan teori Sundaland. Teori Sundaland seolah memutar balikkan sejarah yang sudah ada lewat bukunya yang merupakan catatan perjalanan penelitian genetis populasi di dunia. Ia mengungkapkan bahwa peradaban yang ada sesungguhnya berasal dari Timur khususnya Asia Tenggara yang berpusat di kepulauan Nusantara sekarang.

Menurut Stephen Oppenheimer, keterkaitan mtDNA antar penduduk Asia Tenggara, pasifik dengan Indonesia menunjukkan hubungan kekerabatan sejak 40 ribu tahun yang lalu. Ia beranggapan orang asal kepulauan Nusantaralah yang menjadi leluhur orang Asia. Kondisi geografis Sundaland mendukung kebutuhan pertanian dan peternakan. Karena itu, daerah Nusantara yang subur cocok menjadi pusat komunitas.

Sejarah selama ini mencatat bahwa induk peradaban manusia modern berasal dari Mesir, Mediterania, dan Mesopotamia. Akan tetapi menurut Stephen Oppenheimer induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut dengan Sundaland atau Indonesia. Ia juga mengatakan Indonesia dan Asia Tenggara adalah daratan yang memiliki keragaman (genetis dan vegetasi) yang jauh lebih besar daripada China dan Asia pada umumnya. Ini dibuktikan dengan agri-kultur Indonesia lebih dulu dari peradaban agri-kultur lainnya di dunia.

Stephen Oppenheimer adalah professor lulusan Oxford University yang melakukan riset penyakit malaria di kawasan pasifik. Ketertarikannya terhadap mutasi gen pada pasien yang kebal terhadap malaria membawanya pada riset tentang asal-usul dan penyebaran umat manusia. Dalam bukunya, Stephen Oppenheimer tidak hanya menampilkan kajiannya sendiri. Akan tetapi dia juga memperkayanya dengan studi literatur hasil penelitian ilmuwan yang lain, baik secara genetis, filologis, arkeologis, ataupun mitologis yang berada di berbagai kawasan.

Stephen Oppenheimer juga melakukan penelitian survey ke beberapa lokasi untuk meneliti budaya dan bahasa. Berdasarkan bukti geologis berbagai lokasi di seluruh dunia, Stephen Oppenheimer berpendapat bahwa bumi sudah mengalami tiga banjir besar akibat pelelehan es atau pasca zaman glasial di kutub utara yaitu sekitar 14.000 tahun, 11.000 tahun, da 7.500 tahun yang lalu. Pada masa zaman es di mana permukaan air laut di bawah 100 meter dari sekarang, maka daratan di asia tenggara masih menyatu dengan benua paparan sunda yang meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, dan seluruh Asia.

Stephen Oppenheimer tidak sendiri dalam hal ini, arkeolog Amerika yang bernama Wilhelm G. Solheim sebelumnya memiliki tesis tentang jaringan perdagangan maritim pulau dan pesisir di seluruh cincin pasifik dan kepulauan Asia Tenggara, hingga ke Madagazkar pada 7.000 ribu tahun lalu. Wilhelm G. Solheim memberikan julukan budaya Nusantao pada jalur perdagangan ini. Dari segi budaya, pendapat Oppenheimer mendasarkan pada tradisi tuluk atau sumpit bambu untuk berburu dengan ditiup yang memiliki akar sejarah dan sebaran dari Borneo atau Kalimantan, di mana budaya ini tidak ditemukan di Taiwan. Selain itu yang menarik adalah budaya tembikar lapita yang berasal dari kawasan berbahasa Melanesia di Papua Nugini dan kepulauan Bismarck.

Oppenheimer juga mengungkapkan bahwa berbagai suku di Indonesia Timur adalah pemegang kunci siklus-siklus terhadap agama-agama Barat yang tertua. Oppenheimer menduga, suku-suku di pedalaman Indonesia khususnya di Indonesia Timur adalah keturunan dari mereka yang selamat pada saat banjir zaman es, tanpa harus bermigrasi ke luar kepulauan Nusantara. Dalam sebagian dongeng mereka, sang kakek moyang cukup naik ke puncak gunung yang tinggi. Kisah banjir besar terekam dalam folklore masyarakat Alor, Seram, Dayak, Toraja dan banyak lagi.

