Perjuangan Cut Meutia bersama Teuku Chik Tunong

 
Perjuangan Cut Meutia bersama Teuku Chik Tunong

 

LADUNI. ID, SEJARAH -Awal pergerakannya di mulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan dari daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara sekarang) di bawah komando perang TeukuChik Muhammad atau Teuku Chik Tunong (suaminya sendiri), Cut Meutia berjuang bersama-sama, bahu-membahu dengan suami dan para pejuang lainnya.

Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga bertindak sebagai pengatur strategi pertempuran sehingga taktiknya tersebut dapat memporak porandakan pertahanan pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan merampas senjata serta amunisi mereka yang akan digunakan untuk memperkuat persenjataan pejuang muslimin.

Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia di dalam pergerakannya selalu menggunakan taktik perang gerilya dan spionase yaitu suatu taktik serang dan mundur serta menggunakan prajurit memata-matai gerak gerik pasukan lawan terutama rencana rencana patroli dan pencegatan.

Taktik seperti ini cukup membuat pasukan Belanda kewalahan dan menjengkelkan mereka.

Taktik Spionase dilakukan oleh para spion dari pasukan pejuang yang menyamar sebagai penduduk (ureung gampong) disebarluaskan di pelosok-pelosok negeri, dengan keluguannya para spion selalu mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga daerah serta lokasi patroli yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera diketahui. 

Dengan cara seperti ini pasukan muslimin dapat mengatur strategi dan rencana pencegatan untuk melumpuhkan pasukan musuh tersebut karena posisi strategis pada 
jalur yang akan dilalui sudah dapat dikuasai.

Pencegatan dan penyerangan oleh pasukan muslimin dilakukan secara tiba-tiba sehingga pasukan Belanda tidak dapat berbuat apa￾apa dan dengan mudah pasukan muslimin menghacurkan dan merampas semua senjata 
dan perbekalan.

Dalam bulan Juni 1902, berdasarkan informasi dari spionnya bahwa pasukan Belanda akan melakukan operasi dan patroli dengan kekuatan 30 orang personil di bawah pimpinan sersan Van Steijn Parve.

Di dalam perlawanan tersebut pasukan Belanda mengalami kekalahan yang cukup besar yaitu dengan matinya pimpinan pasukan dan 8 orang serdadu serta banyak anggota pasukan yang cidera berat dan ringan, sedangkan di pihak pejuang muslimin syahid 10 orang (H.C. Zentgraaff, 1983: 152).

Kemudian pada bulan Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie. 

Strategi yang dipakai oleh pasukan muslimin untuk mencegat pasukan Belanda adalah dengan menempatkan pasukannya di daerah yang beralang-alang tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang mengintai dan sekaligus melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslimin dapat merebut 5 pucuk senapan (Muhammad Said, 1985: 265).

Pergerakan dan penyerbuan pasukan Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia semakin ditingkatkan.Salah satu taktik lain yang dijalankan adalah taktik tipu daya dan taktik 
jebakan.

Pada bulan Nopember 1902 diisukan oleh salah seorang pejuang muslimin (dalam hal ini Pang Gadeng) bahwa pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia beserta pasukan muslimin lainnya akan mengadakan kenduri yang bertempat di Gampong Matang Rayeuk di seberang sungai Sampoiniet. 

Pemilihan lokasi-lokasi jebakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa satu-satunya jalan yang akan dilalui menuju tempat tersebut adalah dengan memakai perahu jebakan ini akan mudah dilaksankan. 

Isu yang disebarluaskan tersebut ternyata mendapat respon serius dari pimpinan 
pasukan Belanda di desa Matang Rayeuk. Di bawah pimpinan Letnan RDP De Cok bersama dengan 45 orang personilnya, mereka melakukan perjalanan jalan menuju tempat yang diinformasikan tersebut. 

Setibanya pasukan di tepi sungai telah ada dua orang pendayung perahu (yaitu pejuang muslimin yang menyamar sebagai pengail) tanpa ada kecurigaan sedikitpun pasukan Belanda memerintahkan kepada pendayung tersebut untuk segera menyeberangkan Pasukan Belanda.

Sesuai dengan rencana yang telah disusun dan diatur oleh pejuang muslimin bahwa di tengah sungai pendayung tersebut melakukan gerakan untuk membalikan perahu.

