Kiai Bagus Sarodin Sudah Menulis Islam Nusantara Sejak Era 1820-an

 
Kiai Bagus Sarodin Sudah Menulis Islam Nusantara Sejak Era 1820-an

LADUNI.ID, Jakarta - Pada sekitar abad ke-19, terdapat nama ulama yang sangat produktif menulis dari Semarang, Kiai Bagus Sarodin namanya. Ia adalah ulama Nusantara yang menulis tentang kisah-kisah Nabi dengan tulisan yang khas ke-Nusantara-an. Dalam menulis karya-karyanya, selalu ingat dengan karakter yang khas ke-Nusantara-an, yakni tanah Nusantara yang subur, kaya alamnya, melimpah panennya, dan makmur masyarakatnya. Itulah gemah ripah loh jinawi.

Kiai Bagus Sarodin atau yang dikenal dengan Kiai Marjan di Semarang adalah contoh ulama-penulis yang menulis naskah Serat Ambiya. Ia hidup di masa tahun 1820-an, yang selalu ingat visi ideologis ke-Nusantara-an kita. Tentang para Nabi yang memiliki misi membawa kesejahteraan pada seluruh kehidupan di dunia. Inilah contoh dan pegangan dalam menjalankan misi ke-Nusantara-an kita.

Hal ini sebagaimana ditulis secara singkat oleh Ahmad Baso dalam salah satu statusnya, Kiai Bagus Sarodin adalah contoh ulama kita yang dulu telah mengajarkan Islam Nusantara sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, salah satu serat yang ditulis adalah,

“Dadi murah sarwa tinuku. Agampang wong nambut kardi. Bawang gawe kang ponang wong. Kawarnaha garwanira Nabi Daud…” Serat ini ditulis dalam bahasa pegon sebagaimana gambar di bawah ini:

Kiai Bagus Sarodin juga telah menjadi contoh ulama-penulis yang telah menulis kisah-kisah tentang para satria dengan karakter yang khas ke-Nusantara-an, yakni tipikal orang-orang Nusantara yang jejer pandito dan berguru. Kiai Bagus Sarodin menulis kisah tersebut dengan cara menuliskannya dalam bentuk aksara Jawa disamping pegon juga.

Di tahun itu juga, Kiai Bagus Sarodin menulis sebuah naskah yang tentang petualangan Dewakusuma (sebagaimana yang telah menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia/PNRI) yang jejer pandito sekaligus melestarikan aksara Jawa disamping juga pegon sebagaimana ditulisnya di gambar sebelumnya. Kiai Bagus Sarodin menulis begini,

Wonten kalane tiyang nandya sakit, marga sangking Gegalung punika, ingkang saweneh margine, sangking sirah puniku, wonten margi kesandhung gusti punika uningaha, surasane kalbu, kados aga.”

Itulah salah satu kisah dari para ulama Nusantara yang produktif menulis dengan menggunakan khazanah ke-Nusantara-an untuk melestarikan yang khas ke-Nusantara-an. Bila kita mau merefleksikan dengan kondisi yang saat ini terjadi, setidaknya kita dapat mengambil pelajaran betapa kayanya budaya Nusantara yang sudah ada sejak sebelum abad ini. Betapa ulama-ulama terdahulu sudah mengajarkan banyak hal terutama tentang bagaimana menjalani hidup sebagai manusia Nusantara.

Kini, di tengah perkembangan zaman yang kian kompleks mengharuskan kita untuk terus mencari dan menemukan khazanah yang khas Nusantara demi kembali kepada kesejatian kita sebagai manusia Nusantara. Apa yang ada dalam qaidah fiqhiyah “almuhafadzatu ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil jadiid al-ashlah” perlu benar-benar kita suarakan dan praktikkan di tengah perkembangan zaman yang kian tidak jelas sekarang.

Akhirnya tulisan ini sekadar bentuk rewrite dari tulisan Ahmad Baso tentang bagaimana barokah ulama-penulis dari Semarang, yakni Kiai Bagus Sarodin yang hidup di sekitar awal abad ke-19. Semoga tulisan ini jadi refleksi bagi kita manusia Indonesia agar lebih ingat akan karakter yang khas ke-Nusntara-an. Aamiin.