Biografi KH. Iskandar Umar Abdul Latif
- by Budi
- 8.910 Views
- Kamis, 10 November 2022

Daftar Isi KH. Iskandar Umar Abdul Latif
Kelahiran
KH. Iskandar Umar Abdul Latif dilahirkan pada hari kamis 1 Romadhon atau 10 November 1956. Beliau adalah putra petani biasa, hampir tak ada yang istimewa kalau di lihat dari nasab beliau. Hanya saja kakek beliau yang terkenal kaya itu suka menolong dan dermawan. Beliau sendiri sedari kecil sudah mendapat pengajaran agama dan sempat menamatkan MI di desa itu.
Wafat
Romo KH. Iskandar Umar Abdul Latif wafat pada hari Minggu tanggal 19 September 2010 dan dimakamkan di tempat pesantren Darul Falah pusat Sidoarjo..
Menuntut Ilmu
Setamat dari MI, beliau masih sangat kecil, hingga ibunya berniat mengundurkan mondok hingga tamat SMP saja. Memang benar di sana beliau tidak bias menimba air dengan timba yang besar itu. Berbekal ketawakalan semua cobaan beliau hadapi tanpa rasa putus asa bahkan berpacu terus dalam menangkis beribu rintang yang menghadang.
Mulailah beliau menekuni ilmu pada KH. Marzuki (Almarhum) dan guru-guru lainnya. Tak di hiraukan lagi betapa jauh perbedaan hidup di pesantren bila di banding di rumah . Kalau waktunya makan, beliau paksakan walau rasanya ingin muntah, ikan asin yang dulunya melihat saja jadi pusing setelah di pesantren semua jadi tak asing. Di sana beliau termasuk santri yang tekun, salah satu bukti dalam waktu lima belas hari sudah berhasil menghafal imriti. Suatu ketika beliau di utus oleh gus Kholil Ya’kub mengaji Ihya’. Semula merasa takut dan sungkan sebab pengajian itu di peruntukkan untuk ustadz-ustadz tapi karena perintah guru, akhirnya beliau ikuti dengan ihlas.
Prinsip yang beliau pakai adalah “menjalankan sesuatu dengan ihlas, istiqomah dan tawadhu’ pada guru”. Seperti dalam sholat jama’ah terutama dalam masalah belajar kemana dan dimanapun berada kitab dan buku aktif sebagai teman duduknya. Di rumahpun prinsip itu diterapkan juga. Saking senangnya dengan kitab-kitab, suatu waktu ke Ampel membeli kitab besar-besar meskipun belum dapat membacanya. Karena kelebihan itulah beliau banyak di senangi teman-teman dan guru-gurunya, sehingga banyak teman yang suka bergaul dengan beliau namun beliau selektif memilihnya.
Setelah menginjak dewasa beliau terserang penyakit kudis yang tak kunjung kikis, beliau begitu tabah menghadapinya hingga tak beranjak dari tempat tinggalnya. Setelah tamat Tsanawiyah IV tahun beliau di angkat menjadi bendaharawan. Saat menghitung uang, sepertinya hilang 50.000,- lantas izin pulang untuk mintak ganti pada kakeknya, dirumah langsung di kasih uang sebesar itu. Setelah memperoleh uang beliau langsung bertolak ke pesantren lagi. Sesampai disana uang dihitung lagi ternyata sudah betul hanya terselip. Maka ketika itu pula beliau pulang lagi untuk mengembalikan uang dari kakek tersebut. Namun karena kejujurannya, kakek menolak bahkan menghadiahinya Rp. 30.000,-.
Setelah enam tahun menuntut ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo dengan dua tahun masa pengekalan. Hatinya muncul ambisi untuk mencari ilmu di negara Timur Tengah, tepatnya di Makkah Al-Mukarromah. Meskipun sebanyak apapun halangan nya ia tetap ingin menjalaninya. Ia merasakan banyak sekali godaan-godaan yang dihadapi, terutama dari kawan-kawan setanah air yang sudah terlebih dahulu menetap disana. Ia juga bekerja sebagai kuli bangunan karena waktu itu upah buruh bangunan lumayan besar. Sehingga ia belum mampu mewujudkan keinginan awalnya.
Menuntut Ilmu di Mekkah
Selama dua tahun bekerja, KH. Iskandar merasa upah yang didapatkan selama itu tidak barokah atau tidak manfaat, sehingga menyadari niat awalnya pergi ke Timur Tengah, yaitu menimba ilmu. KH. Iskandar kemudian menata niatnya kembali dan pergi kepada Sayyid Muhammad untuk meminta izin menimba ilmu kepada beliau. Sayyid Muhammad menerima keinginannya disertai satu syarat yaitu segala peluang (waktu) harus dihabiskan untuk berlatih.
