Tiga Pendapat Cara Menulis Al-Qur'an

 
Tiga Pendapat Cara Menulis Al-Qur'an
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta - Semangat berdakwah dan mengajak dalam kebaikan tentu merupakan sesuatu yang baik. Hal ini sejalan dengan pesan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam“ballighû ‘anni walau ayah” (sampaikan dariku meski hanya satu ayat). 

Kendati demikian, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga menekankan bagi para pendakwah harus memiliki kapabilitas dan integritas dalam bidang agama. Sebagaimana contoh ketika Nabi memerintahkan Sahabat Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai orang yang mengenalkan ajaran serta visi-misi kenabian. Bahkan Nabi Muhammad sempat menguji dengan beberapa pertanyaan yang cukup sulit pada masa itu sebelum benar-benar ditugaskan.

Begitulah cara Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallammemilih siapa yang layak untuk dijadikan pengajar agama. Berbeda dengan fenomena akhir-akhir ini. Siapa pun seakan mudah menjadi ‘pendakwah’ sehingga kurang mempertimbangkan integritas keilmuannya. Sebut saja kesalahan yang dilakukan penceramah televisi saat menulis ayat berbeda dengan redaksi ayat yang tertulis dalam Al-Qur’an baru-baru ini. Lebih-lebih acuan standar kebenaran yang disepakati adalah Al-Qur’an dengan Rasm Utsmani, lantas bagaimanakah hukumnya? Sebelum masuk pada langkah selanjutnya, tentu perlu kita ketahui bahwa kasus ini termasuk permasalahan ikhtilafiyah (masih diperselisihkan) di antara para ulama.

Mayoritas umat muslim pernah membaca Al-Qur’an, mulai dari juz 1 hingga juz 30. Tapi apakah sudah pernah tahu tentang penulisan mushaf Al-Qur’an? Kenapa ditulis seperti itu, dimulai dari surat Al-fatihah dan diakhiri surat An-nas. Penulisan mushaf Al-Qur’an yang sekarang beredar, baik di Indonesia maupun di seluruh penjuru dunia menggunakan Rasm Utsmani (tulisan zaman sahabat Utsman bin Affan). Meskipun penulisannya tidak memiliki kaidah yang baku, sesuai dengan penulisan bahasa Arab secara konvensional.

Berkaitan dengan penulisan tersebut, para ulama berbeda pendapat, apakah penulisannya sesuai petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam (tauqifi) atau hasil itijhad para sahabat. Dilansir dari Pola Penulisan Al-Qur’an, dari Nabi atau Ijtihad Sahabat?, dalam kitab Manahilul Irfan karya Syaikh Abdul Adhim Al-Zurqani dijelaskan bahwa perbedaan ini terbagi dalam tiga pendapat:  

Pertama, pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan pola penulisan Al-Qur’an dalam mushaf adalah bersifat tauqifi, yaitu sesuai petunjuk dan perintah Nabi. Hal ini didasarkan pada dua hal,

(1)  penulisan Al-Qur’an dilakukan oleh kuttab al-wahyi (para penulis Al-Qur’an) di masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Apa yang ditulis oleh mereka tentu telah mendapatkan persetujuan dari Nabi.
(2) tulisan ini tetap ada dan terus berlanjut pada masa Abu Bakar, dan pada masa Utsman bin Affan hingga sampai masa para tabi’in (generasi yang menjumpai sahabat) dan tabi’it tabi’in (generasi yang menjumpai tabi’in).

Dengan demikian, penulisan ini merupakan kesepakatan sahabat. Tidak mungkin para sahabat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan penetapan Nabi, baik menambah huruf maupun menguranginya tanpa petunjuk Nabi.  

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa haram hukumnya menyalahi penulisan Rasm Utsmani, baik dalam penulisan huruf, ya’, alif, dan wawu. 

Kedua, sebagian ulama, termasuk Imam Al-Baqillani dan Ibnu Khaldun, berpendapat bahwa penulisan Al-Qur’an dalam mushaf itu merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi. Tidak bersifat tauqifi. Hal ini didasarkan pada dua fakta:
(1) tidak ditemukan nash (dalil) baik berupa ayat Al-Qur’an maupun sunnah, yang menunjukkan keharusan menulis Al-Qur’an sesuai Rasm Utsmani;
(2) seandainya pola penulisan mushaf itu bersifat tauqifi, sesuai petunjuk Nabi, kenapa menggunakan istilah “Rasm Ustmani” bukan “Rasm Nabawi”?

Imam Al-Baqillani menyatakan bahwa sunnah menuliskan Al-Qur’an dengan pola yang mudah, sebab Nabi Muhammad memerintahkan para sahabat menulis Al-Qur’an namun beliau tidak menunjukkan pola tertentu dan tidak melarang menulis pola tertentu juga.

Oleh sebab itu, bentuk dan model penulisan itu tidak lain hanyalah suatu tanda atau simbol. Segala bentuk serta model penulisan Al-Qur’an yang menunjukkan arah bacaan yang benar, dapat dibenarkan. Sedangkan Rasm Utsmani yang menyalahi Rasm Imla’i (menurut kaidah penulisan Arab konvensional) yang dikenal masyarakat, menyulitkan banyak orang dan dapat mengakibatkan kesulitan dan keserupaan bagi pembaca.  

