Kreativitas Dakwah DIgital Kaum Salafi

 
Kreativitas Dakwah DIgital Kaum Salafi

LADUNI.ID - Istilah "salafi" ini berkaitan dengan ajaran orang-orang terdahulu. Namun penyebutannya bisa punya makna berbeda. Penyebutan pesantren salafiyah di Indonesia biasanya dimaksudkan sebagai pesantren tradisional atau pesantren model lama, atau kebalikan dari pesantren modern. Nah salafi yang dimaksud dalam ulasan ini dikaitkan dengan kelompok wahabi atau biasa disebut salafi-wahabi yang justru lebih puritan, berbeda dengan istilah salaf yang dilekatkan dengan pesantren tadi.

Karena mempunyai kesulitan berinteraksi dengan masyarakat umum, kalangan salafi-wahabi lebih dulu aktif menggunakan radio dan televisi sebagai sarana dakwah. Konten dakwah puritan yang tidak terlalu suka dengan tradisi keagamaan masyarakat dan cenderung mengangkat tema "bid'ah" sangat tidak populer, sehingga mereka memilih jalur dakwah dengan fasilitas "infratruktur langit". Ketika media komunikasi bergeser dari media dakwah lama (televisi dan radio) ke media sosial berbasis internet mereka juga lebih siap.

Sama seperti ketika media massa bergeser dari cetak ke online, para pelaku media mainstream lebih siap bermigrasi ke media online dari pada para pelaku media online baru, kaum salafi juga lebih siap mengelola "kapital dakwah" mereka karena mereka lebih aktif sebelumnya ketika masih menggunakan media analog. Sekarang, semua platform media sosial pun dijajal dengan berbagai karakteristik berikut kelebihannya.

Dari sisi pengolahan "kapital budaya" dalam konten-konten kreatif juga tidak kalah menariknya. Kalangan salafi memang mempunyai keterbatasan berekspresi dalam berdakwah, misalnya tidak boleh menunjukkan wajah perempuan, tidak boleh bermain musik, dan tidak suka dengan cada gurau dan humor-humor dalam berdakwah, tapi keterbatan itu bisa diatasi. Bahkan ketika keterbatan itu berkaitan dengan doktrin yang harus dipatuhi, maka doktrin itu sendiri dalam kajiqn semiotika sosial adalah "kapital budaya" yang bisa dimainkan.

Misal, ketika tak boleh menampilkan wajah wanita, sementara mereka butuh menyampaikan tema dakwah "Suami Harusnya Membantu Pekerjaan Istri di Dapur" mereka mengganti wajah perempuan dengan ilustrasi ditambah penutup muka sebagai simbol budaya. Tak kalah menarik, ilustrasi ditambah dengan motion-motion menarik, seperti tanda love sebagai bentuk cinta istri atau suami yang membantunya di dapur. Teknik pengolahan gambar dan foto, seperti cara berinteraksi, jarak, fokus dll dimainkan juga.

Kemasan dakwah audiovisual baik secara live lewat facebook atau instagram atau konten olahan di youtube juga cukup apik. Ketika sang ustadz membimbing seorang mualaf wanita yang membaca syahadat, teknik dramaturgis dimainkan. Kamera memang tidak menyorot wajah wanita karena itu dilarang, tapi kamera diarahkan ke satu dua orang yang terlihat menangis haru, dan ini justru memunculkan emosi yang tak terbendung.

Salah satu prasyarat dakwah digital adalah rutinitas, karena masyarakat yang akan belajar agama akan mencatat seberapa aering sang ustadz membimbingnya dan kapan saja mereka bisa berinteraksi online. Yang luar biasa, seorang ustadz salafi bisa empat kalai live dalam sehari: pagi ketika orang berangkat kerja, siang di jam istirahat, sore jam oulang kerja, dan malam ketika orang hendak tidur.

Materi yang disampaikan kepada jamaah masjid/musolla yang berbeda mungkin bisa sama. Tapi di media sosial dengan follower atau audien yang sama, maka tema yang diangkat harus berbeda. Bagaimana caranya dengan intensitas sesering itu? Mudah saja. Para ustadz salafi tinggal membuka kitab-kitab ringa g baik dikaji bab perbab dari awal sampai akhir atau tematik saja dipilih sesuai isu yang lagi aktual.

Sejak dulu dakwah dengan fasilitas infrastruktur langit ini memang lebih cocok untuk masyarakat muslim kota. Tapi perkembangan peralatan teknologi murah dan kemudahan jaringan menyebabkan dakwah salafi meluas sampai ke berbagai penjuru, meskipun tetap saja kaum muslim kota atau karyawan kantoran yang mengakses internet secara baik dan gratis pasti lebih intens memakai media baru itu.

Akhirul kalam, dakwah digital tidak selalu berkaitan dengan supporting kapital ekonomi dari pihak luar, tetapi dari kemampuan mengelola "kapital" yang ada dalam bentuk apapun. Dakwah adalah urusan akhirat, tapi perangkatnya, tekniknya, peralatannya, adalah urusan duniawi.

Oleh: A Khoirul Anam