Selama dua setengah tahun ia belajar sangat rajin, dan jujur dalam menimba ilmu kepada Sayyid Muhammad, ia berencana menimba ilmu selama delapan tahun, namun keinginan itu belum bisa tercapai karna gurunya, Sayyid Muhammad memerintahkan untuk kembali ke Indonesia. Namun KH. Iskandar ragu akan perintah Sayyid Muhammad karena merasa jika menuntut ilmu selama dua setengah tahun belumlah cukup untuk mempelajari ilmu di Makkah. Pada akhirnya KH. Iskandar menemui Syekh Yasin al-Fadani untuk mengutarakan keresahannya, namun sebelum mengutarakannya, Syekh Yasin al-Fadani menghujani beberapa pertanyaan, yaitu “apa kau tau KH. Hasyim Asy‟ari, KH. Mas Faqih Kumambang, KH. Wahab Hasbullah, KH. Ma‟sum Lasem, KH. Baidhowi Lasem?” dari pertanyaan ia sudah memantapkan hati KH. Iskandar Umar agar kembali ke Indonesia guna mengamalkan Ilmu yang didapat. Ia pun percaya atas keikhlasan dan ridho dari guru nya dapat mengamalkan Ilmu di tanah airnya.
Pernikahan
Setiba beliau di desa kelahirannya tak lama kemudian Sayid Muhammad (Abuya) rawuh ke Malang kemudian beliau sowan kesana dan di lempar kaset. Isi kaset tersebut sangat cocok dengan maksud perintah Abuya pulang ke Indonesia yaitu “ PERJUANGAN”. Dua hal tersebut, perintah dan isi kaset sebetulnya sangat langkah dan sangat menggembirakan. Namun di tengok dari sisi lain, ada tantangan yang sangat berat, sebab desa ini sudah menunjukkan kebejatan moral yang mana disana-sini nampak pemandangan yang kurang sopan jika di teropong dengan kaca mata iman.
Mulailah beliau membenahi desanya sambil mengajar di Surabaya atas perintah Abuya dan mengajar di musholanya sendiri dengan satu tiga santri dari daerah sekitar.
Pada langkah pertama, mulailah terpikir oleh beliau yang mulai di panggil ustadz ini untuk mencari pendamping sebagai teman berjuang. Sebenarnya banyak sekali calon-calon mertua yang ingin mengambil calon menantu pada ustadz, tapi setelah istikhoroh dan pertimbangan dengan KH. Idris Marzuki dan Abuya, maka terpilihlah gadis khafidhoh putri KH. Mustofa dari Waru Sidoarjo yang bernama Umi Habibah dan di nikahkan langsung oleh Abuya di Waru Sidoarjo pada hari Kamis 27 Oktober 1983/20 Muharrom. Dengan dihadiri oleh teman-teman beliau Abna’ul Abuya dari beberapa provinsi di Indonesia.
Mendirikan Pesantren
Sambil berjalan beliau berdua merintis perjuangan dari nol, bukan warisan. Mulailah dari bangunan mushollah kecil di tambah ruangan tamu bekas gudang, beliau bikin kamar buat pemukiman santri putra.
Awal tahun 1985 santri mukim putri datang yang saat itu baru saja santri putra menempati gedung baru. Di buatlah kamar triplek sebagai tempat istirahat putri dan bekas kamar putra buat mushollah putri. Saat kemajuan nampak begitu pesat mulai akhir 1984 hingga kini sudah tertampung lebih dari seribu santri putra-putri mukimin. Menamatkan siswi Tsanawiyah 2 kali, mewisudah santri tahfidz 3 kali, dan sekali putra serta menamatkan siswi Ibtida’iyah 5 kali.
Agar perjuangan pesantren ini bisa mencapai puncaknya kini sudah banyak di persiapkan kader-kader penerus baik dari kalangan keluarga sendiri maupun santri-santri. Cita-cita ustadz, hendaklah setiap santri mampu dan mau berjuang dimana saja untuk mengisi dan memenuhi kekurangan yang ada. Di antara kader-kader tersebut yaitu munculnya beberapa pondok pesantren cabang, yang mungkin sampai sekarang berjumlah 60 cabang yang berada di wilayah Jawa Timur sampai luar Jawa.
Pondok salafiyah Darul Falah pusat yang berada di Dusun Bendomungal Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo sampai saat ini masih exis dalam dunia pendidikan, asuhan KH Iskandar Umar Bin Abdul Latief (santri al mukarrom As Syech Abuya Sayyid Muhammad Alawi al Maliki dari Mekkah al Mukarromah) yang alhamdulillah sampai saat ini berhasil memunculkan ustadz-ustadz baru untuk memperjuangkan agama islam dengan bantuan dan dukungan dari masyarakat sekitarnya, sehingga Ponpes Darul Falah (pusat) ini mempunyai kurang lebih 100 Ponpes Cabang yang ditempat kan di berbagai daerah di pulau jawa bahkan Luar pulau Sumatra dan yang lainnya.
Memuat Komentar ...