Dalam suasana malam gelap gulita kacaulah pasukan Belanda dan dengan tibatiba muncul pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia melakukan penyerangan dengan tembakan-tembakan gencar dan dengan pedang serta rencong terhunus melakukan gerakan perkelahian jarak dekat.

Sehingga pasukan Belanda kacau dan punah di saat pertempuran ini pasukan De Cok bersama dengan 28 prajuritnya mati sedangkan pasukan muslimin dalam penyerangan ini dapatmemperoleh42pucuksenapan(Muhammad Said, 1983: 265; H.C. Zentgraaff, 1983: 153).

Selain dari itu pasukan Chik Tunong-Cut Meutia sering melakukan gerakan sabotase-sabotase dijalan yang dilalui kereta api, penghancuran hubungan telepon sehingga jalur perhubungan untuk mengangkut logistik pasukan Belanda antara bivak bivak seperti di Lhoksukon dengan pertahanan di Kota Lhokseumawe menjadi sering terputus dan terganggu. 

Hal ini dilakukan pejuang mnslimin sebagai balasan dendam atas peristiwa menyedihkan di Blang Paya Itiek (daerah Samakuruk di selatan gedung) yaitu suatu peristiwa yang memilukan dan tragis sebagai akibat adanya pengkhianatan oleh Pang Ansari (dari Blang Nie) dimana pasukan Belanda menyerang pos pertahanan pasukan Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah.

 Pengikutnya pada peristiwa ini para pejuang muslimin banyak yang syahid sebagai kesuma bangsa, namun Sultan dapat melepaskan diri dari cengkraman musuh dan mengundurkan diri ke Meunasah Nibong 
Payakamuek.

Selanjutnya pada tanggal 9 Januari 1903 Sultan Mahmud Daudsyah bersama pengikutnya seperti Panglima Polem Muhammad Daud, Teuku Raja Keumala dan pemuka kerajaan lainnya telah menghentikan perlawanan dan menyatakan turun dari usaha bergerilya melakukan penyerangan pasukan Belanda.


Memperhatikan turunnya sultan dan penyerangan perlawanan atas pasukan 
Belanda tersebut dan menerima surat-surat serta atas anjuran para sahabat seperjuangan, Teuku Chik Tunong memahami kesemuanyaitu. 

Atas kesepakatan dirinya dengan istrinya Cut Meutia pada tanggal 5 Oktober 1903 Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia beserta dengan pengikutnya turun dari gunung. 

Atas persetujuan komandan detasemen Belanda di Lhokseumawe (HNA. Swart) Teuku Chik Muhammad-Cut Muetia dan Pasukannya dibenarkan menetap di Keureutoe tepatnya di Jrat Manyang dan akhirnya pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu.Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia adalah sebagai akibat dari peristiwa di Meurandeh Paya sebelah timur kota Lhoksukon (tepatnya tanggal 26 Januari 1905). 

Peristiwa tersebut diawali dengan terbunuhnya pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah Meurandeh Paya. 
Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan yang sangat besar dan berat bagi pemerintah Belanda. 

Di dalam penyelidikannya serta berdasarkan informasi yang diterima dan mata-mata Belanda bahwa Teuku Chik Tunong turut terlibat hal ini merupakan fitnah semata oleh karena itu pemerintah Belanda menangkapnya dan di dalam peradilan Militer diLhokseumawe di putuskan Teuku Chik Tunong Mendapat hukuman gantung dan akhirnya berubah menjadi hukuman tembak mati.

Pelaksanaan hukuman tembak matidilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi pantai Lhokseumawe dan dimakamkan di Masjid Mon Geudong, tidak jauh dan kota 
Lhokseumawe.

Sebelum hukuman tembak dilaksanakan ia dapat bertemu dengan salah 
seorang staf setia dalam perjuangan, yaitu Pang Nanggroe. Seorang panglima muslimin yang juga teman yang paling dekat dan dipercaya, kata terakhir yang diucapkan kepada Pang Nanggroe adalah "Sudah tiba masanya aku ini tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman. Pada saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau dan teruskanlah perjuangan" (lsmail 
Yakub, 1979: 49).bivak belanda di lhok sukon.

Sumber : Adi Fa, Atjeh Gallery