Memahami Isi Surat Al-Fatihah

 
Memahami Isi Surat Al-Fatihah

Oleh: Dr. KH. Zakky Mubarak, MA

LADUNI.ID, Jakarta -  Surat pertama di dalam al-Qur'an dinamai al-Fatihah karena merupakan pembukaan atau mukaddimah dari al-Qur’an, dinamai Ummul Kitab atau Ummul Qur’an, karena ia merupakan resume atau induk dari kitab suci yang agung itu. Surat ini disebut juga al-Sab’u al-Matsani atau “Tujuh ayat yang selalu berulang”, karena ia terus menerus dibaca secara berulang-ulang oleh setiap muslim dalam shalatnya. Bagi seorang muslim, minimal membacanya sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam. Itu baru dalam melaksanakan shalat wajib. Apabila ditambah dengan shalat-shalat sunnah, maka jumlahnya akan semakin bertambah. Selain nama-nama di atas, surat al-Fatihah disebut juga al-Azas, karena dianggap sebagai azas atau ajaran dasar dari al-Qur’an.

Sesuai dengan nama tersebut di atas, azas-azas ajaran Islam terangkum dalam surat ini, antara lain: (1) Akidah yang berisi ajaran mengenai suatu kepercayaan dan keyakinan yang menyatakan bahwa Allah itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Ajaran mengenai akidah ini, ditegaskan sebagai akidah tauhid, merupakan pondasi dari ajaran tentang keimanan kepada Allah dan keimanan kepada yang lainnya, seperti iman kepada para malaikat, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhirat, Qadha dan Qadar-Nya, dan lain sebagainya. Ajaran mengenai akidah tauhid ini tercantum dalam ayat “Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin”, juga tercantum pada ayat ke lima, yaitu “Iyyaaka Na’budu wa Iyaaka Nasta’ien”.

Selanjutnya surat ini mengandung ajaran tentang (2) Syariah, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu (a) Ibadah yang merupakan bukti-bukti keimanan seseorang atau buahnya. Manusia yang beriman kepada Allah dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, ia akan menyembah dan beribadah kepada-Nya sebaik mungkin. Ibadah tersebut merupakan perwujudan dari keimanan seseorang kepada Allah s.w.t.. Bimbingan mengenai ibadah tercantum dalam ayat “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” dan pada ayat keenam yaitu “Ihdinas shiratal mustaqim”. Ajaran mengenai syariah, (b) terdiri dari mu’amalah, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, yang disebut Hablun Minallah dan hubungan manusia dengan sesamanya, dan makhluk lain, yang disebut Hablun Minannas. Kedua hubungan tersebut dinamai juga hubungan vertikal dan horizontal yang keduanya saling terkait dan berkelindan.

 Ajaran selanjutnya (c) adalah mengenai Akhlak, yang menurut pengertian bahasa berarti perangai, adat, kebiasaan, perbuatan, baik yang terpuji, maupun yang tercela. Karena itu dikenal dengan al-Akhlak al-Mahmudah (akhlak terpuji), dan al-Akhlak al-Madzmumah (akhlak tercela). Sedangkan menurut pengertian istilah adalah prilaku yang baik dan terpuji yang diajarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah ini sering disebut dengan al-Akhlak al-Karimah atau akhlak yang mulia, atau disebut juga al-Akhlak al-Islamiyah.

Ajaran dasar yang ke (3) Mengenai hukum dan peraturan. Ajaran ini sangat dibutuhkan dalam hidup dan kehidupan manusia, karena dapat mengatur prilaku manusia menjadi baik, saling menghormati satu sama lain, dan saling tolong menolong. Hukum adalah menyangkut ajaran yang boleh atau tidak boleh, menyangkut perintah dan larangan. Ajaran mengenai hukum ini sebetulnya merupakan uraian lebih lanjut dari ajaran tentang syariah. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, Allah s.w.t. menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan-Nya. Hukum dan peraturan itu mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan sesamanya menyangkut  hubungan sosial, ekonomi, politik, peradaban, kebudayaan, dan pertahanan. Ajaran ini terangkum dalam ayat “Ihdinash shirathal mustaqim”.

Ajaran dasar berikutnya (4), berkisar pada janji dan peringatan.  Al-Fatihah, menjelaskan juga menganai janji-janji Allah s.w.t.. Janji-janji itu berupa penjelasan bahwa siapapun yang beriman dan berbuat kebajikan, maka akan dibalas dengan kebajikan dan kebahagiaan pula, baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Selain janji Allah, dibahas pula peringatan-peringatan-Nya bahwa bagi siapapun yang tidak beriman, melakukan kejahatanm, serta merusak di muka bumi, kemudian ia tidak bertobat dari perbuatan buruknya itu, akan dibalas dengan azab yang menyakitkan, baik dalam kehidupan dunia, maupun kehidupan akhirat. Hal ini tercantum dalam firman-Nya “Maliki yaumiddin” juga tercantum dalam ayat pertama, keenam, dan ketujuh.

