Unity dan Uniform, Sebuah Refleksi Kemerdekaan

 
Unity dan Uniform, Sebuah Refleksi Kemerdekaan

LADUNI.ID - Watak birokrasi kita masih salah kaprah dalam memaknai kemerdekaan. Mereka kira kemerdekaan itu adalah uniform, sehingga segala sesuatu harus seragam dari hulu sampai ke hilir. Bahkan riuhnya peserta kontestasi demokrasi tidak sama sekali mengindikasikan warna kemerdekaan. Warna nasionalis ataupun religius pada belasan partai saat ini tidak membuat rakyat lega untuk memberikan kedaulatannya, jika ujung-ujungnya tidak ada partai politik yang mau berbeda.

Hampir semua partai berebut kue kekuasaan dengan memaksa merangsek dalam kabinet pemerintahan. Banyak orang bilang komposisi pemerintah kali ini adalah koalisi gemuk,  barangkali beberpa partai mengira bahwa mengawal kemerdekaan adalah menjadi warna yang sama dengan para penguasa.

Nalar uniform tidak hanya mendera para politisi, bahkan para akademisipun juga terkena imbasnya. Hari inipun para akademisi menggelar upacara dengan nalar uniform yang sangat kental. Kalangan PNS diinstruksikan mengenakan seragam Korpri, sementara yang bukan PNS mengenakan seragam putih gelap. Sehingga terlihatlah upacara kemerdekaan terasa parade disparitas kelas para kuli. 

Mestinya kemerdekaan itu bermakna unity, tetap satu dalam keragaman, bukan takut berbeda memilih jalur perjuangan mengawal kemerdekaan. Mestinya upacara kemerdekaan itu menggambarkan persatuan dalam perbedaan, bukan menguatkan kesenjangan.

Upacara kemerdekaan berjalan menoton sebatas ritus minim pemaknaan. Sehingga masalah makna unity dan uniformpun banyak yang salah kaprah. Dikira yang berbaris rapi mengenakan seragam itulah satu-satunya cara mengawal kemerdekaan. Kebersatuan disamakan dengan keseragaman. Uniform mestinya adalah keseragaman dalam mendapatkan keadilan. Bukan membuat tajam warna dan bentuk perbedaan. Biarkanlah perbedaan itu berjalan natural, jangan membedakannya dalam bentuk yang sangat formal.

Bahwa orang madura itu identik dengan sate, orang jawa itu soto, Melayu itu asam pedas semua itu adalah kenyataan substantif. Tapi tidak usah dipaksa orang madura harus makan sate saja dan orang lain tidak boleh makan sate. Contoh ini adalah nalar uniform yang destruktif, mestinya nalar uniform itu menempatkan sate, soto, asam pedas sebagai kesamaan sebagai bagian dari kuliner Indonesia. Sehingga siapapun berhak untuk menikmatinya. 

Jadi biarkanlah perbedaan PNS dan bukan PNS itu berbeda pada isi dompet saja, tidak usah terus dikristalkan pada strata sosial. Mestinya semuanya (PNS dan Bukan PNS) seragam dalam sebutan para pengabdi pada negara, bukan persoalan seragam Korpri dan seragam putih hitam. Merdeka itu Unity bukan sekedar Uniform. Merdeka...!!!

Oleh: Ach Tijani

Akademisi IAIN Pontianak