Menanamkan Literasi untuk Anak Sejak Dini

 
Menanamkan Literasi untuk Anak Sejak Dini

LADUNI.ID, EDUKASI-Di era digital sekarang, membangun literasi punya tantangan tersendiri. Internet membuat segala informasi mudah didapat. Pengetahuan apa saja bisa diakses dengan cepat lewat mesin pencari. 

Kemudahan ini justru membuat sebagian orang malas mela­kukan proses penelaahan saat membaca. Dulu, ketika ingin menulis atau meneliti, orang mesti berjibaku di perpustakaan menelaah berbagai buku.

 Kini, hanya dengan beberapa sentuhan di gawai masing-masing, informasi apa saja bisa didapatkan, bahkan disebarkan secara luas di media sosial.

Hal tersebut kemudian memunculkan mentalitas instan. Banyak kalangan, dari pelajar, guru, akademisi, birokrat, hingga masyarakat umum kecanduan copy paste. 

Orang senang mencomot dan gampang menyebarkan informasi apa pun, termasuk hoaks, di media sosial tanpa benar-benar menelaah konten tersebut. Mentalitas instan ini menjadi penghambat sekaligus pertanda kurang­nya budaya literasi. 

Kemudahan akses dan luasnya informasi tak menjamin orang giat membaca. Tanpa budaya lite­rasi, era informasi digital justru mencip­takan “budaya” instan yang membuat orang malas berpikir.

Kondisi tersebut menyadarkan kita akan pentingnya membangun kecakapan literasi sejak dini. Program-program peningkatan budaya literasi hanya akan berjalan efektif dan optimal jika diba­rengi dasar literasi yang kuat dalam keluarga. 

Kemampuan membaca, me­nelaah, dan menganalisis informasi tak bisa dimiliki secara instan. Ia dibentuk dari kebiasaan sejak kecil. Di sinilah letak peran penting keluarga sebagai unit sosial pertama bagi anak untuk bisa menciptakan lingkungan yang men­dukung pertumbuhan literasi.

Membangun Fondasi

Membiasakan membaca sejak kecil ibarat membangun fondasi literasi anak. Dengan fondasi tersebut, kecakapan literasi anak tumbuh dan berkembang. Upaya membangun literasi sejak dini bahkan sebenarnya sudah bisa dilakukan sejak anak masih bayi. 

Sejak bayi, orang tua mesti aktif mengajak berbicara, bermain, bernyanyi, membacakan buku, hingga kegiatan menulis awal bagi balita (menggambar atau mencoret-coret). Lima kegiatan tersebut akan mendukung pengembangan kecakapan literasi pada bayi (Sofie Dewayani dan Roosie Setiawan; 2018).

Literasi identik dengan buku. Ke­luarga yang sadar literasi akan menye­diakan fasilitas bacaan di rumah. Misal­nya membuat perpustakaan atau ruang khusus membaca yang menyediakan berbagai jenis buku bacaan.

Ketika masih bayi, penting bagi orang tua memberi pengalaman ber­interaksi secara menyenangkan dengan buku. Orang tua bisa membacakan buku dengan nyaring agar bayi terbiasa mendengar dan mengenal berbagai kata. Kekayaan perbendaharaan kata adalah modal utama bagi anak untuk menopang perkembangan literasi pada tahap-tahap berikutnya. 

Dalam buku The Read Aloud Handbook, seperti dikutip dalam buku Saatnya Bercerita; Mengenalkan Li­terasi Sejak Dini (2018), Jim Trealease (1982), seorang guru yang membacakan nyaring dari Amerika Serikat, menga­takan jika seorang anak tidak pernah mendengar sebuah kata, maka anak tak dapat mengucapkan kata tersebut dan tak mungkin dapat membacanya, apalagi menuliskannya.

Seiring tumbuh kembang anak, ke­biasaan membaca mesti tetap dijaga. Di samping memberi teladan pada anak lewat kebiasaan membaca secara rutin, orang tua mesti peka terhadap segala bentuk perkembangan literasi anak. 

Anak yang mulai bisa memegang, membuka-buka halaman buku, dan mengeja tulisan di dalamnya, adalah momen-momen berharga yang mesti direspon orang tua dengan memberi motivasi dan penguatan-penguatan agar anak semakin terangsang berinteksi lebih intens dengan buku. 

Dalam mem­bangun fondasi literasi anak, orang tua memegang peran utama sebagai teladan, fasilitator, motivator, sekaligus rekan diskusi.

Kebiasaan dibacakan buku dengan nyaring sejak bayi, interaksi yang intens dengan buku, dan pemandangan orang tua sehari-hari membaca buku secara rutin adalah contoh lingkungan yang mendukung tumbuhnya literasi dalam diri anak. 

Hari demi hari, lingkungan tersebut akan membuat kecakapan literasi anak akan kian terasah. Semakin banyak bacaan, serta semakin banyak dialog dan diskusi yang dihadirkan orang tua, kemampuan literasi anak semakin berkembang. 

Pada gilirannya, anak akan tumbuh menjadi sosok yang memandang buku atau sumber bacaan sebagai kebutuhan.

Di tengah era digital, anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga dengan budaya literasi yang kuat sang­gup memanfaatkan limpahan informasi secara cerdas dan bijak. 

Tempaan bahan bacaan melimpah dan diskusi-diskusi panjang yang dibiasakan dalam keluarga akan membangun pola pikir, nalar, cara pandang, bahkan keluhuran budi dalam diri anak. Dengan bekal tersebut, anak siap menghadapi era digital dengan keberlimpahan informasi dan segala tantangan yang menyertainya. ***

*** Al-Mahfud. S, Penulis Esai dari Pati.