Ajaran dasar yang ke (5) berupa Petunjuk dan hidayah. Petunjuk dan hidayah Allah merupakan bimbingan bagi semua umat manusia, agar mencapai kebahagiaan yang abadi, baik pada masa kini, maupun pada masa yang akan datang. Mereka yang mengikuti petunjuk dan hidayah Allah, akan memperoleh keridhaan Allah s.w.t., keridhaan yang senantiasa didambakan oleh setiap insan muslim dalam segala kehidupannya. Petunjuk dan hidayah dari Allah s.w.t., terdiri dari empat tingkatan, yaitu (a) al-khalq wa al-Takwin, ia berupa kejadian dan pembentukan. Semua makhluk memperoleh hidayah ini, seperti alam mineral, atau benda mati, alam nabati atau tumbuh-tumbuhan, alam hewani, atau fauna, dan alam insani. Semua makhluk memperoleh hidayah ini, misalnya kita bisa menyaksikan secara langsung bentuk dan kejadian segala macam benda-benda alam, seperti benda padat, yang terdiri dari alam mineral, dan tumbuh-tumbuhan, benda cair, yang terdiri dari air, minyak, dan sebagainya, dan benda gas dalam segala bentuknya. Demikian juga bentuk dan kejadian alam hewani dan alam insani, diciptakan satu sama lain berbeda. Bahkan sidik jari manusia pun satu dengan yang lainnya tidak ada yang sama.

Petunjuk dan hidayah Allah tingkat kedua (b) adalah Gharizah atau Instinct, yaitu tabiat alami pada makhluk yang ditetapkan oleh sunnatullah. Sebagai contoh, misalnya, seekor domba atau kijang akan lari menghindar dari srigala atau pun binatang buas lainnya. Berbagai jenis burung membuat sarang yang berbeda-beda. Alam nabati selalu tumbuh mencari sinar matahari dan akar-akarnya terus berkembang dalam bumi mencari tanah yang kaya mineral, yang dijadikan sebagai konsumsi bagi tumbuhan tersebut. Alam hewani dan alam insani demikian juga memiliki insting masing-masing yang berbeda-beda. Petunjuk ini, dimiliki oleh alam nabati, alam hewani, dan alam insani.

Petunjuk tingkat ketiga (c) adalah petunjuk Akal dan Pikiran, petunjuk ini hanya dimiliki oleh alam insani, tidak dimiliki oleh benda mati, tumbuh-tumbuhan atau hewan. Inilah petunjuk yang luhur yang dapat membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain, sebagai makhluk yang paling sempurna. Karena itu, kedudukan seorang manusia akan ditentukan bagaimana orang itu dapat memungsikan akal dan pikirannya. Apabila mereka memungsikan akal dan pikirannya dengan baik, sehingga dapat membedakan antara yang baik dan buruk, kemudian ia melaksanakan kebaikan itu, dan menjauhi keburukan akan menjadi makhluk yang paling sempurna. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak dapat memungsikan akalnya dengan baik, akan turun derajatnya menjadi makhluk yang paling hina, bahkan lebih hina dari hewan.

Mengenai hal ini, al-Qur’an yang mulia menginformasikan: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu bagaikan hewan ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. al-A’raf, 07:179).

 [06:10, 10/1/2018] Luthfi NU: Petunjuk tingkat ke empat (d) adalah Wahyu Allah s.w.t., melalui kitab suci yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul. Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata umat manusia dengan akal fikirannya tidak mampu mencari atau mengetahui kebenaran yang hakiki, karena itu memerlukan petunjuk dari Allah s.w.t. melalui wahyu-Nya yang tercantum dalam kitab suci. Kenyataan bahwa akal dan fikiran manusia tidak mampu mengetahui kebenaran yang hakiki, dibuktikan adanya perbedaan-perbedaan pandangan antara sesama umat manusia. Perbedaan antara satu suku dengan suku lain, antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, tentang hakikat kebenaran dan kebatilan. Hal ini dapat dibuktikan pula banyak hal yang menurut pandangan akal baik, ternyata tidak baik menurut pandangan agama atau wahyu. Sebaliknya dijumpai juga berbagai hal yang menurut pandangan akal tidak baik, tetapi baik menurut ajaran agama atau wahyu.

            Ajaran pokok selanjutnya, (6) terdiri dari berita, sejarah dan kisah-kisah. Sebagai pusat informasi, al-Qur’an mengungkapkan berita-berita masa lalu, peristiwa masa kini, dan prediksi yang terjadi di masa yang akan datang. Karena itu, al-Qur’an mengungkapkan berbagai berita, sejarah, dan kisah-kisah umat terdahulu agar dijadikan pelajaran bagi umat manusia. Peristiwa yang terjadi pada masa kini juga diinformasikan al-Qur’an, demikian juga prediksi yang terjadi pada masa yang akan datang. Hal ini dapat dibuktikan dengan penemuan-penemuan yang terakhir dan mutakhir dari sains dan teknologi. Al-Qur’an menceritakan tentang sejarah umat terdahulu, seperti kaum Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim, a.s., Kaum “Aad, Kaum Tsamud, Umat Nabi Musa a.s., Fir’aun, Qarun, Namrudz, dan berbagai peristiwa lainnya. Al-Qur’an juga menginformasikan tentang sumber-sumber sains dan teknologi modern yang bersumber dari kitab suci dan dari alam semesta dengan segala peristiwanya yang menakjubkan.