Wajah Dayah dalam Gelombang Samudera Era 4.0

 
Wajah Dayah dalam Gelombang Samudera Era 4.0

 

LADUNI. ID, OPINI-Waktu terus berotasi dan mengitari jalurnya hanya saja aktor yang terlihat dalam waktu dari masa ke masa tentunya berbeda bahkan gejolak dan fenomena yang dihadapun demikian.

Biarpun dunia berubah namun kita sangat berharap lembaga pendidikan tertua di dunia, dayah mampu mewarnai dirinya dalam bentuk yang istiqamah mendidik dan membentengi generasi penerus bangsa dari berbagai rayuan masa dan efek kemajuan teknologi.

Dewasa ini di istilahkan denga era 4.0 dayah juga melakukan reformasi dalam kurikulumnya, perubahan tidak mesti diartikan dengan negatif namun perubahan dalam wajah reformasi tentunya memberikan sebuah harapan yang baru dengan inovasi produktif di dunia pendidikan berbasis kedayahan. 

Kalau kita mau  jujur dan ini sebuah realita dimana saban hari peminat mereka yang ingin menuntut ilmu di dayah dalam kalangan masyarakat terus meningkat. Setelah sempat mengalami banyak peristiwa, bahkan sulit mendapatkan pengakuan sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia.

Dayah kini dihadapkan pada masalah baru. Perkembangan teknologi sangat pesat, yang mengubah seluruh aspek kehidupan termasuk cara pandang masyarakat terhadap dayah.


Secara tidak langsung dayah dihadapkan pada dua pilihan, dia harus menampakkan “wajah baru” sebagai respons atas kenyataan yang terjadi, atau tetap dengan keadaannya yang mempertahankan sisi tradisional, khas dan unik. Bukan sesuatu yang tidak mungkin dayah harus berganti wajah karena itu adalah keharusan.

Kita mengetahui bahwa dayah adalah lembaga pendidikan yang bertujuan mendidik dan menggembleng para santri. Salah satunya dengan menjadikannya juru dakwah agama bagi kalangan masyarakat luas. Tujuan tersebut tentu harus bersinergi dengan cara yang mestinya dilakukan dayah dalam mempersiapkan santri kelak setelah kembali ke masyarakat. Sedangkan pada sisi yang lain, kekhasan dan keunikan dayah menjadi pertaruhan. Jika kemajuan teknologi tidak direspons dengan agresif, maka dayah akan tertinggal jauh dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Inilah yang kemudian menjadi tantangan dayah abad ini.

Kemampuan dayah untuk menjawab tantangan ini dan telah dikemukakan oleh salah seorang tokoh pendidikan dan  beliau berpendapat bahwa tantangan arus modernisasi yang berlangsung menjadi tolok ukur seberapa jauh dayah dapat survive dengan zamannya. 

Apabila dayah mampu menjawab tantangan itu, akan memperoleh kualifikasi sebagai lembaga modern. Lembaga yang masih berpegang teguh dengan tujuan yang utuh tanpa ketinggalan zaman dan kolot.

Dayah adalah sebagai sebuah ‘sub kultur’ yang khas, yang kini berada di tengah-tengah kondisi itu (modernisasi). Pilihan bertahan dalam kondisi tradisional akan menyebabkan ia tertinggal jauh dari peradaban.

Tentunya hal ini mau tidak mau dayah harus merespons kemajuan tersebut dengan bijak. Satu di antaranya adalah kemajuan TIK haruslah dapat menjadi media untuk memaksimalkan peserta didik (baca: santri) dalam mengembangkan ilmu yang ia miliki.

Dengan demikian, santri sebagai produk dayah haruslah mulai belajar hal-hal baru utamanya teknologi. Karena dapat kita definisikan bahwa, santri hari ini bukan hanya santri yang pandai membaca kitab kuning, namun gagap teknologi. Bukan pula mereka yang hanya paham ilmu ulama salaf tanpa tahu ilmu ulama kholaf. 

Begitulah kurang lebihnya. Santri yang baik, harus sesuai tuntutan sosial. Mereka haruslah paham terhadap kenyataan, mengerti situasi kekinian, dapat menyelesaikan problem sosial dengan sikap arif dan dan berlandaskan hukum yang benar, tanpa terlepas dari tradisi yang dipegang oleh ulama terdahulu.

Di sinilah peran pondok dayah untuk mencetak santri yang diharapkan itu. Sudah waktunya pondok dayah dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk mempermudah santri menuntut ilmu, memperluas ruang dawah dayah dan mempertimbangkan efektivitas belajar. Karena dengan teknologi, ilmu pengetahuan dapat diserap atau disajikan tanpa batas. Kemajuan ini adalah angin segar bagi dunia pendidikan dayah.

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi,  Penggiat Literasi asal Dayah MUDI Samalanga