Oppenheimer juga percaya bahwa sesungguhnya bangsa Sumeria yang diyakini sejarawan dunia sebagai budaya tertua di dunia ternyata memiliki nenek moyang Asia Tenggara khususnya Indonesia yang bermigrasi akibat banjir di akhir zaman es. Penyebaran populasi manusia dari tanah Sundaland menyebabkan berkembangnya berbagai budaya neolitikum di China, India, Mesopotamia, Mesir, dan Mediterania Timur. Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukannya.

Sementara penanaman beras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berasal dari China atau India, tapi berasal dari tanah semenanjung Malaya pada 9000 tahun yang lalu. Bangsa Austronesia merupakan bangsa nenek moyang bangsa Indonesia dikenal memiliki tradisi megalitik. Indonesia menjadi salah satu negara dengan peninggalan megalitikum terbanyak dan terbesar di dunia. Tradisi megalitik adalah kebiasaan masyarakat kuno untuk membangun karya monumental yang terbuat dari batu sebagai sebagian dari sistem kepercayaan. Peninggalan tradisi megalitik di Indonesia dapat dijumpai dari berbagai daerah. Peninggalan tersebut memiliki bentuk dan ukuran yang sangat beraneka ragam. Misalnya seperti tradisi megalitik di Bali yang terkenal dengan sarkofagusnya; Sulawesi Utara terkenal dengan Waruga; Sumba terkenal dengan Dolmen; dan Jawa Barat serta Banten terkenal Pundak Berundaknya.

Punden Berundak yang berbentuk anak tangga berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang dan dianggap suci. Situs gunung Padang merupakan punden Berundak terbesar di Asia Tenggara bahkan dunia. Dalam perkembangannya, bentuk Punden Berundak berakulturasi dengan budaya Hindu-Budha yang datang kemudian. Salah satunya dapat dilihat dari beberapa Candi peninggalan kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Misalnya Candhi Borobudur yang berundak-undak dan mengerucut ke atas. Jelaslah bahwa nenek moyang Indonesia memiliki lokal jenius sehingga dapat mempadu-padankan berbagai budaya tanpa kehilangan jati dirinya.

Kehadiran buku Eden in the East membalikkan sejumlah fakta-fakta yang selama ini diketahui dan dipercaya masyarakat dunia tentang sejarah peradaban manusia. Namun kesimpulan ini masih sebatas teori dan mendapat tantangan dari teori ‘Out of Taiwan”. Teori ‘Out of Taiwan menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Taiwan atau kepulauan famosa.

Lembaga biologi mulekuler Eijkman Institut melakukan penelitian tentang mitokondria dan kromoson y. Hasilnya leluhur bangsa Indonesia berasal dari penduduk asli Taiwan. Semakin ke wilayah timur Indonesia jejak mtDNA Taiwan semakin menipis karena percampuran dengan orang Melanesia. Eijkman menganggap penemuan arkeologi atas ‘Out of Sundaland’ belum ada. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog asal UGM menyatakan bahwa dalam konteks linguistik dan sebagainya terjadi banyak kelemahan dari teorinya Stephen Oppenheimer. Sehingga menurut Daud, Oppenheimer tidak lagi mengatakan karyanya sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Memang Oppenheimer menganggap teori ‘Out of Sundaland’, tapi menurut Daud yang disebut dengan Sundaland waktu itu bukan sunda, tapi berbeda.

Oleh sebab itu, pencarian asal-usul manusia modern masih terus bergelut dengan data dan temuan baru. Hal penting yang perlu diketahui adalah, bangsa Nusantara kuno (Austronesia) pernah menyeberangi lautan menuju Papua Nugini, kepulauan Solomon, dan Bismarck. Mereka kemudian bercampur dengan Melanesia. Hasil percampuran itulah, kemudian menimbulkan budaya baru, yang dikenal sebagai kebudayaan Lapita. []
 


Penulis: Kholaf Al Muntadar
Editor: Mas Lis