Ketiga, pendapat ini sepertinya ingin mengakomodasi dua pendapat di atas dengan melihat kebutuhan dan kondisi sosialnya. Di satu sisi memperbolehkan bahkan mengharuskan menulis Al-Qur’an dengan menggunakan pola imla’i, dalam rangka memudahkan masyarakat umum. Artinya, bagi mereka yang tidak mengerti, tidak boleh menulis Al-Qur’an dengan Rasm Utsmani agar tidak jatuh pada keserupaan dan perubahan.  

Di sisi yang lain dianjurkan menulis dengan pola Rasm Utsmani untuk menjaga dan melestarikan sebagai warisan yang berharga bagi generasi selanjutnya. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Nawawi dan Imam Al-Zarkasyi.  

Sehubungan dengan ini, Imam Al-Zurqani berkata:

   وهذا الرأي يقوم على رعاية الاحتياط للقرآن من ناحيتين: ناحية كتابته في كل عصر بالرسم المعروف فيه إبعادا للناس عن اللبس والخلط في القرآن وناحية إبقاء رسمه الأول المأثور يقرؤه العارفون ومن لا يخشى عليهم الالتباس. ولا شك أن الاحتياط مطلب ديني جليل خصوصا في جانب حماية التنزيل  

Artinya: pendapat ini dimaksudkan untuk menjaga eksistensi Al-Qur’an dari dua aspek: pertama, yaitu penulisan Al-Qur’an dengan penulisan yang dikenal (masyarakat umum), agar terhindar dari keserupaan dan kekacauan dan kesalahan dalam membacanya. Kedua, upaya pelestarian rasm-nya yang orisinil, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mengerti (arif), yang tidak dikhawatirkan terjadi kekacauan dalam membacanya. Tidak diragukan lagi bahwa berhati-hati merupakan tuntutan agama yang agung, utamanya dalam hal menjaga Al-Qur’an”.  

Oleh karena itu, dari tiga pendapat di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:    

1. Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Muslim di seluruh dunia. Penulisan Al-Qur’an dengan pola Rasm Utsmani, jika tidak dikatakan sebagai petunjuk Nabi, ia merupakan suatu kesepakatan para sahabat. Kesepakatan sahabat memiliki kekuatan hukum yang mengikat, serta wajib diikuti oleh kaum Muslim. Termasuk pola penulisan Al-Qur’an.  

2. Penulisan Al-Qur’an dengan pola Rasm Utsmani merupakan sunnah yang harus dikuti. Hal ini dinyatakan dalam kitab Al-Minhaj fi fiqh al-Syafi’i, “Kalimat (الربوا) ditulis dengan wawu dan alif sebagaimana dalam Rasm Utsmani. Dalam Al-Qur’an tidak ditulis dengan ya’ dan alif, karena Rasm Utsmani adalah sunnah yang harus diikuti.”  

3. Pola penulisan Al-Qur’an sesuai dengan Rasm Utsmani adalah sebuah keniscayaan, utamanya penyatuan pola penulisan Al-Qur’an bagi seluruh ummat Muslim dengan Rasm Utsmani, agar seragam sesuai dengan penulisan awal dan agar terhindar dari fitnah. Sehingga tidak ada ungkapan-ungkapan yang muncul, “Mushaf kami lebih bagus dari mushaf kalian, rasm kami lebih baik daripada rasm kalian!”   

4. Boleh menulis Al-Qur’an tanpa menggunakan Rasm Utsmani apabila digunakan untuk kepentingan pembelajaran bagi orang masyarakat awam, umumnya di kalangan sekolah-sekolah yang masih butuh pengetahuan tentang bahasa Arab.  

5. Pola penulisan Al-Qur’an dengan Rasm Utsmani memiliki banyak keistimewaan, salah satunya adalah memiliki petunjuk pada makna yang tersembunyi, seperti dalam surat Al-Dzariat ayat 47, pada lafadz (بأييد)

   والسماء بنيناها بأييد

Dalam lafadz tersebut ditambah huruf ya’ setelah huruf ya’, karena mempunyai petunjuk atas keagungan kekuatan Allah SWT, yang dapat menciptakan langit, kekuatan ini tidak sama dengan kekuatan makhluknya. Dalam kaidah dikatakan: ziyadatul mabna tadullu ‘ala ziyadatil ma‘na (penambahan konsonan huruf menunjukkan atas penambahan makna).

Maka dari itu perbedaan suatu pendapat merupakan hal yang sudah biasa dalam keilmuan Islam, terlebih karena memang para sahabat dan ulama memiliki kapasitas yang kompeten dalam penelitian suatu ilmu.

Dan yang terpenting yang harus kita lakukan untuk zaman sekarang adalah meneladani para sahabat dan ulama, tidak perlu gusar dengan perbedaan, apalagi sampai menyalahkan dan menganggap sesat. Cukuplah fokus mencari ilmu dan mengembangkannya, sehingga ilmu keislaman semakin maju.

 

Sumber : Dari Berbagai Sumber Ulama NU
___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada  Selasa, 9 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Sandipo